Jokowi Meninggalkan 2.939 Konflik Agararia

Penulis : Aryo Bhawono

Agraria

Selasa, 24 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Akhir kekuasaan Presiden Joko Widodo meninggalkan 2.939 konflik agraria di seluruh wilayah di Indonesia, dengan luas area mencapai 6,3 juta hektare dan korban terdampak sebanyak 1,75 juta rumah tangga. 

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menyebutkan tingginya konflik ini merupakan buah dari kebijakan pejabat publik dan kementerian/ lembaga (K/L) yang memberikan prioritas tanah dan sumber-sumber agraria bagi pengusaha. Akibatnya ketimpangan agraria kian lebar dan kemiskinan struktural semakin tajam. 

“Pada keberpihakan kebijakan agraria itu patut diduga pengusaha kawin-mawin dengan perilaku korup pejabat, aparat keamanan dan politisi. Petani pun merasakan imbasnya: tanah mereka dirampas, muncul konflik, kriminalisasi, dan kekerasan,” kata Dewi saat menggelar aksi demonstrasi di KPK pada Senin (23/9/2024). 

Demo di KPK tersebut merupakan aksi untuk memperingati Hari Tani pada hari ini (24/9/2024).

Sejumlah Petani, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Seripak Petani pasundan (SPP) melakukan aksi demonstrasi pengusutan korupsi agraria di KPK. Foto: KPA

Menurut catatan KPA, saat ini 25 juta ha tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta ha tanah dikuasai pengusaha tambang, dan 11,3 juta ha tanah dikuasai oleh pengusaha kayu. 

Ironisnya terdapat 17,24 juta petani gurem yang hanya menguasai tanah di bawah 0,1 hingga 0,5 ha, sisanya buruh tani yang tidak memiliki tanah. 

Menurutnya monopoli tanah merupakan kejahatan konstitusional sekaligus korupsi agraria. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UUPA) secara eksplisit menyebutkan hak-hak agraria diatur oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurutnya korupsi agraria kini berkembang semakin buruk. Kementerian dan lembaga pemerintahan menunjukkan praktik ini. 

Pertama menteri dan jajaran birokrat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan kawasan hutan tanpa memperoleh persetujuan masyarakat di sekitarnya. 

Pada penunjukan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) di Pulau Jawa, Menteri LHK membagi 3,4 juta ha tanah rakyat menjadi dua bagian, yakni 1,1 juta ha tanah dikuasai kementerian LHK sisanya 1,3 penguasaan diberikan kepada Perum Perhutani. Seluruh penunjukan hingga pengukuhan hutan tersebut dilakukan sepihak tanpa memeriksa kondisi tanah di lapangan.

Akhirnya tanah pertanian, kampung, dan desa diklaim sebagai kawasan hutan. Dampak ekonomi pendudukan ini besar. Jika satu hektar tanah petani senilai dengan Rp. 100 juta saja, kata Dewi, artinya Rp 340 triliun uang rakyat hilang begitu saja, karena ditetapkan sebagai hutan.

Kedua, menteri dan jajaran Kementerian Agraria dan tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membiarkan perusahaan sawit yang tak mengantongi hak guna usaha (HGU). Faktanya dari 25 juta ha sawit yang dikuasai pengusaha (Sawit Watch, 2024), hanya 10,13 juta ha sawit yang ber-HGU. 

Mereka juga membiarkan pengusaha tetap mengklaim menguasai tanah 7,24 juta ha meski masa berlakunya HGU sudah habis atau pun statusnya tanah terlantar. 

Ketiga, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dilakukan selama dua periode rezim Jokowi, berdasarkan Catatan KPA, per Juli 2024 PSN telah menyebabkan 134 konflik agraria seluas 571 ribu hektare. Panitia Pengadaan Tanah, Pemerintah Daerah, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN dan Pengadilan diduga memanipulasi data tentang kondisi tanah, penambahan luas tanah, penambahan jumlah penerima ganti rugi, dan pengurangan uang ganti rugi. 

Temuan KPA menyebutkan, di PSN Bandara Kertajati, Panitia Pengadaan Tanah memotong paksa uang ganti rugi sebesar 50 persen tanpa sepengetahuan petani. Jika modus semacam ini dilakukan di 500 ribu hektare PSN, dengan rata-rata satu hektar diganti rugi Rp 200 juta, artinya negara mengalami kerugian sebesar Rp. 100 triliun akibat korupsi dan pemotongan uang ganti rugi saja.

Keempat, pengampunan bisnis ilegal tambang, sawit, dan kayu di kawasan hutan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM dan Kementerian Investasi. Temuan KPA menyebutkan pemerintah telah mengampuni bisnis ilegal di kawasan hutan seluas 8,81 juta ha. Menurut perhitungan mereka, potensi kerugian negara akibat kehilangan PNBP penggunaan hutan saja mencapai Rp 35,3 triliun. Hal ini belum terhitung kerugian lingkungan.

Sekjen Serikat Petani Pasundan (SPP), Agustiana, pada kesempatan yang sama, menyebutkan korupsi di sektor agraria memiliki berbagai modus operandi. Modus-modus ini melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, dan pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Banyak contoh korupsi agraria yang gagal ditangani KPK menunjukan bahwa sistem penanganan korupsi di Indonesia masih primitif, sama sekali tidak berkembang sejak dibentuk tahun 2002 silam. 

“KPK luput melihat jaringan antara pelaku bisnis (koruptor) dan pejabat pemerintah yang bertindak untuk saling menguntungkan,” ucap dia.

Ia mendesak KPK untuk mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang dugaan kejahatan dan korupsi agraria, mendukung agenda Reforma Agraria Sejati, mendorong transparansi informasi dan data konsesi agraria HGU/ HBG/ HTI/ IUP/ HPL. 

“KPK juga harus melakukan evaluasi dan rekomendasi pencabutan UU yang mengatur sumber agraria seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, UU SDA, UU Kehutanan, dan lainnya,” kata dia. 

Di hubungi terpisah, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, menyebutkan selama ini pemerintah masih menggunakan paradigma lama, yakni tanah dan sumber agraria yang diserahkan kepada korporasi akan lebih produktif. Namun produktivitas ini hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. 

“Paradigma inilah yang menghancurkan sendi ekonomi, terutama para petani,” kata dia. 

Ia menyebutkan tindak-tanduk pemerintah menunjukkan state capture corruption (korupsi struktural). Hal paling kentara adalah pemberian pemutihan sawit di kawasan hutan.

Di Seruyan, Kalimantan Barat, dampak lingkungan sangat dirasakan oleh masyarakat hingga ada konflik dan bencana akibat pemutihan di kawasan hutan ini. Menurutnya hal yang menyedihkan adalah pemerintah memiliki perangkat hukum, yakni UU Cipta Kerja, yang mengatur mengenai pemutihan ini. Makanya, kata dia, beleid itu harus dicabut. Karena jika dibiarkan maka lingkungan dan masyarakat, terutama petani, akan merasakan dampaknya.