Program Cetak Sawah PSN Jokowi di Merauke Numpang Kawasan Adat
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Senin, 16 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Proyek cetak sawah baru seluas 1 juta hektare di Kabupaten Merauke, Papua, akan merebut ruang hidup masyarakat adat dan merusak lingkungan. Pemerintah harus segera mengevaluasi dan menghentikan proyek pelat merah tersebut.
Berdasarkan analisis tumpang susun dan pemantauan lapangan, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) menyatakan, lokasi proyek strategis nasional tersebut berada di kawasan hutan adat, di mana terdapat makam keramat, jalur leluhur, dusun pangan, dan tempat berburu. Area yang ada di distrik Ilwayab, Ngguti, Kaptel, dan Muting ini juga memiliki nilai konservasi tinggi, dan di dalamnya ada areal konservasi tradisional.
Melalui informasi yang dikumpulkan, perwakilan marga pemilik tanah di Distrik Ilwayab, Marga Gebze Moyuend dan Gebze Dinaulik, menyatakan mereka telah digusur oleh kegiatan perusahaan yang dikawal aparat bersenjata. “Tanah, dusun dan hutan adat, sumber kehidupan kami sudah digusur. Tanpa ada musyawarah dan mufakat dengan masyarakat adat setempat,” kata salah satu perwakilan dari Distrik Ilwayab tersebut, dalam keterangan yang diterima Betahita, Jumat, 13 September 2024.
Menurut PUSAKA, penyediaan hutan untuk proyek itu diatur melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 835 Tahun 2024 atau SK KLHK 835 pada 12 Juli 2024. Instansi yang dipimpin Menteri Siti Nurbaya Bakar itu menyetujui pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan pangan dan energi seluas 13.540 hektare, termasuk hutan lindung, produksi tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi di Merauke.
Pembangunan telah memasuki tahap awal, termasuk dermaga dan jalan usaha untuk memasukkan alat dan logistik pertanian, menurut Komandan Satgas Ketahanan Pangan Mabes TNI, Mayjen Ahmad Rizal Ramdhani, dalam podkes RRI Merauke, Agustus lalu.
Direktur PUSAKA Franky Samperante mengatakan, proyek tersebut melakukan sejumlah pelanggaran. Di antaranya tidak menjalankan prinsip Free, Prior, Informat Consent (FPIC), di mana masyarakat terlebih dulu diberikan dan mendapatkan informasi mengenai proyek di wilayah adat mereka. Prinsip itu juga mengharuskan masyarakat diberikan kebebasan berunding untuk mengambil keputusan jika menerima atau menolak proyek.
“Hal ini tidak dilakukan pemerintah pengembang proyek dan perusahaan,” kata Franky. “Dengan demikian, proyek ini melanggar hak hidup, hak masyarakat adat, dan merusak lingkungan hidup,” ujarnya.
PUSAKA menemukan, masyarakat terdampak langsung maupun organisasi lingkungan hidup tidak dilibatkan sejak awal pembahasan kerangka acuan dan penilaian Amdal dan belum mendapatkan informasi dokumen lingkungan. “Kami juga menduga proyek PSN Merauke cetak sawah baru satu juta hektare dan pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan belum memiliki dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan,” kata Franky.Peta analisis tumpang tindih penggunaan kawasan hutan Merauke untuk cetak sawah 1 juta ha. Dok. PUSAKA
Analisis lebih lanjut terkait juga menunjukkan lokasi proyek tersebut terindikasi berada pada areal PIPPIB (peta indikatif penghentian pemberian perizinan berusaha) pada hutan alam dan lahan gambut, seluas 858 hektare.
Berdasarkan data tersebut, PUSAKA menilai jika PSN Ini dilanjutkan, akan merusak dan menghilangkan kawasan hutan alam dan lahan gambut dalam skala luas, dan dapat meningkatkan krisis lingkungan. “Hal ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca,” kata Franky.
PUSAKA mengatakan penanggung jawab proyek, termasuk Kementerian Pertahanan dan Kementerian, serta Jhonlin Group, untuk menghormati dan melindungi hak masyarakat adat dan keberlangsungan lingkungan hidup. Pengabaian terhadap hak masyarakat adat dan lingkungan hidup akan menimbulkan dan memperburuk permasalahan sosial, ekonomi dan ekologi.
“Kami mendesak presiden dan kementerian terkait untuk segera mengevaluasi dan menghentikan proyek ini dan segala aktivitas pembangunan fasilitas pendukungnya,” kata Franky.
Selain PUSAKA meminta agar pemerintah melakukan konsultasi dengan masyarakat adat. “Masyarakat adat harus dilibatkan dalam pembangunan pangan dan energi yang inklusif, adil dan damai, serta mengutamakan kepentingan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat lingkungan hidup,” kata Franky.