Ayo Ikut Memetakan Burung yang Lepas dari Surga di Papua
Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA
Satwa
Minggu, 01 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Siapa yang tidak pernah mendengar cerita keindahan burung cenderawasih? Atau, jenakanya kakatua?
Atau ini: Parotia sefilata.
Inilah parotia pebalet dari Pegunungan Arfak, Papua. Tidak ada di tempat lainnya, balerina ini endemik hutan-hutan di sana.
Jantan arfak berwana hitam legam, tapi dadanya hijau keemasan dan kuning. Di kepalanya tumbuh hiasan berupa bulu-bulu panjang seperti kawat yang tumbuh tegak di bagian kepalanya. Jika dia sedang merayu betinanya, dia akan menari. Ketika menari, ia mengangkat bulu-bulu di bawah dadanya, seperti pebalet perempuan yang mengembangkan tutu (rok baju balet). Atau, bayangkanlah rok yang mengembang pada tarian Whirling Dervishes.
Untuk memamerkan mahkotanya, jantan arfak akan menggoyangkan kepala dan lehernya dengan cepat. Benar-benar penampilan raja sejati dari arfak.
Jika ingin melihat burung dengan jumlah kawat yang lebih banyak, ada cenderawasih mati-kawat (Seleucidis melanoleucus). Berwarna hitam dan berukuran hampir sama dengan parotia dari arfak, cenderawasih mati-kawat punya 12 kawat.
"Kondisi geografis yang unik menghasilkan biodiversitas keanekaragaman hayati yang sangat tinggi," kata Analisis Data Yayasan Birdpacker Indonesia Riri Retnaningtyas. "Kami sudah mengumpulkan data sebanyak 44 jenis burung endemik di satu wilayah tertentu saja," ujarnya.
Padahal, burung hanya salah satu kekayaan biodiversitas Papua. Menurut berbagai sumber, sekitar 50 persen kekayaan biodiversitas Indonesia berada di Tanah Papua. Pulau ini menjadi rumah bagi 20 ribu spesies tumbuhan, 125 spesies mamalia, 223 spesies reptil, dan--ini dia--hampir 700 spesies burung.
Masalahnya, bersama kabar membanggakan itu, ada ironi. "Papua (justru) masih minim pengamat burung," ujar Spesialis Keanekaragaman Hayati WWF Program Papua, Ikhsan Anggoda. Dibandingkan semua titik koordinat spesies burung di Indonesia, ujarnya lagi, hanya pulau Papua saja yang belum banyak data titik koordinat sebaran burungnya.
Riri dan Ikhsan mengungkapkan hal ini dalam kegiatan konsultasi publik atas hasil analisis pemodelan spasial burung endemik Tanah Papua di Hotel Horison Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa, 27 Agustus 2024. Kegiatan diadakan Yayasan World Wide Fund for Nature (WWF) Program Papua dan Yayasan Birdpacker Indonesia. Tujuannya untuk menganalisis peta distribusi spesies endemik di Tanah Papua, menganalisis modeling keanekaragaman hayati di lanskap Tanah Papua, lalu menyajikan hasilnya dalam bentuk visual yang menarik.
Untuk meningkatkan ketersediaan data yang kredibel tentang burung Papua, pada acara itu Birdpacker Indonesia dan WWF juga memberikan pelatihan untuk mendorong warga menjadi "ilmuwan", //citizen scientist//, khusus untuk taksa Aves (Burung). Dengan pelatihan ini pemahaman serta kapasitas masyarakat diharapkan akan meningkat sehingga berpartisipasi mendukung penguatan data indeks biodeversitas burung di tanah Papua. Karena itu, Birdpacker juga memperkenalkan penggunaan aplikasi “Burungnesia”.
Aplikasi Burungnesia adalah alat bantu bagi pengamat burung dalam mengumpulkan, menyimpan dan mengelola data lapangan. Aplikasi ini bertujuan menggalang kekuatan publik atau amatir untuk memperkuat gerakan konservasi dan ilmu pengetahuan burung berbasis warga dan relawan. "Dengan cara ini burung endemik di Papua diharapkan dapat terpetakan, untuk mengetahui di mana saja hotspot biodiversitasnya dan di mana saja yang paling banyak spesies endemiknya," ujar Riri.
“Kerjasama seperti ini juga diharapkan akan mempopulerkan citizen science ke daerah-daerah yang mempunyai biodiversitas yang sangat tinggi, supaya datanya lebih luas dan orang lokal bisa tahu satwa apa saja yang mereka punya, dan daftar jenis burung Indonesia semakin bertambah,” jelasnya. "Karena masyarakat di Papua mempunyai data satwa burung dan bisa dibagi kepada teman-teman yang lain di luar, kata dia lagi.
Masih ada tujuan lain dari kegiatan ini, yakni meningkatkan pemahaman masyarakat dan mitra WWF Indonesia dalam pengelolaan sumberdaya alam melalui kolaborasi, partisipasi, dan pengumpulan data (di antaranya melalui ilmuwan warga). "Hal ini berkaitan erat dengan bagaimana dampak pembangunan infrastruktur atau perubahan habitat pada umumnya dapat mengubah habitat-habitat spesies yang pernah mendiami suatu wilayah," kata dia.
Peserta kegiatan dari Akademisi Universitas Cenderawasih, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, Universitas Ottow Geissler Papua, pemerintah daerah, BBKSDA Papua, Koalisi Kampus untuk Demokrasi Papua, Sanggar Robongholo, PPMA Papua, Masyarakat Adat Unurumguay, KPA A’Memay Tablasupa, dan Komunitas Earth Hour Jayapura.
Menurut Ikhsan, dari kegiatan ini diharapkan ada kesamaan persepsi di antara mitra tentang data-data keanekaragaman hayati Papua. Sesudah itu, kata dia, mereka bersama-sama akan melakukan pengoleksian data di masing-masing instansi. Dengan begitu, “Paling tidak, para mitra bisa memiliki data-data soal satwa yang nantinya digunakan untuk melakukan aktifitas ilmiah di masing-masing instansi. Misalnya universitas melakukan penelitian bersama masyarakat di sekitar hutan, komunitas melakukan kampanye, dan masyarakat yang bergelut di ekowisata bisa memakai data-data yang dikumpulkan itu," kata dia.
"Kegiatan peneliti warga menjadi kekuatan karena mereka mempunyai data dan bisa berbagi,” ujarnya. "...kita semua bisa memantau bersama hasil-hasil pemantauan atau penginputan data dari lapangan atau pekarangan rumah."
Ikhsan menambahkan, jika tak ada aral melintang, pihaknya bersama para mitra akan membuat satu workshop lagi di tahun depan untuk evaluasi. Pada pertemuan itu, akan dilihat apakah kegiatan ini semakin berkembang atau sebaliknya.
Diskusi peta burung Papua.
Mengenai pemodelan kesesuaian habitat burung endemik, menurut Riri, pendekatan model distribusi spesies dapat menjadi alternatif dan solusi yang sesuai untuk spesies-spesies tertentu, seperti spesies endemik. Dalam hal ini, pemodelan menggunakan metode Machine Learning (ML) Random Forest. Data yang digunakan berasal dari sumber-sumber online, di antaranya data eBird, iNaturalist, GBIF, dan database Burungnesia.
Ada sejumlah tahap dalam pemodelan ini. “Data-datanya diverifikasi terlebih dahulu, kemudian diseleksi, terus dihapus info duplikat untuk menghilangkan duplikasi data, lalu dipresskan agar mengurangi beban spasial dan memastikan dalam 1 kilometer hanya ada satu data atau paling tidak jaraknya itu tidak terlalu dekat antara satu titik dengan titik lainnya," dia mengiraikan. "Jadi kami hanya menyeleksi spesies-spesies yang datanya cukup supaya model yang dihasilkan cukup optimal dan bisa dipercaya. Tapi untuk spesies satwa yang langka kami pertimbangkan dan kalau sedikit kami tidak berani memodelkan karena takutnya tidak valid,” ujarnya.
Pendiri Burungnesia, Swiss Winnasis Bagus Prabowo mengatakan upaya yang dilakukan melalui limuwan warga ini adalah untuk menyediakan informasi-informasi dengan biaya lebih murah dan secara saintifik bisa dipertanggungjawabkan. “Dengan kekuatan saintifik science kita bisa melakukan hal yang lebih besar dan bisa menggunakan metode konvensional. Jadi data yang dipakai untuk memprediksi itu sampai jadi peta Aceh sampai Papua itu pakai saintifik science. Citizen science itu seperti kita terkoneksi satu sama lain,” jelasnya
Aplikasi Burungnesia hadir untuk mengumpulkan data berkualitas tentang semua burung yang ada di Indonesia karena spesies dan populasi burung semakin lama kian berkurang, entah itu deforestasi, kebakaran hutan dan lahan, perburuan, hingga pemanasan global. “Sebelum hal itu terus terjadi, kita harus dapat dulu datanya untuk merekam keberadaan burung-burung yang ada di Indonesia,” katanya. Karena itulah Burungnesia sangat mengandalkan peneliti warga atau masyarakat biasa yang melakukan aktifitas ilmiah.
Swiss mengatakan, peran penting aplikasi Burungnesia yaitu sebagai pemasok data utama sebelum menjalankan pemodelan. Ketika pemodelan sudah jadi, model itu dikembangkan untuk memprediksi dan mengetahui lebih jelas seperti apa kondisi burung di Indonesia, keberadaannya, daya terbangnya apakah di dataran rendah atau tinggi dan apakah masih lestari. Bukan cuma itu, “Aplikasi ini juga bisa memprediksi masa depan burung apakah akan seperti ini ataukah bertambah,” ujarnya.
Dia berharap, dari kegiatan tersebut kegiatan peneliti warga dan pengamat burung bisa berkembang di Papua, sebagai surga burung dunia. “Pulau Papua saja bentuknya seperti burung,” ujarnya.