Benteng Terakhir Badak Cula Satu Asia Tenggara

Penulis : Aryo Bhawono & Kennial Laia

Satwa

Rabu, 28 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Taman Nasional Ujung Kulon, Provinsi Banten, menjadi benteng terakhir badak cula satu di Asia Tenggara. Perburuan, risiko bencana alam, hingga ekspansi permukiman menjadi ancaman bagi satwa berstatus critically endangered di ujung barat Pulau Jawa ini.

Pemerintah juga menjadi ancaman bagi keberlangsungan badak jawa ini, tentu saja, jika pengelolaan taman nasional ini buruk. 

Sebenarnya, sekitar 14 tahun lalu, badak jawa masih punya kerabat hidup di Vietnam. Namun, perburuan liar di negeri itu pada 2010 menyudahi persebaran badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Asia daratan. Padahal satwa ini sebelumnya tersebar luas di Asia Tenggara, meliputi Teluk Benggala hingga Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos Vietnam, Semenanjung Malaya, Sumatera, hingga Jawa. 

Badak di Vietnam merupakan subspesies badak jawa (Rhinoceros sondaicus annamiticus). Jurnal ‘Lessons learned from the loss of a flagship: The extinction of the Javan rhinoceros Rhinoceros sondaicus annamiticus from Vietnam’ mencatat akhir tragis badak jawa itu. Mereka dulunya tersebar luas secara lokal di Vietnam, Laos, Kamboja, dan Thailand timur, meskipun data historis kelimpahan dan distribusi tidak lengkap. Lalu, sejak awal hingga pertengahan tahun 1900-an, jumlah mereka sangat berkurang dan kepunahan terjadi secara meluas. Catatan terakhir yang terdokumentasi di Kamboja adalah pada tahun 1930. 

Pada tahun 1999, gambar pertama Badak Jawa Vietnam yang diketahui tertangkap dalam kamera jebak. Foto: Rhino Resource Center

Peta persebaran badak di Asia Tenggara. Data: International Rhino Foundation

Beberapa badak jawa kemungkinan bertahan di daerah terpencil Republik Demokratik Rakyat Laos hingga tahun 1970-an. Sedangkan di Vietnam, kerusuhan politik menghalangi survei di Vietnam selama pertengahan hingga akhir abad kedua puluh dan satwa itu sempat dianggap punah. Hingga, pada tahun 1988, seekor individu diburu dari Taman Nasional Cat Tien (CTNP). 

Survei lapangan pada tahun 1989 kemudian menemukan tanda-tanda keberadaan badak jawa di sekitar 75.000 ha taman nasional itu dan memperkirakan populasi maksimum 10–15 individu. Namun kabar ini mengundang pemburu. Cula badak digunakan sebagai bahan obat di China. Konsumsi obat-obatan ini menyebar ke Korea, Jepang, dan Vietnam sendiri. Kebutuhan bahan obat ini yang kemudian meningkatkan perburuan badak jawa, hingga cula badak dianggap setara dengan emas. 

Laporan yang dikumpulkan menunjukkan sebanyak 40 badak dibunuh di kawasan Taman Nasional CTNP dari tahun 1957 hingga 1991. Perburuan dengan senapan serbu oleh penduduk desa setempat menjadi ancaman terbesar terhadap badak yang tersisa pada tahun 1990. Parahnya kepercayaan baru di Vietnam meyakini cula badak dapat menyembuhkan kanker hingga dipakai untuk campuran minuman keras sampai detoksifikasi. 

Selain itu kepunahan badak jawa juga disebabkan oleh kian menyusutnya habitat mereka. Badak memilih kawasan jelajah berupa dataran rendah, kaya dengan air dan bahkan digenangi air. Kawasan semacam ini merupakan lahan yang subur untuk pertanian, sehingga sering diubah menjadi kawasan pertanian. Kini sebagian besar dataran rendah Vietnam telah diubah menjadi lahan pertanian dan sebagian besar hutan semi-hijau dataran rendah di sebelah timur Mekong di Kamboja juga telah hilang.

Pada tahun 1999, gambar pertama Badak Jawa Vietnam yang diketahui tertangkap dalam kamera jebak. Fot

Ironisnya, badak jawa di Vietnam punah ketika upaya konservasi sedang dilakukan. Survei 2009–2010 berhasil mengumpulkan 22 sampel kotoran badak selama 4 bulan pertama dan mencatat lokasi semua tanda badak yang ditemukan. Lalu, selama dua bulan terakhir survei, tidak ada kotoran maupun jejak kaki baru yang tercatat. 

“Tak lama kemudian, bangkai badak yang membusuk ditemukan dengan peluru di kakinya dan culanya telah dicabut. Badak tersebut mungkin mati karena tembakan,” tulis jurnal itu. 

Jurnal itu mencatat rencana konservasi itu gagal karena empat hal, pertama kegagalan mendasar di tingkat lokasi untuk melindungi dan mengelola populasi badak. Kedua, kemauan politik yang rendah untuk mengambil keputusan pemulihan subspesies tersebut. 

Ketiga, kurangnya fokus dari komunitas konservasi dan konservasi. Dan keempat,  ketidaktahuan tentang status populasi. 

Gambar anak badak jawa yang belum lama ini lahir di TN Ujung Kulong yang tertangkap video kamera tra

Ujung Kulon, Benteng Terakhir Badak Jawa

Kepunahan badak di Vietnam menyisakan Taman Nasional Ujung Kulon di Banten sebagai habitat terakhir badak jawa. TNUK menyatakan badak jawa di kawasan itu berjumlah 81 individu. Namun melalui metode penghitungan yang berbeda, beberapa ahli menyebutkan populasinya hanya mencapai 55 hingga 60-an individu saja. 

Ancaman terhadap satwa ini terus bergulir. Pada April 2023, Auriga Nusantara menerbitkan laporan berjudul ‘Badak Jawa di Ujung Tanduk: Langkah Mundur Konservasi di Ujung Kulon’. 

Laporan tersebut menyebutkan empat temuan yang mengindikasikan meningkatnya perburuan satwa di TNUK, terutama badak jawa. Pertama, punahnya badak di alam liar di Lampung mengarahkan pemburu menuju TNUK. 

Kedua, indikasi penurunan populasi badak jawa di Ujung Kulon. Sejak 2020 kamera deteksi (camera trap) hanya merekam kurang dari 60 individu badak jawa di Ujung Kulon padahal pada 2018 terekam 63 individu. 

Ketiga, rentetan kematian badak jawa tidak pernah diusut tuntas. Sejak 2012 terdapat setidaknya 11 kematian badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon namun hanya 3 yang diumumkan Balai TNUK atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Keempat, salah arah pengelolaan TNUK, alokasi anggaran TNUK tidak diprioritaskan untuk teknis konservasi badak.

Keresahan atas keterancaman badak jawa di benteng terakhirnya ini memuncak ketika kepolisian mengidentifikasikan perdagangan cula badak selama empat tahun terakhir dan menyebutkan sebanyak 26 badak mati dibunuh. Sunendi, salah satu pemburu satwa ilegal itu, telah dijatuhi vonis penjara. Fakta persidangan menyebutkan terdapat jaringan pemburu badak lain yang bekerjasama dengan Sunendi dan beberapa di antaranya masih berkeliaran.

Peringatan darurat tsunami megathrust badak jawa.

Persoalan badak jawa bukan hanya perburuan. Daya dukung lingkungan dan kondisi geografis menunjukkan kebutuhan pendekatan alternatif untuk satwa ini. Akademisi Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Institut Pertanian Bogor (IPB), Dones Rinaldi, menyebutkan populasi yang tidak meningkat signifikan menunjukkan daya dukung lingkungan yang sudah tak mendukung. 

Ia mendukung program Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA), yakni untuk pengelolaan ex-situ badak jawa seluas 5.100 hektare yang akan menyokong konservasi dengan pendekatan teknologi. Area ini masih berada di TNUK dan dibatasi dengan pagar besi untuk memisahkan dari alam liar. 

“Pendekatan ini jika berhasil akan dapat meningkatkan populasi. Selama ini  daya dukung lingkungan tak menunjukkan penambahan populasi yang signifikan,” ucap dia. 

Namun ancaman alam pun tak ketinggalan di kawasan TNUK. Wilayah itu berada di tiga zona megathrust dan ancaman Gunung Anak Krakatau. Peneliti Satwa Auriga Nusantara, Riszky Is Hardianto, menyebutkan ancaman semacam ini seharusnya membuat pemerintah mulai memikirkan rencana untuk mematangkan habitat kedua untuk badak jawa. Menurutnya ancaman gempa megathrust itu dapat menyapu ujung kulon sewaktu-waktu, dengan cepat.