Menyelamatkan Orangutan Tapanuli sampai London
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono dan Aryo Bhawono
Biodiversitas
Rabu, 25 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana perluasan aktivitas tambang emas PT Agincourt Resouces Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), mengancam keseimbangan ekosistem Batang Toru, dan juga mengganggu ruang hidup masyarakat adat setempat. Jardine Cycle & Carriage Limited, sebagai pemilik PT Agincourt, didesak untuk menghentikan segala aktivitas eksplorasi dan eksploitasi tambang di habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) tersebut.
Desakan tersebut disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Friends of the Earth United Kingdom, dalam sebuah aksi protes di depan kantor Jardine Cycle & Carriage Limited, di London, Inggris, Jumat (20/9/2024).
Direktur Walhi Sumut, Rianda Purba, mengatakan, lokasi tambang emas PT Agincourt Resources--juga disebut Martabe--berada di jantung ekosistem Batang Toru. Bentang alam tersebut merupakan satu-satunya rumah atau habitat satwa langka sekaligus dilindungi, orangutan tapanuli.
Tak hanya orangutan, ekosistem Batang Toru atau juga disebut harangan Tapanuli oleh masyarakat lokal, juga merupakan habitat harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), dan trenggiling (Manis javanica). Sehingga, perluasan aktivitas tambang dapat dipastikan akan membawa dampak lingkungan yang besar bagi keseluruhan ekosistem eksosistem.
"Ekosistem Batang Toru merupakan habitat terakhir bagi orangutan tapanuli. Dengan populasi yang kurang dari 800 individu, spesies ini sangat rentan terhadap kepunahan. Dalam 15 tahun terakhir tambang ini telah menyebabkan deforestasi lebih dari 114 hektare," ujar Rianda, dalam sebuah keterangan tertulis, Minggu (22/9/2024).
Menurut Rianda, aktivitas tambang emas ini tak hanya menyebabkan kerusakan hutan dan habitat satwa liar, tetapi juga mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar. Rianda menyebut, wilayah kerja tambang PT Agincourt tumpang tindih dengan hulu atau daerah tangkapan air bagi lima daerah aliran sungai (DAS), yakni Sipan Sihaporas, Batang Toru, Garoga, Tapus, dan Badiri, yang menjadi sumber air bagi hampir 100.000 jiwa.
"Aktivitas penambangan menyebabkan erosi tanah yang parah, yang menurunkan kualitas air dan mengurangi ketersediaannya untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, termasuk untuk pertanian dan perikanan," katanya.
Selain itu, imbuh Rianda, kegiatan tambang juga meningkatkan risiko bencana alam, seperti tanah longsor dan gempa bumi. Ia menjelaskan, wilayah Batang Toru dikenal sebagai daerah yang rawan bencana, dengan kerentanan tinggi terhadap longsor dan terletak di zona gempa yang aktif. Aktivitas tambang di daerah ini hanya akan memperburuk risiko tersebut, menempatkan masyarakat lokal dalam bahaya besar.
Rianda bilang, deforestasi yang disebabkan oleh spekulan tanah di sekitar hutan primer yang berdekatan dengan area tambang juga semakin memperparah situasi. Aktivitas ilegal ini seringkali terkait dengan perluasan tambang dan menambah tekanan pada hutan yang sudah terfragmentasi. Semua faktor ini menjadikan upaya perlindungan habitat orangutan tapanuli menjadi sebuah prioritas.
Dalam aksi protes di London itu, para aktivis lingkungan tersebut mengajukan sejumlah tuntutan. Yang pertama menuntut agar Jardine Matheson--pemilik manfaat PT Agincourt Resources--segera menghentikan semua eksplorasi dan eksploitasi di habitat orangutan tapanuli, terutama di Area Keanekaragaman Hayati Kunci (KBA) dan Area Nol Kepunahan (AZE). Sebab, wilayah-wilayah ini adalah habitat kritis yang sangat penting untuk kelangsungan hidup spesies yang terancam punah, dan setiap kegiatan industri di sana telah berakibat fatal bagi ekosistem.
Yang kedua, mendesak agar Jardine Matheson menghentikan deforestasi di area tambang dan mengurangi area Kontrak Karya PT Agincourt Resources yang mencakup 30.629 hektare. Banyak dari area ini tumpang tindih dengan hutan lindung di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, yang seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan dan kegiatan industri lainnya yang merusak.
Yang ketiga, menuntut diterapkannya kebijakan Tanpa Deforestasi, Pengambilan Gambut (NDPE) yang sudah diberlakukan oleh anak perusahaan Jardine lainnya, seperti Agro Astra Lestari, agar diterapkan di seluruh operasi PT Agincourt Resources. Kebijakan ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada lagi hutan yang hilang akibat kegiatan tambang.
Yang keempat, para aktivis menyerukan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal di sekitar Batang Toru.
"Dan kelima, meminta agar PT Agincourt Resources bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi," ucap Rianda.
Selain di depan kantor Jardine Cycle & Carriage Limited, aksi protes juga dilakukan di depan hotel Mandarin Oriental, yang merupakan bagian dari bisnis Jardine Matheson. Nick Rau, perwakilan Friends of the Earth (FoE) United Kingdom, menjelaskan, aksi ini dilakukan sebagai dukungan terhadap upaya penyelamatan habitat orangutan tapanuli yang diperjuangakan masyarakat adat bersama Walhi.
"Kami bekerja bersama dengan Walhi sebagai sesama anggota FoE, karena perusahaan asal Inggris ini memberikan ancaman serius terhadap salah satu hutan terakhir di Indonesia, yaitu Batang Toru, yang merupakan rumah bagi orangutan tapanuli dan masyarakat adat," ujarnya.
Menurut Rau, aksi protes ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya memantau kegiatan bisnis yang merusak lingkungan. Pihaknya ingin membuka mata publik tentang bisnis kotor yang mengancam kelestarian ekosistem dan keberlangsungan hidup manusia.
Pada Januari 2024 lalu, PT Agincourt Resources merilis rencananya untuk memulai kembali eksplorasi dan pengembangan di Tambang Emas Martabe. Eksplorasi akan dilakukan di area Tor Ulu Ala (TUA) yang berada di sebelah utara pertambangan seluas 1 ha.
Perusahaan menyebutkan eksplorasi ini berada di luar kawasan Hutan Lindung. Mereka akan mengebor di 16 lokasi, masing-masing sekitar 25 x 25 meter.
Selain itu PT Agincourt Resources juga akan membangun fasilitas tailing kering baru di sebelah barat lokasi penambangan seluas 78 ha. Menurut mereka pembangunan ini harus dilakukan karena fasilitas penyimpanan tailing basah sudah mendekati kapasitas.
Data pemberitaan Betahita menyebutkan bentang alam Batang Toru merupakan tipe ekosistem kompleks yang terdiri atas hutan pegunungan rendah, hutan gambut pada ketinggian 900-1000 mdpl, hutan batu kapur, hutan berlumut, dan beberapa rawa di ketinggian 800 mdpl. Percampuran hutan dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan ini menjadi habitat yang pas bagi orangutan tapanuli.
Perda Provinsi Sumatera Utara No. 27 Tahun 2017 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumut Tahun 2017-2037 mengatur mengenai kawasan ini. Bentang alam yang terentang di Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah ini memiliki luas 240.985,21 hektare (ha) ini terbagi atas kawasan inti terdiri dari kawasan konservasi (suaka alam) dan hutan lindung seluas 147.771,82 ha.
Kemudian, kawasan penyangga berupa hutan produksi terbatas, hutan produksi dan areal penggunaan lain seluas 94.213,39 ha.
Tambang Emas Martabe sendiri merupakan satu dari tiga proyek besar yang mengancam kelestarian dan biodiversitas di ekosistem Batang Toru. Dua proyek lainnya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA Batang Toru dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla.