Hilang Makna Segel Burung Garuda di KIHI Kaltara
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono dan Kennial Laia
SOROT
Kamis, 12 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Sejak proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) berjalan, sekitar 2021 lalu, warga Desa Mangkupadi, Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara), mulai kehilangan hak atas tanahnya. Ada yang hilang karena proses jual beli, ada juga yang terampas begitu saja tanpa ada rupiah yang diberikan sebagai gantinya.
Seperti dialami Haling Bahara. Nelayan yang telah beralih profesi menjadi pekerja bangunan itu sampai sekarang masih berharap dan berjuang agar ada rupiah yang pantas ia dapatkan, atas lahan seluas 1 hektare miliknya yang diambil paksa oleh pihak pengelola KIHI.
"Satu hektare saja luasnya. Meski nilai ganti rugi lahan tidak banyak, tapi saya berpikir, karena orang banyak (yang juga berjuang mendapatkan haknya), maka saya masih berjuang sampai sekarang," kata Haling, Jumat (6/9/2024).
Haslin mengaku masih mengingat kejadian saat lahannya tiba-tiba diratakan menggunakan alat berat oleh pihak kontraktor KIHI, pada akhir 2021 lalu. Saat itu, ia dengan tegas meminta agar aktivitas alat berat itu dihentikan, sebab proses jual beli atau ganti rugi antara ia dan pihak KIHI belum selesai.
- KIHI Kaltara: Diklaim Hijau, Dituding Kotor
- Hijau Muram KIHI Kaltara: Hilang Ikan di Kampung Nelayan
Saat itu, kata Haling, pihak operator alat berat bersedia menghentikan kegiatannya dan menarik mundur alat berat secara sukarela dari lahannya. Tapi berselang beberapa jam kemudian, ia ditelpon oleh anggota kepolisian yang memintanya untuk datang ke kantor polisi, karena adanya laporan yang diterima polisi yang menyebut Haling menahan alat berat.
"Malam-malam saya datang ke kantor polisi. Saya kemudian mempertanyakan tuduhan itu. Saya tahu yang mana yang disebut menahan alat berat dan mana yang tidak. Makanya saya bertahan (dari tuduhan)," tutur Haling.
"Saya bilang, saya hanya meminta mereka (alat berat) berhenti bekerja. Karena lahan saya yang mereka kerjakan itu belum dibayar oleh PT KIPI (salah satu pengelola KIHI)," tutur Haling.
Sejak itu, imbuh Haling, ia mulai aktif menyuarakan haknya dan warga lain yang tanahnya dirampas untuk KIHI, termasuk berorasi di Kantor Desa Mangkupadi. Tapi sejak itu pula sampai sekarang tidak ada kabar tentang proses jual beli atau ganti rugi dari pihak pengelola KIHI. Sementara tanahnya sudah dirampas darinya.
"Ini bukan lagi dia membeli, tapi sudah merampas. Padahal hanya itu tanah yang tersisa," ucap Haling.
Bukan hanya Haling yang mengalami perampasan lahan untuk KIHI ini. Ada sekitar puluhan warga lain yang konon mengalami nasib yang sama. Salah satunya adalah Alex. Lahan milik ia dan beberapa kerabatnya, yang luasnya sekitar 16 hektare, juga dirampas untuk proyek KIHI.
Spanduk yang dipasang PT Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI), salah satu pengelola KIHI. Foto: CELIOS.
Alex masih ingat betul bagaimana ia menegur kontraktor KIHI yang tiba-tiba saja meratakan tanahnya pada November 2021 lalu. Meski saat itu ia berhasil 'mengusir' alat berat pergi dari lahannya, tapi kejadian penggusuran lahan kembali terulang setengah bulan kemudian.
"Ada lagi alat berat yang bekerja. Saat kita tegur, mereka malah melawan. Mereka mengancam, kalau ada yang merintangi akan dipidanakan. Sejak itu saya tidak berani lagi menegur," kata Alex, Jumat (6/9/2024).
Menurut Alex, tanah-tanahnya itu ia miliki secara sah dengan bukti surat keterangan tanah bersegel gambar burung garuda yang diterbitkan pemerintah desa setempat. Alek mengaku mendapatkan tanah-tanah itu dengan cara membeli dari warga setempat, seharga sekitar Rp8 juta-Rp15 juta per hektare, pada 2010 sampai 2012.
Di tanahnya itu, Alex menanam berbagai tanaman yang menghasilkan, seperti sawit, mangga, dan tanaman lainnya. Namun sekarang lahannya yang agak berbukit itu sudah rata, sebab tanahnya dikeruk untuk jadi tanah timbunan. Proyek konstruksi KIHI pun dikerjakan di atasnya.
Alex tak mau menyerah begitu saja. Meski tak bisa lagi mempertahankan tanahnya, namun Alex berpikir, setidaknya ia bisa mendapatkan uang dari pihak pengelola KIHI sebagai ganti rugi tanahnya yang diambil itu.
Alex mengaku sudah menyuarakan kasus tanahnya ini ke berbagai pihak. Tahun lalu ia dan warga yang senasib dengannya mengadukan persoalan ini ke DPRD provinsi dan DPRD kabupaten. Tapi hingga kini tidak ada keputusan yang didapatkan dari wakil-wakil rakyat itu.
"Katanya per hektare diganti rugi Rp35 juta. Tapi sampai sekarang belum dibayarkan," kata Alex.
Lahan akan tetap dirampas
Salah satu spanduk larangan aktivitas di areal PSN KIHI. Sumber: Laporan Kebohongan Hijau.
Yosran Efendi dari Perkumpulan Lingkar Hutan Lestari (PLHL), yang ikut mendampingi warga terdampak KIHI, mengatakan setidaknya ada sekitar 30 persil lahan warga Mangkupadi yang mengalami penggusuran, akibat proyek KIHI. Sebagian besar tidak dilakukan pembayaran ganti rugi, terutama lahan yang belum disertifikasi.
"Jadi tanah itu ada statusnya (legalitas). Sebagian dibayar nanti, dibayar kemudian. Tapi lahan mereka yang dianggap suratnya bukan sertifikat, enggak diganti rugi," kata Yosran, Rabu (11/9/2024).
Lahan-lahan itu, imbuh Yosran, sebenarnya bukan tanah kosong. Di atasnya terdapat berbagai tanam tumbuh, seperti tanaman sawit, merica, buah-buahan dan tanaman tahunan lainnya. Bahkan beberapa di antaranya sudah berdiri bangunan sarang walet dan rumah.
Menurut Yosran, selain dirampas, warga setempat juga dilarang beraktivitas di tanahnya lagi. Di beberapa titik lahan-lahan itu, pihak pengelola KIHI telah memasang plang atau spanduk bertuliskan kawasan proyek strategis nasional beserta larangan beraktivitas bagi warga.
Menurut Yosran, warga Mangkupadi sudah dalam kondisi sulit mempertahankan tanahnya. Yang bisa diperjuangkan saat ini adalah pembayaran ganti rugi atas lahan warga yang dirampas untuk proyek KIHI.
"Karena, apakah warga mau menerima ganti rugi atau tidak, lahan mereka akan tetap digusur," ujar Yosran.
Modus-modus perampasan lahan
Salah satu plang pemberitahuan lahan telah dibebaskan di KIHI, di Desa Mangkupadi. Foto: Laporan Kebohongan Hijau.
Dalam laporannya yang berjudul Kebohongan Hijau, Nugal Institute dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim), menemukan beberapa modus perampasan lahan dan ruang hidup warga, demi memuluskan Proyek Stategis Nasional KIHI.
Salah satunya dengan melakukan penetapan harga kompensasi dan ganti rugi sepihak atas tanah berdasarkan posisi lokasinya, dan tanam tumbuh atau material bangunan di atasnya. Para peneliti tidak menemukan dasar hukum penentuan harga kompensasi, sehingga terkesan ditetapkan sepihak oleh pihak pengelola KIHI.
"Ini menghilangkan hak warga untuk menentukan sendiri nilai atas lahannya bahkan menghilangkan hak warga untuk menolak jual beli tersebut," demikian tertulis dalam laporan Kebohongan Hijau yang dirilis September 2023.
Modus selanjutnya adalah perubahan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) secara signifikan. Pada 2020, NJOP di sekitar lokasi proyek KIHI masih sebesar Rp 56 ribu per meter persegi. Namun mendadak turun drastis menjadi Rp6 ribu per meter persegi pada 2022.
Kemudian, pengukuran rumah dan tanah warga dilakukan secara gerilya oleh pihak pengelola KIHI, dengan cara gedor dari rumah ke rumah. Warga juga dimintai tanda tangan, semacam berita acara, tetapi tanpa penjelasan utuh bahwa pengukuran tidak boleh dianggap otomatis sebagai persetujuan.
Modus lainnya, manipulasi melalui 'Pembengkakan Surat' berupa pembesaran ukuran dan luas tanah warga yang diklaim dibeli pihak pengelola KIHI. Menurut laporan ini, ditemukan adanya surat jual beli tanah untuk KIHI seluas 2 hektare, adapun lahan yang dijual warga sebenarnya hanya seluas 1,5 hektare. Walhasil lahan lain milik warga penjual itu ikut terjual tanpa sepengetahuan dan tanpa keinginannya.
Berikutnya, perampasan lahan dengan cara melakukan penggusuran tanpa izin pemberitahuan kepada pemilik lahan dan tanam tumbuh, diikuti dengan kekerasan dan kriminalisasi kepada warga. Salah seorang warga, bernama Aris, dikenai pidana pengancaman dengan senjata tajam dan ditahan tanpa bukti yang kuat oleh kepolisian, saat mempertanyakan dan mempertahankan lahannya yang tiba-tiba digusur pada Desember 2022 lalu.
Kampung Baru terancam hilang
Peneliti Nugal Institute, Seny Ahmad, mengatakan saat ini pemukiman warga yang berada di Kampung Baru, Desa Mangkupadi, mengalami krisis dan terancam hilang. Sebab, kampung nelayan tersebut posisinya terjepit, berada di antara areal aktivitas pembangunan smelter-pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pabrik petrokimia.
"Dari sisi lahan, mereka harus berhadapan dengan industri yang dibangun bukan untuk melayani masyarakat sekitar. Jadi tentu saja pilihannya bertahan atau digusur secara paksa," kata Seny Ahmad, peneliti Nugal Institute, Selasa (10/9/2024).
Selain dihimpit kegiatan industri dan kehilangan lahannya, warga di Kampung Baru juga terancam kehilangan sumber pendapatan lainnya dari laut. Sebab sejak beberapa tahun terakhir, hasil tangkapan ikan nelayan di sana menyusut drastis. Itu ditengarai disebabkan oleh padatnya aktivitas lalu kapal-tongkang/ponton pengangkut bahan material konstruksi KIHI, dan pengerukan pasir laut.
Meski terancam hilang atau digusur, warga yang tinggal di Kampung Baru tidak berpangku tangan. Rahmat, salah satu pemuda yang tinggal di kampung itu, mengaku tak ingin kampung tempat lahirnya itu digusur. Karena selain adanya keterikatan sejarah, ia dan banyak pemuda lainnya yang menolak penggusuran Kampung Baru beranggapan tak ingin di kemudian hari nanti malah menjadi orang asing dan pendatang di tanah lahirnya sendiri.
"Pemuda di sini menolak Kampung Baru digusur, walaupun banyak orang tua yang berpikiran untuk pindah. Kalau direlokasi, maka kalau kami ke sini lagi nanti, kami sudah tidak punya tempat menginap dan lain-lain. Saat ini saja warung-warung makan dan pertokoan yang ada di Kampung Baru itu bukan milik warga setempat. Itu milik warga pendatang," tutur Rahmad, Jumat (16/9/2024).
Yosran menambahkan, penggusuran dan perampasan lahan ini diperkirakan akan merembet ke desa-desa lain. Terutama Desa Tanah Kuning, yang juga sebagian arealnya masuk dalam KIHI. Apalagi beberapa hari belakangan ia mendapatkan informasi bahwa sudah ada alat berat yang masuk ke desa tersebut.
Tak hanya Tanah Kuning, menurut Yosran, desa-desa lain seperti Desa Sajau Pura dan Desa Sajau Hilir juga terancam mengalami letusan konflik agraria juga, gara-gara KIHI. Karena sejalan dengan operasi konstruksi di KIHI, pemerintah juga menerbitkan 3 izin usaha pertambangan (IUP) batu bara baru di Desa Sajau Pura, sementara Desa Sajau Hilir akan menjadi perlintasan jalan angkutan batu bara. Konsesi-konsesi tambang itu nantinya akan memasok batu bara untuk operasi PLTU yang sedang dibangun di KIHI.