Indonesia Dinilai Tak Punya Contoh Baik untuk Pimpin ASOF

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Minggu, 28 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai strategi pengelolaan mangrove di Indonesia tidak dijalankan dengan baik, sehingga Indonesia tidak cocok menjadi pemimpin ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF). Buktinya, sejumlah peraturan perundang-undangan yang dibuat Pemerintah Indonesia justru melegalkan penghancuran mangrove untuk tambang panas bumi dan proyek strategis nasional (PSN).

Penilaian tersebut muncul sebagai tanggapan atas pertemuan ASOF ke-27 yang digelar di Bogor, sekaligus keketuaan Indonesia menggantikan Kamboja. Yang mana Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyampaikan komitmennya untuk mengawal isu mangrove selama memimpin ASOF.

“Dalam pengelolaan mangrove, Indonesia tidak bisa memimpin dengan contoh atau leading by example,” kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut, Eksekutif Nasional Walhi, dalam sebuah rilis, Senin (22/7/2024).

Lebih lanjut Parid memaparkan sejumlah bukti ketidakmampuan Indonesia memimpin dengan contoh. Yang pertama, mengenai data mangrove di Indonesia, pemerintah tidak konsisten. Merujuk pada data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022, total luasan mangrove di Indonesia tercatat seluas 2.320.609,89 hektare. Dari angka tersebut, hanya 30,32 persen hutan mangrove yang berada dalam kondisi baik. Sisanya, 10,75 persen berada dalam kondisi sedang, dan 12,36 persen dalam kondisi rusak.

Tampak dari ketinggian hamparan mangrove di Kepulauan Aru. Foto: adychandra.com

Anehnya, kata Parid, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peta Mangrove Nasional (PMN) pada 2021 yang mengklaim luasan mangrove lebih dari 3,364,080 hektare, di mana 92,78 persen tutupannya dinilai lebat, 5,60 persen tutupan sedang, 1,62 persen tutupan jarang. Selain itu, pemerintah mengklaim ada wilayah potensi mangrove seluas 756,183 hektare.

Kedua, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada akhir 2020 lalu dan merevisi kembali pada 2023. Pasal 5 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan akan menghancurkan hutan mangrove di Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 sampai 7 pada PP 27 Tahun 2021 tersebut menyatakan zona inti pada ekosistem mangrove boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional.

"Dengan demikian, UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 menjelaskan betapa agenda rehabilitasi mangrove yang disebutkan oleh Presiden Jokowi itu sangat mudah diubah untuk beragam kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi oleh kepentingan ekstraktif dan eksploitatif," tutur Parid.

Ketiga, kawasan mangrove juga tidak mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Walhi dalam dokumen berjudul Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28 RZWP3K di Indonesia, terungkap bahwa sampai dengan 2040 setidaknya seluas 3.527.120,17 hektare proyek reklamasi yang sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah.

"Di dalam pada itu, pengakuan dan perlindungan mangrove hanya diberikan seluas 52.455,91 hektare. Perbandingan yang sangat ironis jika dibandingkan dengan luasam proyek reklamasi," ujar Parid.

Ketiga bukti tersebut, kata Parid, menujukkan absennya keseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi mangrove yang selalu dikampanyekan dalam setiap forum internasional.

“Inilah mengapa Walhi menyebut tidak bisa memimpin dengan contoh atau leading by example. Apa yang disampaikan di forum internasional, secara diametral bertentangan dengan kebijakan dalam negeri,” ucapnya.

Kemunduran tata kelola

Tak hanya itu, Parid mengungkapkan, sejak 2022, Pemerintah Indonesia, melalui KLHK, telah melakukan diskusi mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Tapi sampai sejauh ini, pembahasan RPP ini masih belum begitu masif dilakukan dan tidak melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya masyarakat pesisir, baik laki-laki maupun perempuan.

Berdasarkan kajian Walhi, lanjut Parid, sebagaimana tercantum dalam dokumen Kertas Posisi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Indonesia, RPP Mangrove, memiliki sejumlah catatan serius. Pertama, RPP ini belum mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Dengan kata lain, pengakuan terhadap tata kelola lokal yang dibangun oleh masyarakat belum terlihat dalam RPP ini.

"Lebih jauh, tata kelola ekosistem mangrove yang terkandung dalam RPP ini masih sangat terpusat pada negara," ujarnya.

Kedua, RPP ini tidak memiliki posisi yang jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada industri ekstraktif. Terdapat sejumlah pasal yang jelas-jelas melegalkan perusakan ekosistem mangrove, khususnya Pasal 16 dan 18. Kedua pasal ini melegalkan konversi ekosistem mangrove.

Ketiga, RPP ini sangat terlambat jika melihat UU induknya, yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan kata lain, setelah UU itu disahkan pada 2009, baru 14 tahun kemudian ada aturan turunan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.

Keempat, RPP ini memiliki kelemahan yang serius dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove. RPP ini seharusnya menggunakan sanksi pidana jika merujuk kepada UU 32 Tahun 2009. Namun sayangnya, RPP malah menggunakan sanksi administratif yang sangat ringan dan menguntungkan para perusak mangrove.

"Dari sini, RPP ini sangat terlihat tidak merujuk kepada UU 32 Tahun 2009, tetapi merujuk kepada UU Cipta Kerja yang melihat sanksi pidana sebagai hambatan investasi," tutur Parid.

Kelima, RPP ini tidak menempatkan mangrove dalam konteks mitigasi bencana yang melibatkan masyarakat lokal. Hal ini penting ditegaskan mengingat masyarakat lokal--baik laki-laki maupun perempuan--memiliki pengetahuan dan pengalaman lapangan karena mereka bersentuhan setiap hari dengan ekosistem mangrove. Pada titik ini, pendekatannya semestinya bukan hanya bersifat akademis dan teknokratis yang dilakukan di belakang meja, melainkan juga pendekatan berbasis pengetahuan lokal.

Keenam, pada tahun-tahun politik elektoral seperti saat ini, RPP Perlindungan dan Pemberdayaan Ekosistem Mangrove disusun tidak benar-benar untuk melindungi keberadaan mangrove dan masyarakat pesisir. Sebaliknya, RPP ini memperlihatkan pemerintah Indonesia ingin melakukan kampanye ke dunia internasional, dengan tujuan untuk mendapatkan pendanaan iklim.

Dari berbagai catatan tersebut, Parid menyimpulkan bahwa tata kelola mangrove di Indonesia, setelah 2020, mengalami kemunduran serius dibandingkan dengan sebelum 2010. Pada 2007 dan 2009, Indonesia punya undang-undang yang melindungi mangrove dan menetapkan sanksi pidana lingkungan kepada pelaku perusakannya.

"Kedua undang-undang itu adalah UU No. 27 Tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014 dan UU No. 32 Tahun 2009,” katanya.

Namun, saat ini setelah 2020, tambah Parid, sanksinya hanya berupa sanksi administrasi bagi perusak mangrove. Lahirnya UU Cipta Kerja, termasuk UU Mineral dan Batu Bara, merupakan gerak mundur perlindungan mangrove di Indonesia.

Parid bilang, kampanye perlindungan dan pengelolaan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di berbagai forum internasional, termasuk penyusunan peta mangrove, takkan memperbaiki ekosistem mangrove dalam jangka menengah maupun jangka panjang.

“Apalagi jika mangrove dijadikan objek perdagangan karbon. Ini merupakan kemunduran yang sangat besar,” tutur Parid.

Sebelumnya, dalam perhelatan ASOF ke-27, Indonesia dipercaya melanjutkan keketuaan ASOF. Dalam forum itu, KLHK menyampaikan sejumlah strategi pengelolaan mangrove untuk ASEAN, yaitu:

  1. Melakukan pemetaan (mapping) dan penilaian (assessment) guna mengetahui dengan pasti situasi sekaligus kualitas sebaran mangrove yang ada di pesisir Indonesia dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara, yang menjadi rumah bagi 34 persen mangrove dunia. Dalam hal ini, KLHK mengusulkan profil mangrove ASEAN untuk memastikan baik tidaknya status ekosistem Mangrove.
  2. Meningkatkan kapasitas kesadaran (enhancing awareness capacity) untuk semua pemangku kepentingan yang relevan dengan pengelolaan mangrove.
  3. Membangun tata kelola (governance) yang baik, mulai dari tingkat tapak sampai ke tingkat yang paling tinggi.
  4. Intervensi teknis (technical intervension) dengan cara belajar dari pengalaman antar negara sekaligus dari para ahli dan lintas komunitas. dan Kelima, dialog kebijakan (policy dialogue) di antara negara di ASEAN untuk saling mendukung dan saling mendukung serta memperkuat kebijakan antarnegara.