Memperdebatkan UU KSDAE, Jubah Baru Rasa Lama

Penulis : Wahyu Eka Styawan & Lucky Wahyu Wardhana, WALHI Jawa Timur

OPINI

Jumat, 09 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

TEPAT sebulan lalu, pada 9 Juli 2024, pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (RUU KSDAHE). Regulasi ini merupakan revisi peraturan sebelumnya, yakni UU No. 5 Tahun 1990 yang dianggap sudah tidak relevan, sehingga perlu diubah. Perubahan tersebut di antaranya adalah memasukan usulan mengenai pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat, serta penambahan satu bab yang berfokus pada pendanaan di sektor konservasi.

Ketika UU ini disahkan, Eksekutif Nasional WALHI merilis Policy Brief  “8 Catatan Krusial RUU KSDAHE”. Dalam dokumen risalah kebijakan ini, WALHI menyampaikan bahwa UU revisi ini malah akan menimbulkan masalah-masalah baru. Yang digaris bawahi Walhi di antaranya, UU ini:  (1) Mengabaikan asas HAM sehingga berpotensi meminggirkan masyarakat lokal; (2) Bersifat ekstraktif dengan dimasukkannya pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi dan jasa lingkungan karbon; (3) Berpotensi mengkriminalisasi masyarakat lokal dan adat akibat penyesuaian ketentuan pidana di dalamnya; 4) Belum mengatur ketentuan mengenai pemulihan ekosistem; 5) Belum mengakomodir ketentuan hak gugat masyarakat dan organisasi.

Penyusunan UU KSDAE ini juga, menurut dokumen tersebut, tidak melibatkan publik secara terbuka, melainkan hanya secara terbuka terbatas. Terbuka terbatas maknanaya hanya melibatkan kelompok yang dianggap sebagai representasi publik—meskipun tidak.

Karpet Merah bagi Ekstraksi Panas Bumi

Dalam catatan kritis Eksekutif Nasional WALHI, UU KSDAHE hasil revisi tidak hadir sebagai pedoman baru yang bisa digunakan untuk perlindungan kawasan konservasi. Sebaliknya, perubahan dalam UU ini  memberi jalan bagi upaya pemerintah untuk memuluskan proyek pembangunan dan ekonomi yang mengancam wilayah konservasi.

Jaringan Masyarakat Sipil Tolak Geothermal mendesak dilakukannya investigasi atas gempa yang terjadi di Gunung Salak, yang diduga akibat aktivitas tambang panas bumi. Foto: Dokumentasi Star Energy

Dalam konteks Jawa Timur, itu terlihat dalam pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi. UU ini menjadi  karpet merah untuk pemanfaatan energi panas bumi dalam Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) di Jawa Timur, di antaranya WKP Arjuno-Welirang, WKP Lawu, WKP Blawan-Ijen, WKP Iyang Argopuro, WKP Gunung Pandang, WKP Gunung Wilis, WKP Songgoriti, dan WKP Telaga Ngebel.

Tentu saja ini kontradiktif, karena wilayah-wilayah ini merupakan kawasan konservasi. WALHI menilai, pembangunan proyek panas bumi tersebut akan mengancam keseimbangan kawasan hulu.

Di Arjuno-Welirang, misalnya, yang termasuk dalam area konservasi berdasarkan PERDA Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun 2013 tentang pengelolaan Tahura Raden Soerjo. Disebutkan bahwa Tahura Raden Soerjo adalah kawasan pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk tujuan koleksi habitat tumbuhan dan satwa. Selain itu, Taman Hutan Raya Raden Soerjo merupakan salah satu kawasan penting dari hulu DAS Brantas, karena menjadi rumah untuk 163 sumber mata air yang telah dimanfaatkan oleh warga lokal untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Adapun Blawan-Ijen merupakan bagian dari kawasan konservasi Taman Wisata Alam Kawah Ijen, sesuai penetapan Kementerian Pertanian 10 Desember 1981. Menurut Data dan Informasi Potensi Kawasan Konservasi, wilayah yang termasuk dalam administrasi Kabupaten Bondowoso dan Banyuwangi ini merupakan kawasan yang menyimpan keanekaragaman hayati. Terdapat 86 jenis flora yang telah teridentifikasi tumbuh di kawasan ini. Taman Wisata Alam Kawah Ijen juga menjadi habitat alami berbagai fauna seperti luwak, macan kumbang, kucing hutan, tupai pohon, tupai tanah, kijang, dan lutung jawa. Ini belum termasuk 107 jenis burung yang 21 jenis di antaranya merupakan burung endemik, seperti cucak gunung,  sepah gunung, cekaka jawa, walik kepala ungu dan ayam hutan hijau yang hanya ada di kawasan ini.

Sementara di Kawasan Iyang Argopuro, pembangunan proyek panas bumi akan mengancam Suaka Margasatwa Dataran Tinggi. Masih dalam laporan Data dan Informasi Potensi Kawasan Konservasi, Iyang Argopuro disebutkan sebagai habitat alami berbagai flora dan fauna, di antaranya cemara hutan,  tumbuhan pasang, tumbuhan jemuju, kera abu-abu, lutung, ayam hutan, gagak, dan macan tutul.

Pembangunan proyek panas bumi tidak hanya mengancam kelangsungan ekosistem di wilayah sekitar tapak, tetapi juga akan berdampak kepada warga. Kehadiran proyek ini akan mengancam ekosistem di kawasan Arjuno-Welirang, Blawan-Ijen dan Iyang-Argopuro, serta kawasan mata air yang menjadi tumpuan hidup warga lokal sekitar Malang Raya, Surabaya Raya, Bondowoso, Banyuwangi, Jember, Situbondo dan Probolinggo.

Kontradiksi Panas Bumi

Kendati seringkali dikatakan sebagai Energi Baru Terbarukan (EBT) yang diklaim lebih rendah keluaran emisinya dibanding energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, nyatanya operasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) memiliki dampak sangat berbahaya bagi lingkungan karena punya risiko cukup tinggi, seperti kasus bencana industrial yang terjadi di Mataloko, Nusa Tenggara Timur. Operasi pembangkit panas bumi di sana menyebabkan semburan gas dan air limbah yang merusak lahan pertanian milik warga.

Lalu di Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, proyek panas bumi telah berkali-kali membawa petaka bagi warga. Pada 2021 tercatat 5 orang meninggal akibat kebocoran pipa, serta menyebabkan ratusan orang mengungsi. Pada 2024 lalu sekitar 101 orang kembali keracunan.

Lalu di Jawa, kita bisa menengok apa yang terjadj di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Di sana, pembangkit panas bumi pernah meledak dan menyebabkan setidaknya 6 warga mengalami luka-luka pada 2022 lalu. Bergeser ke Banyumas, pembangunan pembangkit panas bumi di Baturaden, telah menyebabkan kerusakan pada kawasan hulu yakni Gunung Slamet yang menimbulkan banjir dan longsor. Di Jawa Timur, kebocoran pipa saat eksplorasi panas bumi di Blawan-Ijen pernah terjadi pada tahun 2020 lalu. Kala itu ledakannya mengganggu kehidupan warga, bahkan membuat warga trauma, terutama bagi warga Kalianyer.

Para pembuat UU KSDAE sepertinya tidak pernah melihat bagaimana kontradiktifnya aturan ini, serta bagaimana dampak aturan ini nantinya. Dalam kasus panas bumi, para pembuat aturan ini tidak pernah belajar soal kontradiksi antara perlindungan dan eksploitasi, bagaimana dampak yang terjadi ketika konservasi dikalahkan, dan seperti apa daya desktruktif dari panas bumi yang diklaim terbarukan, tidak rakus ruang, dan air.

Refleksi Konservasi Sampai Mana

Namun bahkan pendekatan para pembuat UU KSDAE ini masih bias. Konservasi yang bisa mereka bayangkan lekat dengan eksploitasi, seperti tersirat pada kata pendekatan valuasi karbon hingga eksploitasi panas bumi. Pada dasarnya ini menunjukkan pendekatan konservasi yang masih ortodoks, karena melihat objek manusia sebagai biang kerok atas rusaknya kawasan, tanpa melihat aktor-aktor yang terlibat dan bagaimana tumpang tindih regulasi, sampai praktik-praktik korupsi, seringkali mendorong alih fungsi demi investasi semata.

Meski UU hasil revisi menekankan pelibatan warga lokal dan adat, amanat tersebut kontras dengan penetapan kawasan “preservasi”, yang membagi zona-zona kawasan layaknya “teritori”, atau wilayah yang memiliki pengaturan terpisah dari entitas warga lokal dan adat, serta menerapkan rezim administrasi “negaraisasi” hutan adat dengan mendorong pengakuan recognition by grace atau melalui skema negara ke warganya, bukan dari warga ke negara atau recognition by leverage.

Hasilnya, penetapan konservasi selama ini cukup bermasalah, karena lekat dengan peminggiran warga adat dan lokal, serta kamuflase eksploitasi atas suatu kawasan. Karena, secara praktikal, bagaimana konservasi diaplikasikan masih berwatak kolonial, yakni restriktif dan kerap mengeksklusi warga yang berada di sekitarnya. Seperti diungkapkan oleh Dominguez dan Luoma (2020), kebijakan konservasi selama ini dibangun seperti benteng yang memisahkan secara paksa warga adat dengan ruang hidupnya. Selain itu, model konservasi yang masih bertahan hingga saat ini masih bercorak sama, yakni romantisme yang bertumpu pada pendekatan ide terra nullius atau memandang bahwa ruang tidak ada yang menempati atau mengelola. Ide ini meromantisasi wild life sebagai alam liar yang di dalamnya tidak ada manusia. Mereka, para konservasionis ini, membayangkan wild life adalah yang terpisah dari persoalan sosial politik, serta mengklaim sebagai pendekatan deep ecology seperti yang disampaikan oleh Hendlin (2014) . Padahal cara-cara itu adalah bentuk dari antroposentrisme yang memaksa pembentukan alam terpisah dari entitas kehidupan.

Sebelumnya Hendlin (2014) juga menyebutkan bahwa model konservasi memang seharusnya sudah berubah, lebih menekankan pada bagaimana tidak melakukan model eksklusi seperti watak kolonial tetapi melibatkan sang empu wilayah. Seperti di Brazil, warga adat berkolaborasi dengan para konservasionis untuk melindungi dan memulihkan Amazon tanpa mengeksklusi mereka atau mengarahkan bagaimana mereka harus hidup, atau melepaskan determinisme konfigurasi praktik kehidupan. Maka konservasi memang seharusnya sudah berubah dengan mengakui entitas manusia yang sudah lama mengelola dan menempati ruang tersebut.

Praktik konservasi ortodoks dan eksploitatif oleh karenanya harus ditinggalkan dengan merestrukturisasi serta mengkonfigurasi atau “mengubah dan mengatur” konservasi yang mengakui warga adat dan lokal serta pengetahuan dan manajemen kelola mereka. Masalahnya, selama “politik” masih stagnan, belum berubah dari yang lama, yang baru nanti masih seperti sekarang ini, perubahan total tidak akan terjadi, sebagaimana disampaikan oleh Gunawan Wiradi dalam “Reforma Agraria Perjalanan Belum Berakhir”. Konteks dalam buku itu memang berbeda, tetapi sangat relevan, yakni reform atau perubahan total mengharuskan perubahan struktur politik.