Frasa Masyarakat Adat Absen di Pidato Kenegaraan Jokowi

Penulis : Aryo Bhawono

Masyarakat Adat

Minggu, 18 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Frasa ‘masyarakat adat’ absen di Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo pada Jumat lalu (16/8/2024). Mereka selama ini menanggung derita atas konflik agraria, terutama menghadapi korporasi. Mereka pun merasa diingkari dan ditipu oleh Presiden Joko Widodo. 

Abdon Nababan dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyatakan selama sepuluh tahun pemerintahan Presiden Jokowi, masyarakat adat merasa tertipu dengan janji-janji yang pernah ia sampaikan dan komitmennya di awal pemerintahan yang tercantum dalam Nawacita. Apalagi setelah frasa ‘masyarakat adat’ absen dari Penyampaian Laporan Kinerja Lembaga-Lembaga Negara dan Pidato Kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan RI.

“Tidak ada satupun frasa “masyarakat adat” dalam pidato itu. Pidato itu hanya berisi klaim-klaim angka keberhasilan pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, bendungan dan jaringan irigasi. Jokowi juga mengklaim keberhasilan pembangunan smelter dan industri pengolahan untuk nikel, bauksit, dan tembaga,” ucap Abdon.

Ia menceritakan perjumpaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan Jokowi sejak dia menjadi calon presidendi tahun 2014. Kala itu pasangan capres-cawapres Jokowi-Jusuf Kalla menorehkan 6 janji Nawacita untuk Masyarakat Adat. Lembaga itu dan jaringan pendukung bekerja secara sukarela menggalang suara. 

Suku Awyu dan Moi sedan mengelar doa dan ritual adat depan Kantor Mahkama Agung Jakarta Pusat 27 mei 2024.Foto : Greenpeace Indonesia

“Paling sedikit 12 juta suara kami sumbangkan untuk kemenangan Jokowi- JK. Setelah kemenangan, saya mewakili AMAN menerima obor relawan dari Surya Paloh dalam satu upacara di Kemayoran,” ucapnya.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, mengungkap dalam sepuluh tahun terakhir, politik hukum masyarakat adat semakin memburuk. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja, KUHP, revisi UU IKN, UU KSDAHE, dan berbagai peraturan perundangan di bidang agraria dan sumber daya alam justru mengandung unsur penyangkalan kuat terhadap eksistensi Masyarakat Adat beserta hak-hak tradisionalnya. 

Political will pemerintahan sangat rendah terhadap masyarakat adat. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan Masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan Masyarakat Adat,” papar 

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus, menyebutkan seluruh klaim keberhasilan di dalam pidato tersebut dibangun di atas perampasan dan penggusuran wilayah masyarakat adat. Data AMAN hingga Mei 2024 menunjukkan bahwa sepanjang pemerintahan Jokowi telah terjadi perampasan wilayah adat seluas 11,07 juta hektare, sebanyak 687 konflik Masyarakat Adat yang mengakibatkan 925 orang dikriminalisasi, serta puluhan diantaranya mengalami luka-luka dan satu orang meninggal dunia.

Selain itu, pengakuan wilayah adat baru mencapai 16 persen dari 30,1 juta hektar peta wilayah adat yang teregistrasi di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Sedangkan pengakuan hutan adat baru mencapai 8 persen dari 3,4 juta hektar potensi hutan adat dari wilayah adat yang telah ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah.

“Janji tinggal janji. Janji Nawacita hanya tipuan. Jokowi 10 tahun berkuasa tak satu pun janjinya dipenuhi. Jangankan berterimakasih dan minta maaf bahkan satu kata Masyarakat Adat pun tidak disebutkan di Pidato Kenegaraan terakhirnya pagi tadi,” kata Abdon.