Komitmen Pemprov Jatim Jaga Mangrove Dipertanyakan
Penulis : Gilang Helindro
Lingkungan
Minggu, 28 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur mempertanyakan komitmen pemerintah dalam pemulihan kawasan mangrove di Jawa Timur yang kian kritis.
Lucky Wahyu Wardhana, Staf Kampanye dan Jaringan Walhi Jatim dalam keterangan resminya mengatakan dalam Peta Mangrove Nasional 2021 Provinsi Jawa Timur menjadi wilayah dengan luasan mangrove terbesar di Pulau Jawa dan Bali. Total hutan mangrove Jatim mencapai 27.221 hektare, yang tersebar di sepanjang pesisir utara dan selatan dengan komposisi 47,26 persen merupakan mangrove kerapatan lebat, 46,08 persen mangrove kerapatan sedang, dan 6,66 persen mangrove kerapatan jarang.
Namun, dalam catatan Walhi Jawa Timur, hutan mangrove di Jawa Timur terus berada dalam ancaman. Mengutip penelitian Wim Giesen, "Indonesian mangroves: an update on remaining area and main management issues", mangrove di Jawa Timur pada 1985 seluas 57.500 hektare. Artinya ada degradasi sebesar 30.279 hektare, jika dibandingkan luas sekarang. “Dalam kurun waktu 36 tahun apabila dikalkulasikan kawasan mangrove di Jawa Timur mengalami degradasi sebesar 841 hektare tiap tahun,” kata Lucky, Jum’at, 26 Juli 2024.
Lukcy mengatakan, merujuk hasil pemantauan Walhi Jawa Timur di dua tempat yakni Madura dan Surabaya, di wilayah Madura pada 2023 terdapat penurunan kawasan mangrove sekitar 3000-5000 hektare, yang dapat dilihat dari semakin berkurangnya sebaran hutan bakau di empat kabupaten di Madura. Dari total 15.118,1 hektare yang tersebar di empat kabupaten kini tersisa sekitar 10.000 hektare. Merujuk pada hasil riset yang dikeluarkan oleh program studi kelautan Universitas Trunojoyo Madura, dari total 15.118,1 hektare kawasan mangrove, sebesar 6.324 hektare atau 41,8 persen dalam kondisi rusak.
Di Surabaya, luas mangrove mengalamai penyusutan dari yang sebelumnya seluas 3.300 hektare pada 1978 menyusut menjadi 2.504 pada 2020. "Dan kami memperkirakan kini mungkin tersisa 1.500-2000 hektare," ujarnya. “Penyusutan ini terjadi akibat alih fungsi kawasan mangrove menjadi perumahan. Sampai saat ini pun alih fungsi lahan menjadi masalah utama degradasi kawasan mangrove yang ada di Jawa Timur,” ungkap Lucky.
Lucky menjelaskan, kendati berbagai upaya pemulihan dan pengelolaan mangrove telah dicanangkan oleh pemerintah provinsi, pemerintah kota dan kabupaten, namun nyatanya degradasi kawasan mangrove masih terus terjadi. "Apabila ditelaah lebih dalam, kesalahan mendasar ada pada level kebijakan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur hasil dari integrasi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) bahkan RTRW di level daerah yang berantakan, ditambah regulasi yang tumpang tindih, menjadi faktor utama sulitnya pelaksanaan pemulihan dan perlindungan kawasan mangrove,” kata Lucky.
Sebagai contoh penetapan kawasan strategis nasional (PSN) waterfront city Surabaya baru-baru ini sangat bertentangan dengan status kawasan lindung pesisir, karena akan memicu degradasi pesisir serta rusaknya kawasan mangrove di Surabaya. Apa yang terjadi di Surabaya merupakan bentuk kebijakan salah arah dari pemerintah nasional yang dilegitimasi oleh penataan ruang di daerah. "Sehingga lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi daripada pemulihan kawasan pesisir," kata dia.
Implikasi dari bermasalahnya aneka regulasi ini menyebabkan banyak sekali penerbitan izin pembangunan secara sembarangan di kawasan mangrove yang seharusnya menjadi kawasan lindung. Salah urus pada level kebijakan ini kemudian ditanggulangi dengan program yang tidak tepat sasaran, seperti penanaman kembali (reboisasi) hutan mangrove. "Masalahnya adalah alih fungsi kawasan mangrove terus terjadi setiap tahun, artinya penanaman kembali hanya jadi kebijakan tambal sulam, padahal yang dibutuhkan adalah menghentikan alih fungsi kawasan mangrove terus berlangsung."
Untuk menangani masalah ini bukan hanya dibutuhkan komitmen yang serius oleh pemerintah, ungkap Lucky, "Namun lebih dari itu perlu ada kesadaran ekologis, pemahaman yang menempatkan pelestarian lingkungan sebagai hal utama dalam kebijakan pembangunan, kehendak politik dalam penataan ruang sehingga praktik alih fungsi kawasan mangrove bisa dihentikan, dan regulasi yang ketat dalam pengelolaan kawasan lindung dengan prinsip penanggulangan bencana dan krisis iklim."