Jejak Pencemaran IWIP di Teluk Weda

Penulis : Aryo Bhawono

SOROT

Selasa, 17 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Laju perahu bermesin tempel membelah perairan tenang di muka Desa Gemaf, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Karang pada kedalaman sekitar 5 meter masih terlihat jelas saat perjalanan dimulai di Desa Gemaf. Namun ketika sampai di muka perairan depan komplek PT Indonesia Weda bay Nickel Industrial Park (IWIP) dasar laut menjadi hitam.

Saat itu tak sampai lima belas menit perjalanan ketika memasuki kawasan Lipe, di sisi paling timur kompleks industri PT IWIP. Gundukan nikel, yang sebagian ditutup terpal, terlihat dari kejauhan. Lipe merupakan pelabuhan pengangkut nikel, tanah lapang di sekitar lokasi itu dipenuhi gunungan ore nikel.

Setelah gundukan nikel, lima unit crane untuk memindahkan hasil pencucian nikel berderet di tepi pelabuhan. Saat itu belum ada kapal yang merapat.

Pesisir ini merupakan batas antara Desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara, dengan kompleks PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).

Dua orang warga Lelilef Wei Bulen memandang kompleks PT IWIP dari dermaga desa. Foto: Mubaliq Tomagola/ Walhi Maluku Utara

Komplek industri pengolahan nikel itu memanjang sejauh sekitar 10 km di pesisir hingga di batas pemukiman Desa Lelilef Sawai. Sepanjang itu pula dasar perairan menjadi gelap. 

IWIP merupakan jantung hilirisasi di tempat itu. Perusahaan itu berdiri pada 2018 yang menguasai sekitar 5.000 ha kawasan untuk industri dan rencana pengembangan hingga 15.000 ha.

Menyisir kondisi perairan Lelilef di Teluk Weda, Halmahera. Foto: Aryo Bhawono/Betahita

IWIP merupakan patungan tiga investor asal Tiongkok yaitu Tsingshan, Huayou, dan Zhenshi. Mayoritas saham IWIP dikuasai oleh Tsingshan (40 persen) melalui anak perusahaan, Perlux Technology Co.Ltd. Sedangkan Zhenshi dan Huayou, masing-masing menguasai saham 30 persen.

Kawasan IWIP dibelah oleh jalan provinsi. Aktivitas pabrik pengolahan nikel, beberapa mes karyawan, dan tambang nikel berada di kawasan perbukitan. Sedangkan pelabuhan, PLTU, sejumlah fasilitas karyawan, kantor, hotel dan bandara, berada di pesisir.  

Nelayan yang menyertai perahu kami, Maksi Goro, menyebutkan seluruh perairan ini tadinya berwarna cerah dan menjadi tempat mencari ikan.

“Sejak IWIP datang dan membangun pabrik, pelabuhan, PLTU, dan lainnya semua berubah. Karang dasar sudah tak terlihat, pastinya rusak. Alhasil sudah tak ada ikan di sana,” ucap dia. 

Global Energy Monitor menyebutkan total kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi atau sedang dikembangkan di Teluk Weda adalah 3.400 MW (6 x 250 MW + 5 x 380).

PLTU di kawasan PT IWIP, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Aryo Bhawono/ Betahita

Max menyebutkan lalu lalang kapal keluar masuk pelabuhan saja sudah membuat jejak minyak yang cukup banyak di atas perairan. Belum lagi, kata dia, jangkar kapal yang dibuang di perairan, sudah pasti menghancurkan karang. Kapal-kapal itu banyak yang tak langsung sandar, beberapa kapal terlihat membuang sauh di tengah laut.   

Redaksi Betahita menyisir kawasan perairan itu dan melakukan wawancara dengan sekitar 20-an karyawan PT IWIP maupun perusahaan tenant, dan nelayan untuk mencari kaitan kerusakan di pesisir Teluk Weda ini dengan aktivitas PT IWIP. Mereka tak menafikkan, kerusakan pesisir datang setelah hilirisasi datang. 

Perahu terus melaju menyisir pesisir tepat di muka komplek IWIP. Setelah melewati muka pelabuhan ore nikel, tiga cerobong asap berkelir warna merah putih menantang langit. Asap tak pernah berhenti mengepul dari salah satu di antaranya.

Muara sungai, membatasi komplek pembangkit PLTU ini dengan pelabuhan ore. Air muara itu bergemuruh, berasap tipis, dan menimbulkan riak. Max bilang air itu masih panas, beberapa insiden pernah terjadi di muara itu hingga merenggut nyawa. Beberapa kali pula kapalnya dipakai untuk mengevakuasi korban. 

Keterangan para pekerja menyebutkan air limbah PLTU turut dibuang di sungai itu dalam kondisi masih panas. Makanya menimbulkan gemuruh, riak, dan asap tipis.

Aliran air dari pembangkit menuju muara ini dapat terlihat jelas ketika menjelajah melalui darat. Sebuah selokan terbuka selebar sekitar lima meter berada di belakang pembangkit dan sejalur dengan jalan provinsi yang melintas di belakang PLTU.

Muara itu tak saja membuang limbah dari PLTU. Keterangan yang didapat dari para karyawan menyebutkan smelter pengolahan feronikel yang berada di belakang PLTU turut membuang limbah cairnya melalui muara tersebut. 

Air yang dipakai untuk pencucian bijih nikel secara berulang-ulang dalam waktu tertentu kemudian harus dibuang. Para karyawan menyebutnya sebagai limbah putih. Limbah ini ditampung dalam septic tank tertutup kemudian dibuang melalui sungai yang mengalir di belakang komplek smelter lalu dialirkan ke muara yang sama dengan PLTU. 

Melewati PLTU, perahu yang kami tumpangi melaju menuju perairan di depan Hotel Tsingsang Arcadia. Bangunan dengan desain seperti undakan berwarna putih itu berdiri megah di tengah kawasan industri. Tepat di sebelahnya bukit keramat Tanjung Ulie menjadi satu-satunya kawasan hijau dari deretan kompleks IWIP. 

Tanjung berbukit hijau itu seperti menyembunyikan pemandangan aktivitas reklamasi di sekitar Bandara Cekel milik perusahaan yang sama. Dua ekskavator nampak sibuk lalu lalang meratakan gundukan slag nikel berwarna hitam untuk menambah luas daratan di sekitar bandara udara.

“Slag itulah yang membuat dasar air jadi hitam. Karang ditimbun dan ikan sudah pergi semua. Hanya ikan yang nyasar saja yang datang, itu pun kalau mereka masih bisa bertahan hidup,” ucap Max.

Kawasan PT IWIP dari eprairan Lelilef, Teluk Weda, Maluku Utara. Foto: Aryo Bhawono/ Betahita

Tak hanya slag nikel yang merusak perairan itu, para karyawan menyebutkan pembuangan salah satu kompleks smelter berteknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching) turut bermuara ke perairan yang sama. 

Dari perairan, bangunan smelter berteknologi HPAL itu terlihat berdiri tegak dengan warna biru tua, tepat di belakang bandara. Para karyawan bilang limbah cair dibuang melalui sungai melintang di bawah jalan trans Halmahera menuju sisi bandara dan bermuara di perairan yang sama. 

Kapal terus melaju menuju perairan Desa Lelilef, dasar perairan berwarna kehijauan karena makin dalam. Namun warna ini hanya bertahan sebentar saja, begitu perahu sampai di muara Sungai Kobe di pangkal Teluk Weda, air berwarna merah kekuningan. Muara itu menanggung beban aktivitas pertambangan di hulunya. 

Max menerangkan setidaknya terdapat tiga perusahaan tambang nikel di muara sungai itu. Semuanya mengasup ke hasil tambangnya ke IWIP.

Temuan ini mengkonfirmasi dampak kerusakan lingkungan akibat hilirisasi di Halmahera, Maluku Utara. Analisis pemetaan menunjukkan luas kawasan industri ini mencapai 1.432 ha yang membentang sepanjang 10 kilometer di perairan Teluk Weda. 

Reklamasi menggunakan slag nikel mencapai luas 178 ha. Aktivitas ini merusak coral dan padang lamun seluas 93 hektare. Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, Faisal Ratuela, menyebutkan perairan di sepanjang Teluk Weda, termasuk bentang perairan dari Muara Kobe hingga Gemaf, merupakan ekosistem sempurna. 

Kawasan itu terdiri dari tiga bagian, mangrove di beberapa tempat, padang lamun, dan karang. Susunan ini sangat kaya biodiversitas perairan sehingga nelayan mendapatkan hasil yang melimpah. 

“Ini belum termasuk dusun sagu yang tidak jauh dari perairan itu. Itu semua rusak, baik oleh aktivitas industri maupun pertambangan nikel,” ucap dia. 

Riset yang dilakukan oleh Walhi Maluku Utara di kawasan sekitar IWIP menunjukkan adanya pencemaran, baik pada biota laut maupun air laut. Mereka melakukan pengambilan sampel air dan biota laut. Hasilnya air dan biota itu terpapar pencemaran. 

Lokasi pengambilan sampel oleh Walhi Maluku Utara di Perairan lelilef, Teluk Weda, Halmahera Tengah.

Mereka melakukan pengambilan sampel pada enam titik, yakni perairan batas dengan Desa Gemaf, muka muara pembuangan PLTU, pelabuhan IWIP, samping Tanjung Ulie, reklamasi bandara, dan perbatasan dengan Desa Lelilef Sawai.    

Tingkat kandungan garam (salinitas), derajat keasaman (pH), dan oksigen terlarut berada di bawah baku mutu. Salinitas sendiri merupakan ukuran penting dalam proses-proses fisika, kimia maupun biologis di laut. Pengukuran salinitas di perairan Teluk Weda sebesar 32,13 ppt, kadar ini berada di bawah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.

Derajat keasaman tercatat sebesar 6,64 dan oksigen terlarut tercatat tercatat sebesar 3,70 mg/L. Kedua angka ini pun berada di bawah baku mutu.

Kadar nitrat dan fosfat yang merupakan nutrien bagi biota berada di atas baku mutu. Masing-masing tercatat sebesar 0,011 mg/L dan 0,022 mg/L. Kelimpahan ini dibarengi dengan kadar amonia yang bersifat toksik bagi biota, yakni sebesar 0,4 mg/.

Sedangkan kadar logam berat seperti besi (Fe) dan nikel (Ni) tercatat melebihi baku mutu menurut standar US Environmental Protection Agency (USEPA). Sedangkan merkuri (Hg) tercatat pas berada pada baku mutu. Kadar besi besi di Teluk Weda tercatat mencapai 0,70 mg/L, nikel sebesar 0,10 mg/L, dan merkuri sebesar 0,001 mg/L. 

Buruknya kondisi perairan ini pun berpengaruh pada biota laut. Sampling biota, yakni pada kerang kima (Tridacna sp), ikan kakatua (Scarus niger), baronang (Siganus javus), dan dorabe (Sparus aurata) menunjukkan akumulasi logam berat yang menyebabkan nekrosis, kematian sel usus, ginjal, dan hati. 

“Ini artinya ikan di sana sudah berbahaya untuk dikonsumsi. Jadi persoalannya bukan hanya kerusakan dan perginya ikan dari perairan itu, tetapi juga bahaya jika dimakan,” kata Ical, nama sapaan Faizal Ratuela. 

Kapal dan tonkang yang berlabuh di perairan Lelilef, Teluk Weda, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Communications Manager PT IWIP, Setya Yudha Indraswara, membantah pencemaran ini. Ia menyebutkan pemantauan kualitas air laut setiap hari dilakukan oleh internal perusahaan, ditambah pemantauan setiap 6 bulan sekali dari pihak laboratorium eksternal yang sudah terakreditasi. Hasil pemantauan rutin ini menunjukkan, kandungan logam yang ada di air laut masih memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah.

Menurutnya penggunaan slag nikel merupakan tindakan legal. Sisa pencucian nikel padat itu pada dasarnya sudah dikeluarkan dari daftar limbah B3 dan dapat dimanfaatkan untuk aktivitas perusahaan. Dokumen AMDAL dan dokumen izin reklamasi yang sudah dimiliki perusahaan mencantumkan izin penggunaan slag nikel sebagai bahan reklamasi. 

“Kami juga telah melakukan uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) untuk slag nikel yang digunakan. Hasilnya menunjukkan nilai TCLP yang terkandung di slag nikel aman digunakan untuk kegiatan reklamasi. Kami juga rutin melakukan pemantauan kualitas air laut baik dari laboratorium internal dan eksternal, hasilnya menunjukan kualitas air laut masih memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah,” ucap dia melalui konfirmasi tertulis yang diterima redaksi. 

Sedangkan pembuangan PLTU berupa air bahang ke laut sudah melalui izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pemantauan kualitas air bahang juga dilakukan rutin setiap bulan dan pemantauan setiap 6 bulan sekali dari pihak laboratorium eksternal yang sudah terakreditasi. 

Hasil analisa kualitas air laut dan air bahang yang dikeluarkan oleh laboratorium eksternal, kata dia, menunjukkan kualitas air laut dan air bahang masih memenuhi standar baku mutu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Sedangkan terkait keberadaan ekosistem perairan berupa karang dan padang lamun, perusahaan melakukan tindakan penanganan untuk meminimalkan dampak reklamasi seperti pemasangan silt curtain untuk mencegah sebaran sedimen di laut dan transplantasi karang. 

“Saat ini sudah terdapat 12 stasiun untuk transplantasi karang yang tersebar di perairan dekat perusahaan, pertumbuhan karang di setiap stasiun juga terpantau sangat baik,” kata dia.

------------------

Artikel ini merupakan Liputan ini kerjasama peliputan program Pasopati Journalist Fellowship 2023 yang didanai oleh Yayasan Auriga Nusantara.