Menghitung Utang Karbon dari Mobilisasi Tanaman Energi

Penulis : Viky Arthiando Putra, Peneliti CELIOS

OPINI

Senin, 26 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

PEMERINTAH Indonesia menetapkan capaian target Net-Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Target penurunan emisi ini sebagai mandat Paris Agreement untuk mengatasi krisis iklim global.

Sektor energi dan Forestry and Other Land Use (FOLU) menjadi kontributor emisi terbesar yang menyumbangkan sekitar 77,2% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia (IGRK KLHK, 2023). Tak mengherankan jika sektor energi dan FOLU menjadi target utama pengurangan emisi GRK, sekaligus tulang punggung mencapai target NZE.

Saat ini, kerjasama kedua sektor penghasil emisi terbesar ini semakin intim.

PT PLN Persero akan menerapkan co-firing pada 113 unit PLTU batubara di 52 lokasi. Sistem co-firing mencampurkan bahan bakar PLTU batubara dengan biomassa yang dihasilkan dari pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE). Energi berbasis biomassa diklaim dapat mempercepat capaian Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun cara ini masih akan meninggalkan jejak emisi karbon yang tinggi.

Tanaman Energi yang Lapar akan Lahan

Pulau Siberut, di Sumatera Barat, terancam pembangunan hutan tanaman energi untuk bahan baku PLTBm. Foto: Gudkov Andrey/Shutterstock. Indonesia, 2010.

Pengadaan bahan baku sumber energi terbarukan Indonesia dilakukan secara masif. Setidaknya ada dua faktor utama dalam kasus HTE. Pertama, janji pemenuhan capaian NZE di mana Indonesia menargetkan capaian 23% bauran energi dari sektor ini pada 2025. Sementara, pada 2023 baru tercapai 13,1%. Kedua, Indonesia memenuhi pasokan bahan baku biomassa untuk kebutuhan domestik dan ekspor.

China menjadi negara tujuan utama ekspor kayu bakar (fuel woods) Indonesia sejak 2009 (Kementerian Perdagangan, 2019). Namun pada 2017, pangsa ekspor ke China turun signifikan dari 88,6% (2013) menjadi hanya 30%. Sementara pangsa ekspor ke Jepang mencapai 51,4%. Nilai ekspor kayu bakar ke Jepang tercatat mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 154% per tahun selama 2009-2017. Fakta ini juga didukung melihat pengembangan HTE terbesar di Indonesia seluas 50.628 hektar oleh PT Korintiga Hutani di mana 100% ekspor untuk Jepang.

Masyarakat Energi Biomassa Indonesia mengungkapkan bahwa mayoritas produsen biomassa lebih tertarik mengekspor produknya. Pasar domestik tak mampu bersaing dengan pasar global. Harga pasar domestik co-firing pada PLTU sekitar USD 70 per ton. Padahal, harga ekspor biomassa hasil temuan CELIOS menyentuh kisaran USD 90 sampai USD 130 per ton. Akhirnya kebutuhan produksi membengkak dan terkonsentrasi justru pada kebutuhan internasional.

Trend Asia (TA) mengalkulasikan lahan HTE untuk memenuhi program co-firing di 52 lokasi PLTU akan mencapai 2,33 juta hektar. Angka ini belum termasuk pasokan untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) dan kebutuhan bahan baku EBT bagi negara lain. Artinya, kebutuhan lahan untuk pemenuhan HTE akan menggalang mobilisasi konversi lahan hutan yang semakin besar.

Hitung Utang Karbon yang Tak Akan Bisa Dibayar

Pelepasan karbon dan emisi yang timbul dari energi berbasis biomassa bak bola salju. Siklus deforestasi menunjukkan bahwa emisi yang ditimbulkan akan semakin besar. Deforestasi menyebabkan dekomposisi di mana vegetasi yang tersisa akan mengalami penurunan kemampuan hutan untuk menjaga kelembaban sehingga membuatnya mudah terbakar. Karhutla menyumbangkan emisi yang tinggi terhadap perubahan iklim. Suhu yang semakin panas karena perubahan iklim membuat hutan semakin mudah terbakar kembali. Mekanisme dalam sistem di mana perubahan dalam satu arah menghasilkan efek yang memperkuat perubahan awal ini dikenal sebagai Positive Feedback Loops.

TA menunjukan bahwa kebutuhan biomassa untuk 52 lokasi PLTU co-firing akan memproduksi emisi hingga 26,48 juta ton setara emisi karbon per tahun. Besaran emisi tersebut belum menghitung emisi dari transportasi, pembakaran biomassa di PLTU, dan  emisi yang timbul dari karhutla karena deforestasi. Sementara, proyeksi potensi deforestasi mencapai 1 juta hektare atau hampir separuh dari total kebutuhan luasan HTE. Bahkan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan HTE akan merusak hutan alam mencapai 4,65 juta hektare.

Padahal, data dari Food and Agriculture Organization (FAO) yang dikumpulkan oleh FWI pada 2001 menyebutkan bahwa hutan-hutan di Indonesia menyimpan karbon dengan jumlah yang sangat besar. Total vegetasi hutan di Indonesia menghasilkan lebih dari 14 miliar ton biomassa. Jauh lebih tinggi dari negara-negara lain di Asia, dan setara dengan sekitar 20% biomassa di semua hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini, kira-kira menyimpan sekitar 3,5 miliar ton karbon.

Dengan asumsi emisi yang dihasilkan dari pengembangan HTE hingga 26,48 juta ton karbon, jika pengembangan HTE dikenai pajak karbon seharga USD 5 per ton, maka pajak karbon yang harus dibayarkan sebesar USD 132,4 juta atau 2,14 triliun rupiah. Angka ini akan terus membesar seiring adanya deforestasi dengan siklus Positive Feedback. Serta pelepasan milyaran karbon yang sebelumnya tak pernah dihitung kerugiannya. Kebijakan HTE saat ini belum memperhitungkan biaya eksternalitas negatif yang ditimbulkan.

Beban pemenuhan pasokan domestik dan ekspor akan memperlambat capaian target NZE. Padahal Indonesia menargetkan produksi biomassa pada 2025 mencapai 10 kali lipat dari target tahun 2023 untuk kebutuhan domestik saja. Sementara, harga biomassa domestik yang timpang dibanding harga internasional. Apa pun pilihannya, deforestasi akan masif terjadi.

Jika tak ada upaya restoratif, kita hanya akan bergerak cepat pada situasi irreversible di mana bumi tak akan bisa dipulihkan kembali. Terlebih lagi, tak ada bayaran yang cukup untuk menggantikan kerusakan ekosistem dan karbon yang telah hilang.