Lapor ....., di Sekitar PT TPL Kriminalisasi + Penculikan Merebak
Penulis : Aryo Bhawono
Agraria
Rabu, 31 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Masyarakat adat yang tinggal di sekitar konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) kian resah karena kriminalisasi makin merajalela. Aksi kriminalisasi ini sudah dilengkapi dengan penangkapan yang lebih mirip dengan adegan penculikan oleh aparat.
Merespon situasi ini, sekitar 500 warga masyarakat adat, mahasiswa, dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL menggelar aksi menjelang sidang Sorbatua Siallagan, salah satu korban kriminalisasi tersebut. Mereka melakukan aksi long march menuju Kejaksaan Negeri Simalungun dan Pengadilan Negeri Simalungun.
Beberapa bulan belakangan, kata mereka, melalui orasi, aparat melakukan penangkapan yang adegannya mirip dengan adegan penculikan. Misalnya Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Umbak Siallagan, dibawa paksa oleh sekelompok orang berpakaian preman ketika membeli pupuk pada Maret 2024 lalu.
Sorbatua sempat diduga diculik orang saat dirinya tengah berkonflik dengan PT TPL. Lahan masyarakat adat yang sudah didiami turun temurun diklaim sebagai milik perusahaan itu. Lebih dari sehari tak ada orang yang tahu keberadaannya.
Polisi sendiri mengaku menangkap Sorbatua sesuai dengan prosedur dan melakukan penangkapan atas laporan PT RPL dengan dugaan penebangan dan perusakan lahan milik TPL.
Kini Sorbatua tengah menghadapi tuntutan 4 tahun subsider denda Rp 1 Miliar atau menjalani 6 bulan penjara.
Selain Sorbatua lima masyarakat Sihaporas di Kabupaten Simalungun juga mengalami hal yang hampir sama dengan Sorbatua pada 22 Juli 2024 lalu. Kelimanya yakni Jonny Ambarita, Thomson Ambarita, Prado Tamba, Gio Ambarita dan Dosmar Ambarita.
Mereka didatangi sekitar 50 orang tak dikenal pada pukul 03.00 WIB dan dibawa paksa. Bahkan adegan pemukulan dan berbagai kekerasan terjadi dalam aksi itu.
Kelimanya pun tengah berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Kepolisian pun menyebutkan kelimanya dijerat dengan pasal 170 KUHP karena telah melakukan perusakan secara bersama-sama pada 18 Juli 2024.
Tetua Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas, Mangitua Ambarita, menyebutkan sejak 2019 masyarakat adat di sekitar konsesi TPL sudah mengalami berbagai intimidasi dan kriminalisasi. Salah satunya adalah Thomson dan Johny Amarita.
"Kami sering mendapat kriminalisasi dari pihak aparat kepolisian. Pada 2019 ada saudara kami yang dikriminalisasi lalu ada penculikan dinihari kemarin, anak saya sendiri menjadi korban. Ini harus ditindaklanjuti masyarakat adat bukan penggarap. Kami sudah ada sebelum Negara merdeka," ujarnya.
Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN), Nurleli Sihotang, menyampaikan tengah mendaftarkan kasus penculikan 5 masyarakat adat ke Pengadilan Negeri Simalungun.
"Kami sudah mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait sah atau tidaknya penangkapan masyarakat adat. Ada masyarakat adat yang diculik, ditendang, dipukuli bahkan disetrum saat penangkapan. Hal ini tidak sesuai dengan prosedur penangkapan seseorang, tidak ada surat penangkapan sebelumnya dan dilakukan pada dini hari. Kami ingin ini ditindaklanjuti, agar tak ada lagi narasi masyarakat adat diculik,” katanya.
Sedangkan kuasa hukum TAMAN lainnya, Boy Raja Marpaung, menyatakan kasus Siallagan dan lainnya tak laik masuk pidana.
Ada dua klaim soal lahan, kata dia, satu klaim atas nama perusahaan TPL dan satu klaim atas nama Masyarakat Adat. "Clear, ini masalah kepemilikan tanah."
Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) sendiri mencatat terdapat 11 kasus komunitas masyarakat adat yang hingga saat ini sedang berkonflik akibat pemberian konsesi kepada TPL dengan luasan tanah sekitar 25.000 hektar. Pada 11 Komunitas Masyarakat Adat ini terdapat 4.000 Kepala Keluarga atau sekitar 15.955 jiwa.
Masyarakat adat ini adalah Pandumaan dan Sipituhuta, Nagahulambu, Turunan Ama Raja Medang Simamora-Aek Lung, Masyarakat Matio, Turunan Op. Ronggur Simanjuntak/Op Bolus Simanjuntak, Turunan Op. Pagar Batu. Diharbangan Pardede dan Raja Pangumban Bosi, Tukko Nisolu, Sirambe-Nagasaribu, serta Sihas Dolok I-Simataniari-Sionomhudon (Sionom Hudon Utara-Sionom Hudon Timur I dan II).