Residu Berbahaya Energi Fosil dalam PP Kebijakan Energi Nasional
Penulis : Kennial Laia
Energi
Sabtu, 21 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) masih mengatur penggunaan energi fosil seperti batu bara dan gas. Hal ini dinilai akan berpengaruh pada target iklim, serta tidak berpihak pada pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Juru Kampanye Fossil Fuel Trend Asia, Novita Indri Pratiwi mengatakan, PP KEN semakin melemahkan komitmen untuk mengurangi penggunaan batu bara dalam bauran energi primer dari komitmen sebelumnya.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan penggunaan minimal 30% pada 2025 dan 25% pada 2050. Namun target ini mengendur, menjadi antara 41,6%-41,8% pada 2030. Kemudian baru akan berkurang menjadi 7,8% - 11,8% pada 2060.
“PP KEN saat ini masih memberikan kelonggaran untuk memperpanjang usia penggunaan energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas, setidaknya hingga 2060,” kata Novita.
Novita menilai poin mengenai batu bara ini juga dapat menjadi celah penggunaan energi fosil itu sebagai sumber utama kelistrikan khususnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau turunan lainnya. Hal ini juga dapat menghambat upaya untuk mencapai Perjanjian Paris dan mengejar target bauran energi terbarukan.
Target penggunaan gas juga mengalami kenaikan antara tahun 2030 dan 2060 di dalam PP Kebijakan Energi Nasional, sebagai bagian dari transisi energi Indonesia.
“Padahal, gas termasuk energi fosil yang jumlahnya terbatas dan pelepasan emisinya tinggi, termasuk metana. Dampak pemanasan global dari emisi metana 86 kali lebih besar daripada emisi karbon dioksida (CO2) dalam rentang waktu 20 tahun,” kata Novita.
Kebijakan ini juga masih memberikan ruang untuk perpanjangan usia penggunaan batu bara dan turunannya seperti dimethyl ether (DME), yang direncanakan menjadi pengganti LPG.
Menurut Juru Kampanye dan Advokasi Trend Asia, Meike Inda Erlina, proyek ini justru diprediksi akan melepaskan emisi lima kali lebih banyak, yakni 4,26 juta ton CO2-eq per tahun dibandingkan proses pembuatan LPG dengan kapasitas yang sama untuk energi yang dihasilkan lebih sedikit.
Meike mengatakan, diversifikasi energi dari LPG ke DME maupun batu bara untuk listrik ke gas, hidrogen, amonia, dan biomassa juga tidak tepat. Selain tergolong energi kotor, seperti amonia dan hidrogen, ketersediaan pasokan dalam jangka panjang juga dipertanyakan.
“Penggunaan teknologi amonia dan hidrogen sebagai solusi energi terbarukan berpotensi untuk menyebabkan polusi nitrogen yang dilaporkan sudah melebihi planetary boundary, serta tetap akan memproduksi gas rumah kaca dalam jumlah yang tidak sedikit,” kata Meike.
Menurut catatan kritis Trend Asia, PP Kebijakan Energi Nasional mengklaim bahwa pemerintah akan menggunakan teknologi rendah karbon yang akan mampu mengurangi emisi, sehingga energi fosil masih dapat terus digunakan. Salah satu yang didorong pemerintah adalah penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS). Teknologi ini nantinya dipasang pada sumber energi tidak terbarukan seperti PLTU dan gas.
Menurut Meike, teknologi ini belum terbukti ampuh dalam menurunkan emisi dan secara keekonomian belum layak. Laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyatakan, penggunaan CCUS untuk sektor kelistrikan tidak murah, di mana untuk biaya “tangkapnya” saja mencapai 50-100 dollar Amerika/ton. “Karena itu adopsinya di dunia internasional lamban, dan penerapannya di beberapa tempat dinilai gagal akibat ongkos yang terlalu besar dan efisiensi yang rendah,” kata Meike.
Dukungan untuk energi terbarukan melemah
Komitmen pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang berkeadilan tidak terlihat di dalam PP KEN, menurut Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian. Hal ini terlihat dari target bauran energi terbarukan yang menurun. Sebelumnya target sektor ini dipasang sebesar 24%; namun kini berkurang menjadi antara 19%-22%.
“Sekalipun angkanya terus naik hingga 2060, pilihan jenis teknologinya juga penuh solusi palsu yang akan berdampak terhadap masyarakat tapak maupun lingkungan. Target yang sangat minim juga tidak sejalan dengan potensi yang dapat dimanfaatkan,” kata Beyrra.
Pemanfaatan energi surya juga rendah, berkisar antara 1,3% dan 1,6% hingga 2030. Padahal riset dari Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkap, potensi energi surya di Indonesia sangat besar, yang dapat memenuhi bauran energi hingga 88% pada 2050. Total potensi energi ini mencapai lebih dari 7.700 gigawatt.
Pemanfaatan energi surya sangat mungkin dilakukan di Indonesia, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di skala rumah tangga dan industri. “Sayangnya hal ini dipersulit dengan peraturan yang semakin mempersempit energi terbarukan yang bahkan berasal dari dukungan langsung masyarakat ataupun industri,” kata Beyrra.
Beyrra mengatakan PP Kebijakan Energi Nasional juga tidak menyertakan ruang untuk pengembangan energi terbarukan skala komunitas. Hal ini penting karena dapat meningkatkan akses energi berkelanjutan di daerah pedesaan dan terpencil. Telah ada contoh yang berhasil, yakni pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMh) di Gelar Alam, Sukabumi, Jawa Barat. Pembangkit ini mengaliri listrik di desa secara mandiri dari salah satu aliran anak sungai di sekitarnya.
Aturan tersebut juga belum mengatur bagaimana peran serta pemerintah daerah yang berkaitan langsung dengan pemerintah desa. “Padahal upaya-upaya energi terbarukan skala kecil biasanya dibangun di daerah yang belum memiliki jaringan listrik nasional,” kata Beyrra.
“Tanpa adanya dukungan kebijakan yang memadai di tingkat terkecil, keberlanjutan pembangkit skala kecil terbukti banyak terkendala secara teknis maupun pendanaan,” ujarnya.