Rezim Kasih Pasal 162 untuk 2 Warga Torobulu, Ini Kata Ahli Hukum
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Jumat, 09 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penggunaan Pasal 162 Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) dalam kasus dugaan menghalangi aktivitas pertambangan yang didakwakan kepada Andi Firmansyah dan Hasilin, dua warga Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, dinilai tidak tepat. Menurut Prof. Andri Gunawan Wibisana, yang dihadirkan kuasa hukum Andi dan Hasilin, sebagai ahli hukum lingkungan, pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Rabu (7/8/2024), perbuatan Andi dan Hasilin yang mempertanyakan informasi tentang analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) kepada pihak perusahaan nikel, merupakan bagian dari hak prosedural. Dalam hal ini adalah hak atas informasi, dan itu dilindungi undang-undang.
Lebih lanjut, Prof. Andri mengatakan, Pasal 162 UU Minerba yang didakwakan kepada Andi dan Hasilin penting untuk dilihat konteksnya lebih jauh lagi. Karena, menurutnya, penerapan pasal tersebut lepas dari latar belakang bagaimana upaya warga mendapatkan informasi aktivitas PT Wijaya Inti Nusantara (WIN).
Dalam persidangan itu, tim kuasa hukum bertanya kepada Prof. Andri, soal penerapan Pasal 162 UU Minerba dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Mengingat adanya ketentuan Pasal 66 dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
“Sebelum kita menyimpulkan bahwa terjadi benturan antardua pasal tersebut, maka harus dilihat terlebih dahulu, apakah Pasal 162 UU Minerba itu dapat digunakan atau tidak," jawab Prof. Andri, dalam keterangannya yang disampaikan melalui Zoom Meeting di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo.
"Menurut Putusan MK Nomor 32/PUU-VIII/2010 Tahun 2012, tidak cukup hanya melihat IUP-nya, tetapi harus dilihat pula proses penentuan Wilayah Pertambangan (WP),” imbuh Prof. Andri.
Prof. Andri melanjutkan, putusan MK tersebut juga menentukan 4 kriteria proses WP, salah satunya wajib menyertakan pendapat masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.
"Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka Pasal 162 tidak dapat digunakan,” ujar Prof. Andri.
Prof. Andri kemudian memberikan pendapat keahliannya terhadap tindakan yang dilakukan oleh Haslilin yang mengetuk pintu excavator dan teriakannya meminta agar excavator berhenti, dan Andi Firmansyah yang membuangkan segumpal tanah ke bagian bucket excavator serta lambaian tangan dengan teriakan “mundur” pada 6 November 2023 lalu, yang dinilai oleh JPU merupakan tindakan menghalangi atau merintangi aktivitas penambangan PT WIN.
Prof. Andri mengatakan, seandainya Pasal 162 UU Minerba tetap mau dihidupkan dan dalam persidangan terungkap fakta hukum bahwa para terdakwa merupakan orang yang sedang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, berdasarkan asas subsidiaritas dan proporsionalitas yang telah diatur melalui PERMA No. 1 Tahun 2023, maka yang harus diberlakukan adalah Pasal 66 UU PPLH dan putusan hakim seharusnya lepas.
"Ketika terjadi keragu-raguan bagi APH (aparat penegak hukum), maka berlaku asas “in dubio pro natura”, kalau ragu maka pilihlah pasal yang menguntungkan lingkungan hidup,” kata Prof. Andri.
Berdasarkan infomasi yang dihimpun dari warga, dalam beberapa kali pertemuan yang dilakukan di Balai Desa Torobulu sejak September 2023 lalu, warga Torobulu telah meminta PT WIN agar memperlihatkan dokumen Amdal ke warga. Namun pihak perusahaan tidak pernah menunjukkan Amdal-nya kepada warga.
Pertemuan dan segala upaya, mulai dari aksi demonstrasi sampai pada pelaporan dugaan kejahatan lingkungan di Kejaksaan Tinggi Kendari, tidak membuahkan hasil apapun bagi warga Desa Torobulu. Sementara itu, pihak perusahaan hingga saat ini masih tetap melakukan aktivitas penambangan di Torobulu.
Warga dan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Peduli Lingkungan dan HAM (Apel-HAM) ikut mengawal jalannya persidangan dengan melakukan aksi di depan pintu masuk pengadilan. Aksi dilakukan dengan membawa miniatur tongkang berisi lumpur yang diambil dari pesisir pantai sekitar area tambang yang dilakukan PT WIN.
"Serong (alat tangkap ikan/udang/cumi) sudah tidak berfungsi lagi. Yang dulunya kami bisa cari ikan, kerang, udang di pinggir-pinggir pantai, sekarang sudah tidak bisa. Karena, jadi lumpur semua,” kata Ayu, salah seorang warga Torobulu dalam orasinya.
Ayu melanjutkan, warga Torobulu meminta kepada Majelis Hakim PN Andoolo agar tidak mengaburkan fakta bahwa di Torobulu telah terjadi kerusakan lingkungan yang terus menerus, setelah adanya aktivitas tambang.
Sidang kriminalisasi Andi Firmansyah dan Hasilin ini kembali akan digelar pada Senin, 12 Agustus 2024, dengan agenda pemeriksaan ahli dari pihak terdakwa.