Hore..., Petani Sawit Sintang Punya Pabrik Sendiri
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Jumat, 16 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Suara Yustus Laud terdengar riang saat menceritakan kabar baik bagi petani sawit di Desa Telaga Dua, Binjai Hulu, Sintang, Kalimantan Barat. Per 1 Juli lalu, sebuah pabrik kelapa sawit mini resmi berdiri di desanya. Yang bikin sumringah pabrik itu dikelola secara mandiri oleh petani, yang tergabung di dalam Kelompok Tani (Gapoktan) Tuah Telaga.
“Harapannya dengan pabrik ini kita tidak lagi bergantung pada pabrik milik perusahaan besar untuk menjual buah sawit petani,” kata pria yang disapa Laud ini.
Laud, kepala desa sekaligus penasihat Gapoktan Tuah Telaga, juga merupakan seorang petani. Banyak peristiwa pahit yang dialaminya, hingga mendorong Laud bersama petani lainnya mengupayakan pembangunan pabrik mini tersebut.
Salah satunya adalah kejadian sekitar tiga tahun lalu, ketika petani di desanya mengirim 1 truk berisi 8 ton tandan buah segar (TBS) ke sebuah pabrik milik perusahaan besar di Sintang. “Yang dibeli hanya separuh, yang lain dibuang dan dibakar. Itu membuat petani trauma,” ujar Laud.
Menurut Laud, petani di Desa Telaga Dua tidak ingin hal itu terulang lagi. Namun, hal yang benar-benar mengubah segalanya adalah ketika kelangkaan minyak goreng terjadi di Indonesia pada akhir 2022. Petani-petani yang justru setiap bulan menjual TBS–bahan baku untuk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang salah satunya diolah menjadi minyak goreng–malah kesusahan mendapatkannya. Sangking mahalnya, Laud ingat harga minyak goreng di desanya mencapai Rp 26,000 per kilogram.
“Bayangkan kita menghasilkan bahan baku untuk minyak goreng, tetapi kita malah tidak sanggup beli,” kata Laud.
Per 1 Juli 2023, Gapoktan Desa Telaga Dua bersama sejumlah organisasi nonprofit yang mendampingi seperti Serikat Petani Kelapa Sawit, WWF Indonesia, dan Solidaridad Indonesia, memulai proses pengajuan untuk mendirikan pabrik kelapa sawit (PKS) mini, yang kini telah mulai beroperasi tepat setahun kemudian pada 1 Juli 2024.
Menurut Laud, pabrik mini tersebut memiliki izin rontok, yang artinya selain mengumpulkan TBS, juga dapat mengolah buah sawit menjadi produk turunan seperti CPO. Harga yang berlaku pun kini adil, mengikuti ketetapan harga oleh pemerintah provinsi. Laud meyakini hal ini penting bagi kelompoknya, yang terdiri dari 187 petani swadaya. Mereka tergabung dalam koperasi, dan mengelola lahan sawit dengan total lebih dari 500 hektare.
“Setahu saya, pabrik ini satu-satunya yang punya di Kalimantan Barat. Di provinsi lain di Kalimantan sepertinya juga tidak ada,” kata Laud.
Berkat dukungan mitra dan pemda
Meskipun berskala kecil, dengan kapasitas pengolahan 1 ton per jam di atas lahan seluas 2.500 meter persegi, Laud berharap ini menjadi awal bagi petani di desanya untuk benar-benar mandiri dan sejahtera. Tetapi saat memulai inisiasi tersebut sempat terbit kekhawatiran. “Kendala pasti banyak, mulai dari biaya sampai regulasi,” katanya.
Lagi, tantangan paling besar adalah tidak ada regulasi yang mengatur secara khusus tentang pabrik yang dikelola petani. Namun menurut Laud, pemerintah kabupaten Sintang terbuka dan cepat dalam memberikan izin bagi petani. Mereka melakukan banyak pertemuan dan proses perizinan selalu didampingi oleh mitra dari organisasi masyarakat sipil.
“Ketika kami sudah memperoleh izin, kami jadi lebih semangat. Tantangan lainnya seperti biaya pun bisa kami atasi,” katanya.
Suasana di dalam pabrik kelapa sawit mini milik kelompok tani di desa Telaga Dua, Sintang, Kalimantan Barat. Pabrik mulai beroperasi pada Juli 2024. Dok. Istimewa
Kepala Departemen Advokasi SPKS, Marselinus Andry, mengatakan bahwa respons pemerintah Kabupaten Sintang yang cepat menjadi salah satu kunci kelancaran pembangunan pabrik tersebut. Pabrik mini itu pun dapat berdiri dalam waktu satu tahun, sejak diinisiasi pada Juli 2023.
“Kami mengapresiasi Pemkab Sintang yang mendukung pembangunan pabrik mini oleh petani sawit. Kami juga berharap agar pemerintah kabupaten dapat mengawasi dan memastikan keberlanjutan PKS mini yang dibangun oleh petani,” kata Andry.
“Hal ini terutama dalam mencegah persaingan harga TBS di tingkat pabrik maupun aktor pemasaran sawit lainnya, sehingga tidak merugikan petani dan mengganggu suplai bahan baku ke pabrik mini, terutama yang bersumber dari kelompok tani atau KUD/koperasi perkebunan,” ujarnya. Pasalnya, permainan harga seringkali mengganggu suplai bahan baku yang dikelola kelembagaan tani/koperasi.
Kini para petani membutuhkan dukungan lanjutan. Sebagai pendamping, SPKS menilai hal yang diperlukan adalah membuka jalan bagi investor pembeli minyak sawit untuk bekerjasama dengan pabrik mini. Ini juga termasuk mendorong pengembangan prodak turunan lain dari pengolahan sawit pabrik mini.
Mengapa PKS mini penting bagi petani?
Menurut pengakuan Laud selama ini petani di desanya maupun di desa-desa lain menjual hasil panen TBS kepada tengkulak. Sehingga harga yang didapatkan di bawah ketetapan pemerintah provinsi, dengan marjin sebesar sampai Rp 500-600 per kilogram.
Pihaknya juga harus mengangkut hasil panen ke lokasi pabrik yang berjarak 40 kilometer dari kebun. Biaya angkutnya, sekitar Rp200-300 per kilogram, keluar dari kocek petani. Biaya-biaya ini merupakan pendapatan yang hilang bagi petani.
“Dengan pabrik mini, tidak ada lagi biaya angkut dan harganya juga sudah sesuai dengan yang ditetapkan oleh provinsi,” kata Laud.
Andry mengatakan saat ini pabrik kelapa sawit milik koperasi petani masih sedikit. SPKS, misalnya, hanya mendampingi satu yang sudah beroperasi dan satu di Aceh dalam tahap perencanaan.
Menurut data Auriga Nusantara, saat ini terdapat 1.328 pabrik kelapa sawit yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya tiga yang diidentifikasi berbadan hukum koperasi, masing-masing satu di Aceh, Jambi, dan Riau. Sisanya dimiliki oleh korporasi. Jumlah PKS terbanyak ada di Riau (257), Sumatra Utara (212), Kalimantan Tengah (131), Kalimantan Barat (126), dan Kalimantan Timur (110).
“Pabrik ini secara ekonomi menguntungkan bagi petani. Ada nilai tambah dengan harga yang sudah seharusnya,” kata Andry.
“PKS diperlukan agar koperasi petani lebih memiliki posisi tawar dan mampu bersaing dalam rantai pasok CPO global,” kata Andry. Dia menambahkan pabrik mini bisa menjadi solusi permasalahan rantai pasok dan akses yang sulit ke pabrik yang dihadapi petani.
Salah satu mesin di pabrik kelapa sawit mini yang dikelola kelompok petani di desa Telaga Dua, Sintang, Kalimantan Barat. Dok. Istimewa
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, kebun sawit rakyat yang tercatat mencapai 6,7 juta hektare. Menurut SPKS, sekitar 5,3 juta hektare merupakan kebun sawit swadaya (kepemilikan seluas ≤ 5 hektare per petani) di 12 provinsi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, dapat menghasilkan 14,8 juta MT CPO (yield 2,8 MT per hektare per tahun).
“Artinya, produksi CPO dari petani swadaya sangat besar. Sayangnya selama ini mereka hanya berhenti di penjualan TBS dengan harga yang rendah karena belum terhubung secara langsung dengan pabrik,” kata Andry.
Menurut Andry, jika pemerintah melakukan transformasi di sektor hulu, perkebunan rakyat terutama petani swadaya dapat mengarah ke pembangunan pabrik mini berbasis koperasi atau badan usaha milik desa (Bumdes). “Secara ekonomi tentu sangat menguntungkan dan berdampak pada kesejahteraan petani dan keluarga petani di sekitar perkebunan sawit,” kata Andry.
“Karena itu, konsep mini mill berbasis koperasi atau Bumdes ini perlu didukung oleh pemerintah, sehingga penurunan angka kemiskinan di wilayah perkebunan sawit bisa tercapai,” ujarnya.
Tantangan dan mimpi ke depan
Laud sadar tidak boleh cepat berpuas diri. Menurutnya masih banyak tantangan ke depan. Salah satunya adalah maintenance mesin produksi, serta sokongan tenaga listrik yang memadai. Saat ini di desa Telaga Dua, yang memiliki 430 kepala keluarga, hanya memiliki 1 gardu listrik. “Jadi sangat tidak memungkinkan kalau tidak ditambah gardu. Kita menunggu itu… ada permohonan gardu yang belum disetujui. Karena kebutuhan menggerakkan mesin pabrik adalah listrik,” ujarnya.
“Terus berproses. Kami juga ingin sepenuhnya menghasilkan sawit yang punya sertifikasi berkelanjutan. Mimpi kami adalah bagaimana bisa mandiri, dan bisa bertahan dalam kondisi yang sangat susah,” kata Laud.
Menurut Rukaiyah, selain rantok pasok yang panjang dan sulitnya akses ke pabrik, petani juga menghadapi kecenderungan perusahaan memprioritaskan penerimaan TBS, yang dimulai dari kebun inti dan plasma. Kedua jenis kebun ini dikembangkan untuk bermitra dengan masyarakat.
“Prioritas terakhir adalah buah luar dari petani swadaya. Sedangkan TBS memiliki masa ‘kesegaran’ terbatas. Jika melewati 10 jam, maka TBS akan masuk kategori tidak segar. Kualitasnya dianggap turun,” kata Rukaiyah.
“Maka jika pabrik dikelola koperasi petani harusnya bisa. PKS yang dimaksud adalah PKS dengan kapasitas minimal 30 ton/jam,” katanya. Menurutnya, Fortasbi saat ini mendampingi koperasi petani di Kalimantan Tengah, yang juga sedang mengupayakan pendirian PKS mini. Saat ini para petani tersebut baru saja menyelesaikan izin analisis dampak lingkungan (Amdal).
Rukaiyah mengatakan pabrik mini yang dikelola petani di setiap provinsi bisa diwujudkan. “Namun perlu pertimbangan serius. Jangan sampai muncul pabrik nonkebun yang mengatasnamakan petani atau koperasi tapi sebetulnya adalah investor. Ini akan berbahaya. Karena petani tetap akan jadi pedagang buah saja,” katanya.
Namun hal ini harus studi yang matang mengenai daya dukung, daya tampung lingkungan, dan pengaturan tata ruang di sebuah kabupaten atau provinsi. Hal ini untuk mencegah ekspansi kebun kelapa sawit. Di sisi lain, perbaikan skema kemitraan antara petani dengan perusahaan juga harus dilakukan. Perbaikan tata kelola sawit melalui regulasi, legalitas petani dan dan data.
“Sudah saatnya pemerintah berinvestasi pada hilirisasi sawit oleh koperasi dan menyetop pemberan izin pabrik kepada investor,” katanya.
Peresmian pabrik kelapa sawit mini milik kelompok petani di desa Telaga Dua, Sintang, Juli 2024. Dok. Istimewa