Bencana Ekologis dan Halmahera Tengah Resmi Tetanggaan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Jumat, 26 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wilayah Provinsi Maluku Utara (Malut) darurat bencana ekologis. Sejak 20 Juli 2024, sejumlah desa di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), terendam banjir akibat luapan Sungai Kobe dan Sungai Akejira. Banjir tersebut mengancam keselamatan 6.567 jiwa penduduk yang berada di Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Lelilef Waibulen dan Desa Lukolamo, belum termasuk para pekerja tambang.

Banjir telah memutuskan akses utama jalan penghubung antar desa yang saat ini terdampak banjir dan membuat Desa Woekob dan Desa Woejerana yang berada 12 km dari wilayah pesisir terendam. Hingga Rabu (24/7/2024), intensitas hujan masih sangat tinggi, terutama di daerah hulu Sungai Kobe, Sungai Akejira, Sungai Wosia, Sungai Meno, Sungai Yonelo, dan Sungai Sagea, serta daerah aliran sungai lainnya.

Kondisi tersebut berpeluang mengakibatkan luapan air dan banjir susulan yang lebih besar, dan akan menggenangi desa-desa lainnya seperti Desa Lelilef Sawai, Desa Gemaaf, Desa Wale, dan Desa Sagea, mengingat debit Sungai Sagea juga terus naik.

Menurut hasil tumpang susun (overlay) peta, kata Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Malut, banjir di kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara ini disebabkan oleh masifnya pemberian izin konsesi pertambangan nikel oleh Pemerintah Kabupaten Halteng, Pemerintah Provinsi Malut, dan pemerintah pusat, tanpa mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan di Halmahera Tengah. "Pada 2001 keberadaan hutan primer di Halmahera Tengah seluas 188 ribu hektare, yang menutup 83 persen areal kawasan Halmahera Tengah, namun saat ini telah mengalami deforestasi seluas 26.100 haktare, dan terus naik seiring aktivitas pembukaan lahan untuk pertambangan nikel," kata Faizal Ratuela, Direktur Eksekutif Walhi Malut, pada Rabu (24/7/2024).

Sejak 20 Juli 2024 4 desa di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Malut, terendam banjir akibat luapan Sungai Kobe dan Sungai Ajekira. Foto: Walhi Malut.

Pembukaan hutan, termasuk di kawasan daerah aliran sungai (DAS) secara sporadis dan masif untuk pengambilan material ore nikel,Kata Faizal,  menyebabkan hilangnya kawasan buffer zone. Akibatnya, ketika intensitas hujan tinggi, ekosistem hutan tidak sanggup lagi menahan laju kecepatan air yang bercampur dengan tanah serta material logam ke wilayah dataran rendah di wilayah pesisir, terutama yang saat ini terendam banjir yaitu Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Lelilef Waibulen, dan Desa Lukolamo.

Desa pesisir yang terdampak bencana banjir sejak 20 Juli 2024 sampai 24 Juli 2024 itu, lanjut Faizal, sangat rentan mendapatkan bencana banjir susulan. Desa-desa ini berada di sekitar kawasan industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yang di dalamnya terdapat konsesi PT Weda Bay Nikel, PT Tekindo Energi, PT Harum Sukses Mining, PT Saphire Indonesia Mining, PT Bakti Pertiwi Nusantara, PT Darma Rosadi Internasional dan PT First Pacific Mining. Menurut Faizal, jumlah izin pertambangan nikel di Kabupaten Halteng berjumlah 24 unit, dan yang terluas izin konsesinya adalah pertambangan nikel milik PT Weda Bay Nikel (Kawasan Industri Nikel PT IWIP), seluas 45.065 hektare.

Menurut Walhi Maluku Utara, pemerintah juga tak memiliki keseriusan untuk menyelesaikan bencana banjir yang terjadi dan ini mengindikasikan pemerintah tidak memiliki perencanaan yang jelas dalam melakukan peran dan tanggung jawabnya.

Tanggung jawab itu termaktub dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk di antaranya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2013, UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 37 Tahun 2014, UU No. 11 Tahun 2020. Berbagai beleid tersebut mengamanatkan kewenangan, fungsi, peran dan tanggung jawab pemerintah dalam mengontrol dan mengawasi serta melakukan tindakan terhadap kegiatan investasi yang beroperasi.

Dalam menghadapi situasi bencana banjir yang terjadi, Pemerintah Kabupaten Halteng dan Provinsi Malut juga tidak bersandar pada data pasti terkait jumlah warga yang terkena dampak bencana banjir di 4 desa di Kecamatan Weda Tengah. Sehingga, penanganan terhadap korban bencana akan mengalami kendala dan membahayakan korban akibat keterlambatan dalam melakukan evakuasi.

Untuk itu, Walhi Malut mendesak pemerintah menetapkan status darurat bencana di Halteng dan segera menambah personil tanggap darurat dan posko di lokasi yang terkena dampak banjir. Pemerintah juga harus melakukan evakuasi warga yang terisolasi di Desa Woejerana, Desa Woekob, Desa Kulo Jaya dan Desa Kobe Kulo, terutama lansia, perempuan, dan anak-anak.

Pihaknya juga mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk segera mengambil langkah tegas menghentikan aktivitas pertambangan nikel yang beroperasi saat kondisi banjir sedang berlangsung, karena melanggar prinsip kemanusiaan dan tidak menghargai hak asasi manusia pekerja dan warga yang saat ini sedang menderita kerugian moril dan materi akibat bencana banjir. Menteri LHK juga diminta untuk segera membentuk tim investigasi untuk menelusuri penyebab terjadinya banjir, yang diduga akibat jebolnya tanggul tambang.

"Pemerintah pusat segera melakukan moratorium industri pertambangan nikel di Maluku Utara, terutama yang masuk dalam kebijakan proyek strategis nasional karena telah mengakibatkan bencana ekologi dan perampasan ruang hidup masyarakat di Maluku Utara," ucap Faizal.

Walhi Malut, ujar Faizal, juga meminta warga Malut terdampak untuk mewaspadai ancaman banjir susulan. Banjir susulan bisa datang bertamu sewaktu-waktu akibat tingginya intensitas hujan.