Tanah Papua Diduga Diagunkan Banyak HGU Sawit ke Bank - Riset
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Jumat, 30 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Jutaan hektare hutan di Tanah Papua telah dikavling untuk konsesi perkebunan kelapa sawit. Luasnya mencapai 1,5 juta hektare. Namun kajian terbaru Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengungkap, sekitar 10% yang baru digarap, sehingga menjadikan tanah-tanah ini menjadi telantar.
Padahal hutan-hutan yang dibebani izin perusahaan ini merupakan wilayah kelola masyarakat adat selama ratusan tahun. Papua bukan tanah kosong.
Menurut catatan Pusaka, hingga 2019 pemerintah telah menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada 58 perusahaan sawit di Papua, dengan luas 1,57 juta hektare. Luas ini setara 23 kali daratan DKI Jakarta. Namun lahan kelapa sawit yang telah dikembangkan hingga 2019 adalah 169.152 hektare.
Wiko Saputra, ekonom dan salah satu penulis laporan mengatakan, adanya indikasi land banking di Papua, di mana terdapat penyediaan tanah melalui berbagai mekanisme izin namun tidak langsung digunakan. Sebaliknya area ini disimpan dan dicadangkan untuk pengembangan atau pembangunan di masa mendatang.
“Perusahaan membabat hutan atas nama izin sawit, kayunya diambil, lantas lahannya ditelantarkan,” kata Wiko dalam peluncuran laporan tersebut, Selasa, 27 Agustus 2024. “Ini bukti bahwa investasi sawit oleh perusahaan di Tanah Papua, sebenarnya akal-akalan perusahaan mendapatkan lahan dan menjadikannya sebagai land bank.”
Wiko mencontohkan salah satu perusahaan, PT Henrison Inti Persada (HIP) yang beroperasi di Kabupaten Sorong, Papua Barat. PT HIP memiliki izin seluas 32.546 hektare, dan tercatat menanam sawit seluas 13.457 hektare atau sekitar 41,3% dari total izin yang dimilikinya.
Perusahaan lainnya termasuk PT IKS yang menanam sawit seluas 743 hektare dari total izin 37.000 hetkare; serta PT IKSJ baru seluas 8.837 hetkare dari 38.000 hektare.
Banyak juga perusahaan yang mendapatkan izin namun belum beroperasi atau menanam sawit sama sekali. Di Kabupaten Sorong, misalnya, ada PT Inti Kebun Lestari, PT Papua Lestari Abadi, PT Sorong Agro Sawitindo, dan PT Cipta Papua Plantation. Total kepemilikan dari empat perusahaan ini adalah 105.702 hektare.
Pusaka menemukan pola yang sama di berbagai konsesi di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya tersebut. Sebanyak 24 perusahaan telah mengantongi izin dengan luas 548.650 hektare di kedua provinsi, tetapi lahan yang telah ditanami hanya 78.152 hektare atau 14,2% dari total izin.
“Permasalahannya adalah lahan telantar tersebut sebagian sudah ditebangi pohonnya. Hutan yang masih ada tidak boleh digarap oleh masyarakat karena masuk dalam izin perusahaan. Masyarakat yang mau berburu dan meramu di hutan tersebut dilarang oleh perusahaan,” kata Wiko.
Laporan tersebut menyebut bahwa operasi perusahaan yang menghilangkan dan merusak hutan telah menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan mata pencaharian masyarakat lokal, bencana ekologi seperti banjir, permasalahan kesehatan, kesulitan pangan layak, dan gizi buruk.
Kajian tersebut, yang menggunakan metodologi cost benefit ratio, menemukan investasi sawit di Tanah Papua telah membawa manfaat perekonomian sebesar Rp 17,64 triliun. Namun kerugian ekonomi lingkungannya jauh lebih besar, mencapai Rp 96,63 triliun.
“Laporan ini mencatat dan menegaskan bahwa investasi sawit di Tanah Papua tidak layak dilanjutkan. Kapitalisme sawit telah menjadi predator, tidak hanya bagi pelestarian lingkungan tapi juga keberlangsungan hidup masyarakat adat Papua,” kata Wiko.
Wiko mengatakan masifnya izin yang diterbitkan di Papua tidak sesuai dengan kondisi infrastruktur industri sawit yang tidak mendukung. "Infrastrukturnya tidak memungkinkan untuk mengatakan sawit bisa sukses di Papua dengan kondisi saat ini. Terbukti karena yang punya pabrik kelapa sawit tidak banyak, dan tidak ada satupun industri pengolahan di sana. Makanya banyak pemilik izin sawit sawit, hanya mengejar lahan dan mengambil kayunya. Ini yang kami temukan di lapangan," ujarnya.
"Dari alur bisnis, misalnya, buah sawit yang dipanen harus diolah dalam 2x24 jam. Ketika sudah jadi minyak sawit mentah (CPO) dalam seminggu harus dikirim. Jadi bisa dilihat secara produksi, komoditas ini memerlukan mobilitas cepat dan infrastruktur yang bagus," kata Wiko.
"Di Papua, ditelantarkan karena secara infrastruktur Papua belum siap untuk ber-sawit. Artinya jika ada izin masuk, ini skema land banking. Meski belum dipastikan secara riil, sebenarnya ini bisa dipantau melalui collateral credits, di mana izin HGU jadi jaminan untuk pinjaman di bank," katanya.
Sulistyanto dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan lembaga anti-rasuah tersebut pernah mendorong evaluasi perizinan sawit di Papua Barat melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA). Agenda ini di antaranya menilai kepatuhan perusahaan menjalankan regulasi dan kewajibannya.
“Ketika ada pemegang izin yang tidak patuh secara compliance, dan area izin yang dikuasainya itu masih bagus, ada upaya yang diperlukan untuk mengembalikan hak kelola kepada masyarakat,” kata Sulis.
Hasil program GNPSDA tersebut, pada 2022 terdapat 16 perusahaan sawit dicabut izinnya di Sorong, dan lahannya disebut akan dikembalikan kepada pengelolaan masyarakat. “Tapi kemudian memang ada perlawanan (re: dari perusahaan), yang membuat proses yang kami dorong itu tidak sampai ke tujuan yang kami harapkan,” kata Sulis.
“Kemudian konteks besarnya itu terhadap investasi ke depan. Kami tidak tahu seberapa kuat Tanah bisa dibentengi dari investor asing. Ini sebenernya jadi penting… untuk mempertahankan hak-hak masyarakat dalam konteks investasi,” ujarnya.
Metta Yanti dari GIZ Indonesia menyorot perlunya penegakan aturan dan pemberantasan korupsi terus-menerus terkait perizinan kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. “Apakah data perusahaan itu benar-benar dicek, dan bagaimana proses masuknya perusahaan. Harus ada penegakan hukum jika memang terjadi pelanggaran,” kata Metta.
“Pemerintah perlu memikirkan kembali proses perencanaan pembangunan dan strategi keuangan negara untuk memasukkan elemen sosial dan lingkungan, termasuk resiko kerugian ekologi dalam kebijakan dan proyek pembangunan, serta penegakan hukum jika ada pelanggaran aturan,” kata Metta.