Warga Labota Tagih Tanggung Jawab Kerusakan Lingkungan PT IMIP

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Kamis, 25 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Masyarakat Desa Labota Sadar Lingkungan (GMDSL) menggelar  demonstrasi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), Senin (22/7/2024). Aksi ini dilakukan untuk menuntut tanggung jawab PT IMIP atas kerusakan lingkungan, termasuk polusi udara, yang dihasilkan industri nikel itu

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, aksi warga itu yang ketiga kalinya, setelah sebelumnya warga juga menggelar aksi di terminal khusus (tersus) jetty PT IMIP dan PLTU captive di Desa Labota, pada 18-19 Juli 2024. Walhi menyebut, aksi demonstrasi ini merupakan aksi puncak dari kemarahan warga Labota atas kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri nikel di kawasan IMIP.

Warga Labota, kata Wandi, dari Departemen Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, setiap hari harus merasakan dampak abu batu bara yang dihasilkan oleh aktivitas PLTU captive. Untuk diketahui, PT IMIP memiliki 20 unit PLTU captive, 16 unit yang sedang beroperasi berkapasitas 2.970 MW dan yang sedang konstruksi 4 unit kapasitas 2.600 MW.

"Jika dikalkulasi antara yang sedang produksi dan operasi total kapasitas PLTU captive yang beroperasi di kawasan IMIP mencapai 5.570 MW. Tentu dengan kapasitas yang begitu besar nantinya masyarakat akan merasakan dampak serius di masa-masa yang akan datang," kata Wandi, Rabu (24/7/2024).

Warga Desa Labota melakukan aksi demonstrasi dengan menutup jalur ke tersus jetty dan PLTU captive PT IMIP di Kecamatan Bahodopi, Sulteng, Senin (22/7/2024). Foto: Istimewa.

Tak hanya itu, warga Labota juga harus menghadapi debu jalan akibat lalu lalang mobil perusahaan, reklamasi yang mengganggu nelayan untuk tersus jetty, pembuangan limbah ke laut, serta suara bising dari conveyor yang sangat dekat dengan pemukiman warga.

Menurut pantauan Walhi Sulteng, aksi warga Labota ini dilakukan dengan menutup jalur tersus jetty dan PLTU captive, mulai pukul 10.00 WITA hingga malam hari. Aliansi warga Labota ini menuntut tanggung jawab PT IMIP, yang tak kunjung serius menangani dampak lingkungan yang diciptakan.

Ada empat tuntutan utama yang disampaikan massa aksi, yaitu meminta tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Morowali atas tidak adanya pengawasan lingkungan yang dilakukan, meminta sikap tegas DPRD Morowali atas pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT IMIP, serta meminta pertangungjawaban PT IMIP atas janji kompensasi atas dampak lingkungan yang tak kunjung direalisasikan.

Wandi menjelaskan, PT IMIP merupakan kawasan industri nikel dengan luas 4.000 hektare yang terletak di dua desa, yaitu Desa Fatuvia dan Labota Kecamatan Bahodopi. Ada 40 tenant yang beroperasi dan saling terintegrasi memproduksi empat klaster nikel yaitu stainless steel, nikel pig iron (NPI), carbon steel, dan MHP, untuk komponen baterai.

Sejak 2013 hingga 2024 terhitung sudah hampir 10 tahun PT IMIP beroperasi dan terus memberikan dampak negatif yang sangat signifikan bagi masyarakat Desa Labota dan Fatuvia. Akan tetapi dampak tersebut seolah dibiarkan oleh perusahaan.

Menurut Wandi, cerobong asap PLTU captive milik PT IMIP dibangun sangat dekat dengan SDN dan MTS Aljariyah yang ada di Desa Labota, hanya sekitar 100-200 meter saja. Aktivitas PLTU mengganggu proses belajar mengajar, suara kebisingan dan abu batu bara yang masuk ke ruangan kelas.

Beberapa anak tampak bermain di sekitar PLTU captive yang ada di IMIP, Morowali, Sulteng. Foto: Trend Asia.

Wandi mengungkapkan, sebanyak 6 siswa telah teridentifikasi mengalami batuk–batuk dan sesak napas, usia rata-rata 12-13 tahun ke atas. Di Dusun Kurisa, Desa Fatuvia, masyarakat mengeluhkan bau menyengat serta abu batu bara yang masuk ke dalam rumah, dan air pendingin batu bara yang dibuang ke laut merusak terumbu karang dan ekosistem laut.

“Menurut warga Desa Labota, sudah hampir 10 tahun dijanji oleh PT IMIP untuk melakukan perbaikan lingkungan dan memberikan kompensasi akan tetapi hingga saat ini nihil hasilnya dan pemerintah seolah-olah menutup mata, padahal warga tiap hari hidup berdampingan dengan lingkungan yang tidak sehat ini, banyak orang mengeluhkan sesak nafas akibat menghirup abu PLTU,” kata Wandi, menuturkan kesaksian warga Labota.

Wandi bilang, aksi menuntut perbaikan lingkungan yang dilakukan oleh warga ini sebenarnya sudah sering dilakukan, bukan baru kali ini. Tercatat sejak mulai beroperasinya PT IMIP, pada 2014 sudah ada gerakan penuntutan, akan tetapi perusahaan dan pemerintah seperti menutup mata seolah-olah tidak ada yang terjadi.

PT IMIP, imbuh Wandi, merupakan salah satu proyek primadona dalam program hilirisasi pemerintahan Jokowi Hasil produksi mencapai nilai teratas dalam pasar nikel global, serta menjadikan IMIP sebagai salah satu perusahaan raksasa di kawasan Asia. Walau begitu, hasil yang didapatkan IMIP tidak sebanding dengan tanggung jawab yang diberikan terhadap warga yang berada di lingkar kawasan industrinya, serta kelas pekerja yang tiap hari bertaruh nyawa untuk ambisi produksi nikel.

Atas situasi tersebut, menyambung apa yang menjadi tuntutan GMSDL, Wandi menuturkan, Walhi Sulteng meminta kepada pemerintah terkait, DLH Provinsi Sulteng, Gubernur Sulteng, Kementerian ESDM, Kementerian Investasi, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk serius melakukan evaluasi terhadap pencemaran lingkungan, melakukan audit lingkungan secara menyeluruh di kawasan PT IMIP serta tenant-tenant yang beroperasi di dalamnya. Juga meminta penghentian penggunaan PLTU captive coal powerplan untuk industri nikel yang menyebabkan polutan dan emisi.

"Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009, jika dilihat apa yang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan industri, seperti polusi udara, kebisingan, hilangnya mata pencaharian nelayan, dan tercemarnya air, PT IMIP diduga telah melakukan kejahatan lingkungan selama 10 tahun terakhir," ucap Wandi.