KIHI Kaltara: Diklaim Hijau, Dituding Kotor

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono dan Kennial Laia

SOROT

Rabu, 11 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Mata Alex nanar menatap aktivitas konstruksi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berjarak kurang lebih 1 kilometer (km) dari rumahnya, di Desa Mangkupadi, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara). Benaknya belum bisa merelakan tanahnya yang dirampas untuk pembangunan di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) berlabel Proyek Strategis Nasional (PSN) itu.

Tanah seluas sekitar 16 hektare itu direnggut begitu saja dari Alex dan beberapa kerabatnya. Menurut Alex, sejak 2021, tanahnya digusur dan sampai sekarang tak ada ganti rugi yang dibayarkan. Konon perampasan lahan tanpa ganti rugi untuk KIHI ini juga dialami puluhan warga Mangkupadi lainnya.

"Katanya per hektare diganti rugi Rp35 juta. Tapi sampai sekarang belum dibayarkan," kata Alex, Jumat (6/9/2024).

Alex menyebut, ia memiliki tanah-tanah itu secara sah sejak 2010-2012 lalu, dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan tanah bersegel gambar burung garuda yang dikeluarkan desa. Ia mendapatkan tanah ini dengan cara membeli dari masyarakat setempat dengan harga berkisar Rp8 juta-Rp15 juta per hektare.

Tampak dari ketinggian proses konstruksi yang dilakukan di dalam KIHI, di Kabupaten Bulungan, Kaltara. Sumber: Seny, Nugal Institute

Ia berharap lahan-lahan itu bisa menjadi tabungan atau investasi untuk masa depan. Di atas lahannya itu, ia menanam berbagai jenis tanaman penghasil buah, seperti sawit, mangga dan tanaman lainnya.

"Tapi sekarang tanah itu dirampas mereka, tanpa ada bayaran ganti rugi sepeser rupiah pun. Tanahnya sudah dikeruk untuk tanah timbun. Jadi tanaman dan bangunan pondok di atasnya sudah enggak ada lagi," katanya.

Perampasan lahan warga Mangkupadi atas nama KIHI ini juga melibatkan kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga. Seperti dialami petani Mangkupadi bernama Aris. Ia terpaksa mendekam sebagai tahanan di Lapas Kelas II A Tarakan, karena dipidana melakukan pengancaman saat lahannya digusur alat berat pada Desember 2022 lalu. Padahal lelaki lanjut usia itu hanya mempertanyakan penggusuran yang dilakukan di atas tanahnya.

“Bapak diperlakukan seperti penjahat teroris banyak sekali polisi yang dikerahkan, padahal itu lahan hak dia dan kami kok,” kata Imran, anak laki-laki Aris, dalam sebuah pernyataan yang direkam Nugal Intitute.

Ketua RT 12 Desa Mangkupadi, Samsu, juga mengalami kejadian tak mengenakkan. Ia mengaku mengalami intimidasi dan upaya kriminalisasi gara-gara lantang menolak penggusuran pemukiman Kampung Baru—bagian dari Desa Mangkupadi. Ia mengaku berkali-kali dilaporkan dan mendapat surat panggilan dari kepolisian, mulai dari Kepolisian Sektor (Polsek) Tanjung Palas Timur, Kepolisian Resor (Polres) Bulungan, hingga Kepolisian Daerah (Polda) Kaltara.

Apa yang dialami Alex, Aris, Samsu dan puluhan warga Mangkupadi lainnya ironis dengan kata 'hijau' yang ada pada nama KIHI.

"Industri hijau yang dilabelkan sebagai jargon untuk memikat investasi KIHI, penuh dengan tipu muslihat ya. Misalnya kawasan industri hijau tapi masih menggunakan pembangkit listrik batu bara. Kemudian, juga terlihat di desa sekitar KIHI terbit tiga izin usaha pertambangan (IUP) batu bara baru," kata Seny Ahmad, dari Nugal Institute, Selasa (10/9/2024).

Seny mengaku cukup akrab dengan proyek KIHI. Pada September 2023, Nugal Institute dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim) merilis sebuah laporan bertajuk Kebohongan Hijau. Laporan itu mengungkap sisi negatif proyek KIHI.

Lebih lanjut Seny bilang, dalam praktiknya di lapangan pihak pengelola KIHI masih menggunakan model perampasan lahan. Warga yang menolak memberikan tanahnya ke KIHI mendapatkan berbagai macam intimidasi dan dilarang beraktivitas di ruang hidupnya dengan alasan KIHI adalah PSN.

Menurut Seny, pelanggaran hak-hak dasar masyarakat yang dirampas, seperti hak ekonomi, ditambah dengan upaya kriminalisasi terhadap warga, menjadikan KIHI sebagai kawasan industri yang buruk.

"KIHI ini bukan kawasan industri yang baik, dan bukan untuk masyarakat. Tapi investasi untuk perusahaan termasuk negara luar dan tenaga kerja asing," katanya.

PLTU captive hingga industri aluminium

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, proyek KIHI yang sebelumnya bernama Kawasan Industri Pelabuhan Internasional (KIPI) ini rencananya dibangun di atas lahan seluas sekitar 30 ribu hektare. Kawasan ini terletak di Desa Mangkupadi, Desa Tanah Kuning, dan Desa Binai. Proyek ini diperkirakan akan memakan biaya kurang lebih sebesar Rp1.848 triliun.

Sebagian lahan KIHI seluas sekitar 9.500 hektare berada di areal beberapa Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit PT Bulungan Citra Agro Persada (BCAP)—sebagian sahamnya milik Garibaldi Tohir (laporan Kebohongan Hijau, 2023). HGU perkebunan sawit ini kemudian diubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk proyek ini. Selain PT BCAP, areal KIHI juga diketahui tumpang tindih dengan izin usaha perkebunan (IUP) PT Sawit Berkat Sejahtera.

KIHI dikelola oleh konsorsium beberapa perusahaan besar, yakni PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) anak usaha Adaro Group, PT Indonesia Strategis Industri milik pengusaha Tjandra Limanjaya, dan PT Kayan Patria Propertindo (KPP) milik pengusaha Lauw Juanda Lesmana. Konsorsium ini diketuai oleh Garibaldi Tohir atau Boy Tohir, bos Adaro Group.

Ada beberapa jenis kegiatan industri yang rencananya akan beroperasi di KIHI, di antaranya yakni industri petrokimia, industri baja, industri manufaktur polycristalelline (panel surya), serta industri aluminium (material mobil listrik), dan PLTU captive.

Foto udara area KIHI di desa Mangkupadi, Tanjung Palas Timur, Bulungan, Kalimantan Utara. Sumber:  Dok. PLHL

"Nah yang sekarang sedang dibangun di sana (KIHI) itu PLTU captive, mess karyawan, gudang dan smelter. Juga sudah ada 2 pelabuhan jetty yang menjorok ke laut. Padahal di situ adalah perlintasan penyu hijau," kata Seny.

Seny menjelaskan, KIHI dibagi menjadi dua zona yakni Blue Zone dan Green Zone. Pada Blue Zone akan dibangun industri petrokimia, industri baja dan industri manufaktur polycristalelline. Sedangkan pada Green Zone akan dibangun industri aluminium dan industri manufaktur lainnya.

Dari profil tiap industri yang berada di Blue Zone maupun Green Zone, lanjut Seny, keseluruhan industrinya bukan hanya rakus lahan namun juga rakus air dan rakus energi. Jumlah air yang dipakai dan air limbah yang dihasilkan amat banyak, termasuk mengenai urusan pemenuhan pasokan energi.

"Industri ini juga masih sangat bergantung pada energi fosil, tidak seperti klaim sebelumnya yang menjual label hijau karena akan menggunakan energi non-fosil sepenuhnya," ujar Seny.

Seny mengatakan, total energi listrik yang akan digunakan untuk melistriki kegiatan-kegiatan industri ini adalah sekitar 11.404 GWh tiap tahunnya, ini belum termasuk industri manufaktur polycristalline. Jika ditotal kebutuhan dari batu bara tiap tahunnya sekitar 27.620.000 ton.

Kebutuhan batu bara ini, imbuh Seny, belum termasuk untuk industri manufaktur polycrystalline (panel surya) dan industri aluminium (electronic alumina untuk mobil listrik). Jumlah 27,6 juta ton batu bara ini setara dengan produksi batu bara 37 izin usaha pertambangan (IUP) batu bara yang ada di Kaltara.

Selain itu, Seny meneruskan, akan terjadi pemakaian skala besar limestone atau batu kapur/batu gamping yang dipakai sebagai bahan campuran, pemurnian dan pengolahan industri besi dan baja. Sehingga penggunaan batu bara dan batu kapur ini akan merangsang perusakan lebih besar di kawasan hulu, di mana bahan-bahan ini berasal. Artinya akan lebih banyak lubang tambang batu bara yang akan digali dan lebih banyak bentang alam karst yang akan dikorbankan untuk dibongkar batu kapurnya.

Sungai Pindada di Desa Mangkupadi yang masuk dalam KIHI. Sumber: Laporan Kebohongan Hijau 

"Sementara untuk pemenuhan air bersih dan air baku, kawasan industri ini akan merampas air dari Sungai Pindada dan Sungai Mangkupadi Tawar yang dikaveling berada dalam kawasan mereka," katanya.

Tak hanya itu, Nugal Institute dan Jatam Kaltim juga memproyeksikan dampak operasi KIHI terhadap perekonomian warga setempat, termasuk di Desa Tanah Kuning--desa tetangga Mangkupadi yang juga masuk dalam areal KIHI. Selain air dan pangan, nelayan di sana juga menghadapi ancaman dipaksa berpisah dengan lautan.

Bank memodali KIHI

Dalam laporannya yang berjudul Kawasan Industri Hijau Kalimantan Utara Tercemar PLTU Batu Bara, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mencatat sejumlah nama investor atau perusahaan yang terlibat dalam KIHI. Ada investor dari China yakni PT Tsingshan dan PT Taikun yang berinvestasi sebesar USD57 miliar untuk pembangunan pabrik petrokimia, Tongkun Group dan Xinfengming Group dengan nilai investasi USD10 miliar untuk pembangunan pabrik petrokimia, dan PT CATL nilai investasi USD5,1 miliar untuk pembangunan pabrik baterai mobil listrik di Indonesia.

Kemudian dari Korea Selatan, ada Hyundai Motor Company, nantinya akan membeli hasil produksi aluminium dari PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI). Lalu ada PT Fortescue Future Industries yang meneken perjanjian kerja sama dengan Pemerintah Kaltara untuk mengkaji kemungkinan pembangunan pabrik hidrogen dan amonia untuk pasar ekspor dan domestik.

Sedangkan investor dalam negeri, ada PT Adaro Energy yang rencananya berinvestasi sebesar USD1,5 triliun. Perusahaan milik Garibaldi Tohir ini akan membangun PLTU lewat anak usahanya bernama PT Kaltara Power Indonesia (KPI) dan smelter aluminium melalui anak usahanya PT Kalimantan Aluminium Industry (KAI).

Mei tahun lalu, konsorsium bank Indonesia yang terdiri dari Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA dan Bank Permata, bersepakat dengan Adaro untuk menandatangi Surat Perjanjian Fasilitas yang menyatakan bahwa anak perusahaan mereka PT KAI dan PT KPI mendapat pinjaman untuk pendanaan pembangunan proyek smelter dan PLTU mereka. Besaran pinjamannya, PT KAI mendapatkan sebesar USD981,4 juta dan Rp1,5 triliun untuk smelter aluminium, sedangkan PT KPI mendapatkan USD603 juta dan Rp192,140 miliar untuk pembangunan PLTU batu bara.

Berbagai dampak PLTU di KIHI

"Labelisasi hijau pada KIHI bentuk transition washing yang paling vulgar. Namanya kawasan industri hijau kenapa masih membangun PLTU batu bara? Dan alasan menggunakan PLTU karena menunggu pembangunan energi terbarukan. Ini alasan klasik ya," kata Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, Selasa (10/9/2024).

Karena pada faktanya, lanjut Bhima, perusahaan yang mengumbar janji akan melakukan transisi energi ternyata tidak juga mematikan PLTU-nya. Apalagi dibutuhkan biaya yang sangat mahal untuk memensiunkan dini PLTU yang baru dibangun. Sehingga, menurut Bhima, sangat tidak logis PLTU di KIHI hanya digunakan sementara.

Selain itu, lanjut Bhima, tekanan terhadap pembeli aluminium seperti yang terjadi pada Hyundai, perlu jadi perhatian serius perusahaan yang ada di KIHI. Meski labelnya hijau, pembeli, khususnya industri otomotif yang punya komitmen iklim, tidak mudah terkecoh.

"Bisa saja KIHI promosi di mana-mana, tapi calon pembeli pastinya akan bertanya kok hijau tapi masih gunakan batu bara, dan ini jadi ganjalan terbesar pengembangan KIHI," katanya.

Bhima melanjutkan, konsen terhadap masalah pembebasan lahan dan dampak lingkungan kepada masyarakat sekitar juga membuat citra kawasan hijau menjadi buruk. Oleh karena itu hasil studi CELIOS mengungkap banyak kerugian ekonomi dari proyek KIHI, jika konsepnya bertolak belakang dengan kesejahteraan dan perlindungan lingkungan hidup.

Studi yang dilakukan CELIOS memperlihatkan, bahwa PLTU di KIHI menghadirkan dampak negatif ekonomi, berupa menurunkan output ekonomi secara langsung maupun tidak langsung sebesar Rp3,93 triliun. Dampak ini merupakan dampak dari penurunan produksi perikanan dan perkebunan akibat pembangunan PLTU. Selain itu, nilai tambah perekonomian juga mengalami penurunan sebesar Rp3,82 triliun dan pendapatan masyarakat juga turun sebesar Rp3,68 triliun.

Aktivitas nelayan di bagan, desa Mangkupadi, Tanjung Palas Timur, Bulungan, Kalimantan Utara. Sumber: Dok. PLHL.

Penurunan pendapatan paling besar dialami oleh tenaga kerja. Selain itu, terdapat pengurangan lapangan pekerjaan sebesar 66.000 lapangan kerja yang terdampak dari pencemaran PLTU, seperti nelayan ataupun pekerja di bidang perkebunan. Pekerja di sektor non-PLTU yang terdampak negatif akibat pembangunan dan operasional PLTU terpaksa kehilangan pendapatan, bahkan beralih ke profesi lainnya.

Operasional PLTU KIHI juga memberikan dampak jangka panjang, itu terjadi pada pendapatan pekerja sektor pertanian di Kaltara yang turun signifikan setelah 15 tahun PLTU beroperasi. Pada tahun ke-15 pendapatan petani di Kaltara bisa turun hingga Rp30,8 miliar karena efek dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya operasional PLTU yang menggunakan batu bara.

"Pada jangka menengah, terjadi pengurangan tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari sekitar Rp97 miliar, menjadi sekitar Rp2,6 miliar saja dalam waktu 8 tahun," kata Bhima.

Pendapatan masyarakat yang mengandalkan hasil hutan merupakan kelompok masyarakat yang paling terdampak negatif adanya operasional PLTU ini. Kerugian pendapatannya mencapai Rp13 triliun dalam jangka panjang. Eksploitasi hutan guna pertambangan batu bara menjadi salah satu penyebab utama penurunan pendapatan pekerja di sektor kehutanan di Kalimantan Utara.

CELIOS juga menyebut pembangunan megaproyek industri dan operasional PLTU batu bara captive di KIHI akan mengarah pada hilangnya ruang dan relung ekologis terkait fungsinya untuk menyokong kesetimbangan interaksi antar makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya. Sempadan pantai, laut, daerah aliran sungai yang selama ini menyokong kehidupan banyak organisme dalam sebuah ekosistem akan mengalami gangguan.

"Dalam kehidupan masyarakat, kesetimbangan ekologis tersebut merupakan suatu prasyarat krusial untuk menopang segala jenis kegiatan sosial, ekonomi, kultural, dsb. Sehingga ketetapan kondisi faktor-faktor abiotik--yang mencakup tanah, udara, suhu dan kelembaban udara, serta unsur lainnya--saling kelindan dengan kelestarian makhluk hidup di dalamnya," ujar Bhima.

Pembangunan bolder pemecah ombak untuk melindungi areal PLTU yang rencananya dibangun di daerah pesisir akan mengubah alur ombak. Bersama dengan hilangnya tutupan mangrove, potensi abrasi pantai akan meningkat secara signifikan. Pada akhirnya, proses abrasi bermuara pada berkurangnya luas daratan sehingga menimbulkan berbagai macam kerusakan dan degradasi lingkungan yang masif.

Perubahan vegetasi pada sempadan sungai, pantai, dan daratan di lokasi proyek juga menghilangkan sumber pangan dari banyak fauna herbivora. Ini akan mengganggu kesetimbangan rantai makanan yang sudah terjalin secara kompleks. Ada ancaman krisis pangan serius yang mengintai kehidupan di sekitar Bulungan.

Terdapat sejumlah spesies, di antaranya berstatus dilindungi dan terancam punah, yang berada di sekitar area proyek KIHI dan terancam hilang. Spesies-spesies tersebut yakni elang bondol (Haliatus indus), bubut jawa (Centropus nigrorufus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan hiu paus (Orcinus orca).

Perluasan lahan proyek smelter milik PT Tsingshan di Karang Tigau, tak jauh dari Kampung Baru. Sumber: Laporan Kebohongan Hijau.

Operasional PLTU di KIHI juga akan mengakibatkan perubahan kontur lahan secara signifikan yang mengarah pada potensi banjir, karena limpasan air. Kemudian meningkatkan potensi abrasi pantai, intrusi air asin/laut ke sumur warga, dan gangguan pada sistem penunjang karst (perikarst) Kaltara, yang berhubungan dengan sistem hidrologi penunjang kebutuhan air bersih masyarakat.

Di samping menghasilkan cemaran panas, kegiatan operasional PLTU juga mengeluarkan emisi karbon serta abu hasil bakaran batu bara yang berkontribusi secara signifikan pada penurunan kualitas udara ambien dalam radius tertentu. Material sisa dari proses pembakaran batu bara tersebut diklasifikasikan menjadi dua berdasar karakteristik dan massa partikelnya, yakni fly ash dan bottom ash (FABA).

Fly ash memiliki ukuran lebih kecil dan massa partikel lebih ringan daripada bottom ash, sehingga abu ini akan mudah terbawa angin saat dikeluarkan dari cerobong pembakaran, sedangkan bottom ash akan “terendapkan”. Dilihat dari temuan lapangan di berbagai PLTU, fly ash ditengarai sebagai biang peningkatan problem respirasi yang diderita masyarakat sekitar.

"Lokasi KIHI yang berada dekat dengan permukiman warga, ditambah dengan karakteristik lahan yang jarang dominasi pohon tegakan tinggi, akan meningkatkan potensi sebaran fly ash yang akhirnya meningkatkan pula angka idapan ISPA," ujar Bhima.

Bhima menambahkan, mengacu pada kumulasi data kecepatan dan arah angin dari Badan Meteorologi Klimatiologi dan Geofisika (BMKG) Kabupaten Bulungan pada 2011-2020, pada sekitar Juli sampai September, angin akan bertiup ke arah barat daya. Artinya, angin akan membawa langsung cemaran abu ke daerah yang merupakan tempat tinggal dan pusat kegiatan warga.

Tak hanya itu, PLTU di KIHI juga dapat membawa dampak sosio-kultural, seperti potensi konflik horizontal akibat proses forced-migration penduduk yang tergusur proyek KIHI, dan pemiskinan (struktural) masyarakat sekitar areal proyek.

Bhima mengatakan, dilihat dari berbagai estimasi dampak tersebut, bisa dilihat bahwa antarkomponen memiliki silang kelindan yang erat. Artinya, dampak gangguan pada satu komponen akan terakumulasi dengan dampak gangguan komponen lainnya. Akumulasi tersebut mengarah pada bencana sosio-ekologi masif yang mengancam banyak bentuk kehidupan di daerah sekitar Kaltara.

Pun, analisis dampak PLTU batu bara tidak bisa dilihat secara parsial. Sebagai sebuah itikad penghancuran ruang hidup demi memenuhi ambisi hilirisasi, ia meninggalkan jejak kerusakan ekologis dari hulu ke hilir, dari proses ekstraktif, proses produksi, hingga distribusinya.

Bahan mentah yang menyokong industri di KIHI adalah hasil penambangan yang menggerus kelestarian pulau-pulau lain. Eksodus walet yang mendiami gua-gua karst di sekitar Bulungan tidak hanya menyebabkan gangguan pada peri karst di lokasi proyek, namun pada cakupan area yang jauh lebih luas.

"Sehingga pembacaan dengan batasan temporal-spasial kurang atau bahkan tidak tepat untuk mendeskripsikan akumulasi dampak yang mungkin terjadi," ucap Bhima.