DPRD Riau Diingatkan untuk Transparan soal RTRW

Penulis : Gilang Helindro

Lingkungan

Selasa, 30 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) meminta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau untuk transparan dalam penyusunan dan pembahasan draf rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau tahun 2024 – 2044.

Arpiyan Sargita, Manajer Kampanye dan Advokasi Jikalahari menjelaskan, pada 2 Mei 2024, DPRD Riau telah melakukan paripurna mengenai penyampaian rekomendasi Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) untuk melanjutkan penyusunan Ranperda RTRW Riau. Namun, dari penelusuran Jikalahari, di website DPRD Riau tidak ditemukan informasi maupun dokumen Ranperda RTRWP Riau. “Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengamanatkan DPRD Riau dalam penyusunan Ranperda membuka ruang partisipasi publik secara maksimal dan bermakna,” kata Arpiyan dalam keterangan resminya, dikutip Senin, 29 Juli 2024.

Putusan MK ini kata Arpiyan, dikuatkan dengan UU Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 96 ayat 1, 2, dan 3 UU itu menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan/tertulis dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pemberian masukan masyarakat itu dilakukan secara daring atau luring. Yang dimaksud masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi rancangan peraturan perundang-undangan.

Arpiyan bilang, Jikalahari mengingatkan jangan sampai peristiwa korupsi penyusunan draf RTRW Riau 2017 – 2037 terulang. Salah satu contohnya kasus korupsi mantan Gubernur Riau Annas Maamun. Pada 2014, Annas Maamun di OTT KPK di Jakarta karena suap alih fungsi kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan di Riau. Dalam perkara itu, Annas didakwa secara kumulatif.

Foto udara hutan lindung Desa Anak Talang di Riau, yang ditanami sawit. Foto: Betahita/Robby

Pertama, Annas menerima suap US$166.100 dari Gulat Medali Emas Manurung yang saat itu menhabat Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau dan dari Direktur Utama PT Citra Hokiana, Edison Marudut Marsadauli Siahaan, untuk  memasukan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 hektare di tiga Kabupaten menjadi bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.

Kedua, Annas didakwa menerima suap Rp 500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison di lingkungan Provinsi Riau. Ketiga, Annas juga menerima suap Rp 3 miliar dari janji Rp 8 miliar dalam bentuk mata uang dolar Singapura dari beneficial owner Darmex Agro dan Duta Palma Group, Surya Darmadi, agar memasukkan anak perusahaan Darmex Agro dalam revisi RTRWP dari kawasan hutan menjadi non Kawasan hutan.

Akibat perbuatannya, pada 2015, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Bandung menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Annas karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap alih fungsi kawasan hutan. Annas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, kasasi ditolak dan MA memperberat hukuman Annas menjadi tujuh tahun penjara pada 2016.

Selain adanya korupsi, tidak adanya partisipasi publik secara maksimal dan bermakna mengakibatkan MA menerima gugatan Jikalahari. Pada 12 Agustus 2019, Jikalahari bersama Walhi Riau mendaftarkan Permohonan Keberatan atau Judicial Review ke MA terhadap Perda 10 Tahun 2018 tentang RTRWP Riau.

Dua bulan setelah mendaftarkan Judicial Review ke MA, pada 3 Oktober 2019 Majelis Hakim Mahkamah Agung Dr Irfan Fachruddin dan Dr Yodi Martono Wahyunadi bersama Dr Supandi memutus perkara nomor 63 P/HUM/2019. Majelis Hakim mengabulkan 5 pasal dari 7 pasal yang diajukan Jikalahari bersama Walhi. Hakim menyatakan pasal-pasal yang dikabulkan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan harus dicabut.

“Sejak revisi RTRWP Riau masuk dalam agenda Pemprov Riau pada 2022, ruang partisipasi publik sangat minim, tertutup dan mirip seperti pembahasan RTRWP Riau 2017-2037 yang akhirnya terjadi korupsi,” kata Arpiyan.

Jikalahari mendorong DPRD Riau untuk membuka ruang partisipasi publik secara maksimal dan bermakna dalam penyusunan Ranperda RTRWP Riau 2024-2044, agar kasus korupsi RTRWP Riau tidak terulang kembali.