Bau-bau Kolonial di IKN, Kata Walhi Lebih Kuat

Penulis : Aryo Bhawono

Agraria

Jumat, 16 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Presiden Joko Widodo mengaku merasakan bau-bau kolonial ketika menetap di Istana Kepresidenan Jakarta dan Bogor. Bangunan itu sempat dihuni oleh Gubernur Jenderal VOC dan Belanda.

Istana Negara Jakarta sempat dihuni pemerintah kolonial pada masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten. Istana Merdeka Jakarta dihuni oleh Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge. Sedangkan Istana Kepresidenan di Bogor dihuni oleh Gubernur Jenderal GW Baron van Imhoff.

Saya hanya ingin menyampaikan bahwa itu sekali lagi Belanda, bekas gubernur jenderal Belanda dan sudah kita tempati 79 tahun. Jadi bau-baunya kolonial selalu saya rasakan setiap hari, dibayang-bayangi," kata dia.

Merespon pernyataan ini, Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Dwi Sawung, mengungkap bau kolonial justru tampak di Ibu Kota Nusantara (IKN). Meski pusat pemerintahan baru, lengkap dengan istana presiden, itu tak dibangun oleh kolonial namun kebijakan dan regulasi pembangunan IKN itu menurutnya bercitarasa kolonial. 

Presiden Joko Widodo berfoto bersama para gubernur, bupati, dan wali kota di Istana Negara, Ibu Kota Nusantara, Provinsi Kalimantan Timur pada Selasa, 13 Agustus 2024. Foto: Setneg

Cita rasa kolonial yang paling kental dari IKN, menurut Sawung, adalah pemberian jaminan kepastian jangka waktu hak atas tanah. Ia menyebutkan Perpres No 75 Tahun 2024 Tentang Percepatan Pembangunan IKN memberikan jaminan kepastian jangka waktu hak atas tanah sangat paniang. 

Pasal 9 ayat 2 peraturan itu menyebutkan jangka waktu hak guna usaha (HGU) mencapai 180 tahun. Sedangkan hak guna bangunan dan hak pakai selama 160 tahun. 

“Ini bahkan lebih lama dari aturan kolonial dan sangat merugikan. Dan bahkan melebihi dari kolonial. Inilah bau-bau kolonial itu,” ucapnya. 

Sawung membandingkan jangka waktu hak atas tanah ini dengan Agrarische Wet 1870 (UU Agraria). Aturan itu menyebutkan pihak swasta dapat menyewa tanah pemerintah selama 75 tahun dan tanah pribumi selama 30 tahun. 

Penyewaan jangka panjang ini dianggap merugikan karena mencakup tanah pertanian sehingga masyarakat hanya duduk sebagai pekerja saja. 

Berbagai aturan soal IKN pun mengalami perubahan yang cukup cepat, baik UU IKN maupun aturan turunannya. Hal ini, kata Sawung, menunjukkan bahwa IKN justru dibangun dengan selera investor, bukan pemerataan yang selama ini digaungkan pemerintah. 

“Meski banyak investor asing yang masih juga tidak tertarik pemerintah terus memberikan berbagai kemudahan dan keuntungan untuk mereka. Dan ironisnya masih juga tidak tertarik. Alhasil pembangunan IKN kini membebani APBN,” ujarnya.

Ia menyebutkan semua hal tersebut menunjukkan betapa ngototnya pemerintah soal pembangunan IKN. 

Tak hanya itu rekayasa infrastruktur yang dipakai untuk menambal kebutuhan IKN, seperti pencukupan kebutuhan air juga telah gagal. 

Penggusuran oleh Korporasi di sekitar IKN

Sementara itu warga Kabupaten Penajam Paser Utara, Yudi Syahputra, mengungkapkan warga seputar IKN juga menghadapi ancaman dari korporasi. Kampung di sekitar desanya kini harus berhadapan dengan korporasi. 

Warga desa di Telemow misalnya. Sebanyak 93 kepala keluarga di 83,55 hektare terancam digusur. PT ITCI Kartika Utama mengklaim bahwa lahan yang hendak digusur tersebut merupakan bagian dari Hak Guna Bangunan (HGB). 

Bahkan, sejak 2017 lalu masyarakat yang berada di RT 13 dan 14 kerap mendapat intimidasi dan penggusuran dari pihak perusahaan. Tak hanya masyarakat saja, tapi juga bangunan Puskesmas serta kantor desa juga bakal ikut tergusur. Ini adalah HGB yang ternyata masuk di dalam wilayah IKN.    

“Korporasi ini ada benang merah juga dengan IKN, bahkan mendekati peringatan Hari Kemerdekaan ada warga yang dipanggil Polda untuk diperiksa sebagai saksi karena aduan penyerobotan tanah oleh perusahaan,” ujarnya.