Kabut Asap Mulai Menyelimuti Kota Pontianak
Penulis : Kennial Laia
Karhutla
Sabtu, 27 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mulai terasa di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Berdasarkan pemantauan Walhi Kalbar, kondisi ini terjadi sejak Kamis malam, 26 Juli 2024 hingga Jumat, 27 Juli 2024.
Walhi Kalbar mencatat indeks standar pencemaran udara (ISPU) Pontianak pada Kamis, 25 Juli 2024, hingga pukul 20.00 WIB berada di angka 132, yang termasuk dalam kategori tidak sehat. Pada Jumat, 26 Juli 2024, pukul 11.30 WIB, ISPU mencatat angka 112, yang masih berada pada kategori tidak sehat.
Menurut Direktur Walhi Kalbar, Hendrikus Adam, polusi udara di provinsi tersebut terjadi akibat kebakaran di sejumlah titik. Sepanjang Juli, organisasi tersebut mencatat setidaknya terdapat 778 titik panas (hotspot) yang tersebar di berbagai wilayah, kecuali Kota Singkawang dan Pontianak.
Hotspot terdeteksi paling banyak di kabupaten Sanggau (24%), Ketapang (15%), Landak (12 %), dan Bengkayang (11%). Titik panas juga terpantau di Kubu Raya (8%) dan Sekadau (8%). Sementara itu Kapuas Hulu dan Sintang masing-masing 5%. Empat kabupaten dengan jumlah terendah berlokasi di Melawi (4%), Mempawah (3%), Sambas (3%), dan Kayong Utara (2%).
Melihat kondisi ini, Walhi mendesak pemerintah segera melakukan upaya mitigasi terutama dampak kesehatan pada warga. Berkaca pada periode 1-31 Agustus 2023, Walhi Kalbar mencatat sedikitnya 7.376 hotspot pada 235 konsesi sawit maupun konsesi kebun kayu di provinsi tersebut.
Pemerintah juga harus segera melakukan deteksi dini dan menyediakan informasi yang mudah diakses warga, termasuk papan informasi ISPU di Kota Pontianak yang saat ini tidak berfungsi, kata Walhi Kalbar.
Direktur Walhi Kalbar Hendrikus Adam mengatakan, pemerintah harus segera melakukan deteksi dini dan menyediakan informasi yang mudah diakses warga, termasuk mengaktifkan kembali papan informasi ISPU di Kota Pontianak yang saat ini tidak berfungsi.
“Sejauh ini belum terlihat upaya yang dilakukan pemerintah memastikan warga mengetahui kondisi udara pada level mana dan belum ada juga himbauan terkait apa yang mesti dilakukan warga agar terhindar dari risiko kesehatan akibat polusi asap,” kata Hendrikus dalam konferensi pers yang dihelat daring, Jumat, 26 Juli 2024.
Menurut Hendrikus, layanan kesehatan harus segera disiapkan. Kabut asap seringkali menyebabkan gangguan pernapasan, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pada karhutla 2019, misalnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat terdapat lebih dari 919.000 orang menderita ISPA akibat karhutla di berbagai provinsi.
Kalimantan Barat menjadi provinsi ketiga dengan penderita ISPA terbanyak pada karhutla 2019, yakni 180.695 orang. Sumatera Selatan dan Riau mencatat jumlah kasus tertinggi, masing-masing 291.807 orang dan 275.793 orang.
Sementara itu Kalimantan Tengah mencatat 67.293 kasus, Jambi 63.554 kasus, dan Kalimantan Selatan di Jambi 40.374 kasus.
Hendrikus mengatakan, layanan kesehatan harus disiapkan jauh-jauh hari mendekati musim karhutla. Namun hal itu belum tercermin di lapangan. “Demikian juga terkait layanan kesehatan belum disiagakan dalam merespon situasi yang saat ini terjadi,” ujarnya.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan Indonesia memasuki darurat asap. “Asap di Pontianak merupakan lonceng tanda bahaya karhutla. Walhi kembali mengingatkan pengurus negara bahwa karhutla ini merupakan kejahatan lingkungan luar biasa,” ujarnya.
Menurut Uli, hingga saat ini pemerintah belum menyentuh akar persoalan karhutla, yakni kerusakan ekosistem hutan dan kawasan hidrologis gambut akibat aktivitas korporasi sawit dan industri kebun kayu. “Kalau akar persoalan ini tidak diselesaikan, maka sepuluh tahun ke depan rakyat tetap akan selalu jadi korban karhutla,” katanya.
Pemerintah juga harus hadir dalam memastikan penegakan hukum berjalan, terutama atas konsesi yang diduga terlibat dalam kasus karhutla.
Pada 2023 lalu, Walhi melaporkan sebanyak 194 korporasi dengan titik api dan kebakaran di konsesinya. Diantaranya terdapat 38 perusahaan residivis, atau yang sebelumnya mengalami kebakaran lahan pada 2015 hingga 2020. Menurut Uli, tidak diketahui sejauh mana penegakan hukum yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pasca laporan tersebut.