Petani x Smelter Nikel Baoshuo: Jalan Tani Diambil, Warga Digugat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Selasa, 20 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Konflik lahan antara masyarakat Desa Topogaro dan Desa Tondo, Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), dengan PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP), berbuah gugatan hukum. Empat warga dua desa tersebut, yakni Rahman Ladanu, Safaat, Sadam, dan Imran, digugat oleh PT Baoshuo Taman Industri Invesment Grup (BTIIG)--tenant PT IHIP--ke Pengadilan Negeri (PN) Poso.

"Sebelumnya perusahaan laporkan kami ke Polda Sulteng dengan tuduhan menghalang-halangi investasi. Tanggal 15 Juni kemarin kami dapat surat panggilan dari PN Poso atas gugatan BTIIG," kata Rahman Ladanu, Senin (19/8/2024).

Menurut isi gugatannya, Rahman dan tiga warga lainnya itu dituduh melakukan perbuatan melawan hukum (PMH), atas aksi blokade jalan produksi di Desa Topogaro kawasan PT IHIP. Mereka dituntut membayar nilai kerugian materil sebesar Rp4.325.235.948, yang diakumulasi dari hitungan per hari selama tiga hari aksi blokade jalan. Besaran perharinya Rp1.441.745.316. Ditambah kerugian immaterial Rp10 miliar atas pencemaran nama baik perusahaan.

"Kami anggap ini upaya perusahaan untuk membungkam perlawanan warga. Kami tidak melawan hukum, kami sedang mempertahankan hak. Lagi selama hampir 3 tahun perusahaan hadir di sini apakah mereka taat hukum, dan apakah aparat penegak hukum bertindak atas itu?" kata Rahman.

Sebuah tenda dibangun warga Desa Anumbu, di samping fly over PT IHIP. Pembangunan tenda ini sebagai bentuk protes terkait jalan tani yang diklaim perusahaan sebagai jalan hauling tambang. Foto: Istimewa.

Lebih lanjut Rahman menjelaskan, aksi blokade jalan yang warga lakukan tersebut merupakan respon adanya klaim yang dilakukan perusahaan atas kepemilikan jalan, berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pemerintah Kabupaten Morowali. Sedangkan, jalan tersebut adalah jalan produksi yang juga menjadi akses ke Cagar Budaya Goa Favompogaro dan dua dusun di Desa Tondo dan Desa Topogaro.

"Kalo perusahaan miliki jalan tersebut, tidak ada jaminan warga masih diberi akses untuk menggunakan. Seperti jalan tani Ambunu yang saat ini sudah berdiri gudang penyimpanan ore dan smelter, yang tidak bisa lagi dilalui warga," ujarnya.

Rahman mengakui, persoalan hukum ini sedikit banyak memengaruhi mental dan psikologi warga, terutama keluarga masing-masing tergugat. Namun, konsolidasi warga terkait perjuangan membebaskan jalan yang diklaim milik PT IHIP itu masih dilakukan.

"Untuk sementara blokade jalan berhenti menunggu negosiasi Pemda dan perusahaan terkait pembatalan MoU. Tapi sepertinya tidak ada titik temu, perusahaan tetap bersikeras jalan tersebut milik mereka sesuai MoU. Konon, ada nilai yang dikeluarkan perusahaan untuk proses MoU tersebut sehingga mereka (perusahaan) bersikeras," kata Rahman.

Wandi, Pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, menilai perkara hukum yang dialami Rahman dan 3 warga lainnya tersebut merupakan bagian dari upaya melakukan pembungkaman terhadap masyarakat memperjuangkan hak hidupnya. Tindakan serupa, kata Wandi, juga tidak menutup kemungkinan akan terjadi juga kepada warga desa-desa lainya, seiring dengan perluasan kawasan industri nikel yang akan dilakukan. Ditambah dengan lemahnya kontrol pemerintah, atas kasus pelanggaran oleh perusahaan.

“Penggusuran paksa lahan sawit produktif seluas 14 hektare milik 12 KK di Desa Ambunu, sekitar pukul 02:00 WITA pagi pada 17 Oktober 2022 tanpa diketahui oleh pemiliknya, adalah gambaran tindakan semena-mena perusahaan. Walaupun dengan keadaan terpaksa masyarakat menerima ganti rugi, praktik perusahaan tidak ubahnya seperti zaman penjajahan,” kata Wandi.

PT BTIIG merupakan perusahaan pengelola berbasis smelter nikel di dalam kawasan IHIP. Komposisi saham PT IHIP terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51%, Beijing Shengyue Oriental Invesment Co., Ltd 10,28%, PT Kejayaan Emas Persada 27,45%, dan PT Himalaya Global Investment 11,27%. Dengan nilai investasi sebesar 14 triliun rupiah.

Kawasan IHIP sendiri seluas 20.000 hektare, terletak di Desa Wata, Desa Tondo, Desa Ambunu, Desa Topogaro, Desa Upanga, Desa Larebonu dan Desa Wosu. Pembangunan kawasan ini sebagai bagian dari zona percontohan kerja sama internasional berkualitas tinggi di bawah kebijakan “One Belt, One Road Inisiative.”

Wandi menguraikan, aksi blokade yang dilakukan oleh warga Desa Topogaro itu, merupakan buntut kemarahan warga setelah beredarnya video Legal Eskternal PT IHIP atas nama Riski, yang isinya menyampaikan bahwa jalan tani yang sekarang digunakan sebagai jalan hauling (jalan angkut material tambang) adalah milik sah PT BTIIG, berdasarkan MoU tukar guling asset dengan Pj. Bupati Morowali. Aksi tersebut dilakukan selama tiga hari, yakni 11-14 Juni 2024 dan berlanjut dua hari pada 21-22 Juni 2024.

Jalan tani Topogaro-Dusun Folili, sudah ada jauh sebelum perusahaan nikel, sudah digunakan oleh warga setempat--masih berupa jalan tanah setapak--sebagai akses menuju ke Gua Topogaro (situs budaya) dan kebun seperti kopi, kakao, dan sawah.

Sebelum berujung gugatan hukum, PT BTIIG pernah melayangkan somasi No. 10/BTIIG-Legal/VI/2024 kepada Rahman Ladanu, Safaat, Sadam, dan Imran. Somasi tersebut muncul atas aksi yang mereka lakukan perihal pemalangan jalan di objek yang sudah dibebaskan. Pada 20 Juni 2024, empat warga tersebut kembali mendapatkan surat panggilan dari Polda Sulteng, atas dugaan mengganggu atau merintangi kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, dan IPR yang diatur dalam Pasal 162 Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Barat (Minerba).

Wandi bilang, upaya untuk menekan warga terus dilakukan oleh PT BTIIG. Pada 23 Juni 2024, dengan surat nomor 14/BTIIG-LEGAL/VI/2024, perihal tindakan pemalangan yang mengakibatkan berhentinya aktivitas (investasi) PT BTIIG, lima warga Desa Ambunu yakni Moh Haris Rabbie, Makmur Ms, Abd Ramdhan, Hasrun, dan Rifiana Ms. juga mendapatkan somasi atas aksi blokade yang dilakukan.

"Kemarahan warga atas klaim sepihak jalan tani meluas hingga Desa Ambunu. Aksi blokade juga dilakukan mulai pada 13-23 Juni 2024 dengan melibatkan 100 warga," kata Wandi.

Menurut Wandi, jalan tani yang diklaim oleh PT IHIP/PT BTIIG tersebut juga menghubungkan Desa Topogaro Folili, Desa Sigeno, dan Desa Ambunu. Di atas jalan tani Desa Ambunu, saat ini sudah terdapat bangunan perusahaan, seperti gudang dan lain sebagainya. Akibatnya petani Desa Ambunu harus mengambil jalan memutar sejauh kurang lebih 3-4 Km ke kebunnya. Yang mana, sebelumnya hanya ditempuh dengan jarak 1-2 Km saja.

Hingga saat ini, sambung Wandi, PT IHIP/PT BTIIG belum pernah memperlihatkan MoU klaim jalan tani tersebut. Beberapa kali warga menuntut, bahkan sampai melakukan aksi blokade, tetapi pihak perusahaan tak kunjung memperlihatkan dokumen MoU dimaksud.

"Justru selama proses perjuangan yang dilakukan oleh warga di Desa Ambunu, Desa Tondo, dan Desa Topogaro. Tercatat PT BTIIG telah melakukan upaya kriminalisasi warga, sebanyak 7 orang, mulai dari somasi, panggilan polisi, hingga gugatan perbuatan melawan hukum," kata Wandi.

Terpisah, External Manager Huabao Indonesia, Cipto Rustianto, mengatakan perusahaan mengajak semua pihak untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan, dengan menyerahkan semua kepada pihak yang berwenang sesuai dengan kompetensi, profesionalisme dan integritas penegak hukum.

Lebih lanjut, Cipto mengatakan, kehadiran investasi PT BTIIG di Kabupaten Morowali saat ini berjalan atas restu dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sehingga menjadi keniscayaan perusahaan untuk selalu melakukan koordinasi, arahan, serta bimbingan pemerintah sesuai dengan kapasitas dan tupoksinya yang diatur sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

"Termasuk dalam arahan pemerintah kabupaten mengenai pemakaian jalan kawasan pada aset pemerintah selalu berdasarkan pada aturan yang berlaku," katanya, Senin (19/8/2024).

Cipto mengatakan, pihaknya juga menghormati, mentaati serta tunduk pada hukum dan peraturan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga isu perusahaan telah melakukan penyerobotan jalan masyarakat tidak pernah dilakukan oleh perusahaan, dan ke depan hal tersebut dapat dibuktikan secara data dan fakta.

Mengenai isu kriminalisasi yang dituduhkan, Cipto mengklaim, selama ini PT BTIIG selalu berusaha merangkul masyarakat melalui pemerintah desa dan lembaganya, dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini, katanya, diwujudkan dengan memberdayakan masyarakat melalui BUMDES, untuk menjadi rekan perusahaan di beberapa bidang, melalui program sosial, serta mengutamakan warga sekitar kawasan industri dalam perekrutan tenaga kerja.

"Isu kriminalisasi PT BTIIG sangat tidak berdasar, selama ini perusahaan selalu berusaha melindungi kenyamanan dan kepentingan masyarakat untuk melakukan aktifitas ekonomi, baik bekerja, berusaha, ataupun tindakan lain, selama tidak bertentangan dengan hukum serta peraturan perundang-undangan yang ada di NKRI," kata Cipto.