26 Hari Lagi Rezim Jokowi, YLBHI: Konflik Agraria Menggunung
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Agraria
Kamis, 26 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Beberapa pekan mendatang, masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir. Namun banyak persoalan agraria masih belum tuntas, dan hanya jadi warisan bagi pemerintahan selanjutnya. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, setidaknya terdapat 58 kasus konflik agraria di atas lahan seluas 290.337 hektare terjadi di Indonesia sepanjang 2021-2024.
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mengatakan, komitmen Jokowi terhadap pelaksanaan Reforma Agraria sejati hanyalah bualan belaka. Data, katanya, menunjukkan dari tahun ke tahun, perampasan ruang hidup warga justru semakin masif.
"Penyelesaian-penyelesaian konflik agraria masa lalu tak kunjung menunjukkan titik terang, masyarakat masih harus berjibaku untuk memperjuangkan hak atas tanahnya yang terancam dirampas oleh persekongkolan negara-pengusaha," katanya, Rabu (25/9/2024).
Isnur menguraikan, semakin mendalamnya konflik agraria bukan tanpa sebab. Pada 18 Juli 2018, Bank Dunia menggelontorkan hutang Rp2,83 triliun kepada Pemerintah Indonesia. Hutang ini akan digunakan untuk “memperjelas hak-hak atas tanah dan penggunaan tanah secara aktual pada tingkat desa di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran”.
Ini, menurut Isnur, adalah inti dari Reforma Agraria ala Jokowi. Tapi di saat bersamaan, karpet merah bagi perusahaan-perusahaan telah diintensifkan. Berkonsekuensi pada percepatan proses pengadaan lahan bagi korporasi.
"Proses tersebut dapat kita lihat secara nyata dalam Proyek Strategis Nasional. Di kemudian hari, proyek ini melahirkan rantai malapetaka baru bagi masyarakat miskin pedesaan," ujar Isnur.
Pada 25 Juni 2024 lalu, imbuh Isnur, sidang Mahkamah Rakyat memutuskan bahwa rezim Jokowi telah terbukti berperan aktif sebagai otak intelektual perampasan ruang dan penyingkiran ruang hidup rakyat. Putusan ini bukanlah tanpa dasar.
Isnur menjelaskan, Majelis Hakim Rakyat, memutus gugatan tersebut dengan menelaah secara teliti konflik-konflik agraria di Rempang Eco City, Geothermal Poco Leok, Bandara Kulon Progo, Reklamasi Teluk Jakarta, Eksplorasi Nikel di Wawonii, perampasan hutan Masyarakat Adat Suku Awyu, Penggusuran Tamansari, dan juga Mafia Tanah Dago Elos.
"Di samping konflik agraria tersebut, sederet masalah serupa menggunung selama 4 tahun ke belakang," katanya.
YLBHI mengarsipkan data berdasarkan advokasi LBH-LBH kantor di lapangan terkait konflik-konflik agraria yang berkait kelindan dengan problem ruang berekspresi selama 3 tahun ke belakang. Isnur menyebut, sepanjang 2021-2024 setidaknya terdapat sekitar 290.337 hektare lahan menjadi objek konflik agraria.
"Di Papua, data kasus sepanjang tahun tersebut yang kami advokasi adalah 18.604 hektare," ujar Isnur.
Namun, lanjut Isnur, pihaknya meyakini konflik yang terjadi di lapangan lebih dari itu. Alasannya adalah pihaknya kesulitan mendapatkan informasi secara langsung karena ketatnya militerisasi wilayah-wilayah di Papua yang dibuka untuk kepentingan bisnis ekstraktif maupun proyek strategis milik negara.
Data-data tersebut terdiri dari 58 kasus dengan berbagai macam sektor. Dari keseluruhan kasus yang ditangani, konflik di wilayah perkebunan menempati posisi pertama dengan 21 kasus. Kedua adalah PSN dengan 17 kasus. Ketiga pertambangan dengan menyumbang 6 kasus, kemudian infrastruktur dengan 5 kasus, ruang kota 3 kasus, industri (polusi pabrik) 1 kasus, dan konflik pesisir 1 kasus.
"Sudah menjadi hal yang umum, dalam penyelesaian konflik-konflik agraria, negara dan perusahaan menggunakan pendekatan kekerasan. Baik secara fisik maupun menggunakan instrumen hukum berupa kriminalisasi," ucapnya.
Penggunaan instrumen kriminalisasi, sambung Isnur, bisa dibilang menjadi alat yang ampuh untuk menghancurkan gerakan rakyat dalam konflik agraria. Setidaknya, kata Isnur, dari 18 LBH Kantor di 18 provinsi, terdapat 16 daerah konflik yang dihadapkan dengan pendekatan kriminalisasi. Dari sini, setidaknya 190 orang menjadi korban kriminalisasi.
"Lampung menyumbang jumlah korban kriminalisasi tertinggi dengan 39 orang. Satu di antaranya adalah Direktur LBH Bandar Lampung ketika mengadvokasi warga Malangsari menghadapi mafia tanah," ucapnya.
Menyusul kemudian, imbuhnya, Kepulauan Riau dengan 36 kasus. Proyek Rempang Eco City menyumbangkan 35 korban sendiri dalam konflik agraria di Kepulauan Riau ini. Di Jakarta, 2 korban kriminalisasi dalam konflik ruang kota adalah pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta.
Menurut Isnur, mencoloknya pendekatan kriminalisasi tersebut menunjukkan bahwa negara beserta instrumen hukumnya telah menjadi alat pemilik modal dan elit dalam konflik-konflik agraria. Sehingga, program Reforma Agraria ala rezim Jokowi tidak menyelesaikan problem mendasar konflik agraria di masyarakat. Malah, bersahut dengan ambisi Jokowi menarik investasi, konflik agraria berada pada titik nadirnya selama masa rezim Reformasi.
"LBH-YLBHI meyakini bahwa menumpuknya konflik agraria di Indonesia dalam kurun 4 tahun ke belakang adalah hasil dari program Reforma Agraria rezim Jokowi yang disokong oleh hutang," tutur Isnur.
Isnur berpendapat, misi Bank Dunia dan para pemodal dalam pemberian hutang tersebut adalah menciptakan pasar tanah yang jelas setiap jengkalnya dimiliki dan/atau dikuasai oleh siapa. Sehingga memudahkan para pemodal untuk mengidentifikasi sasaran tanah untuk ekspansinya.
"Misi komersialisasi tanah yang disambut oleh Rezim Joko Widodo ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960," ujarnya.
Hal yang tidak kalah penting dari konflik-konflik agraria tersebut, tambah Isnur, pemerintahan Jokowi telah melakukan pelanggaran HAM Berat. Ia menguraikan, pengusiran paksa petani dari lahan dan tempat tinggalnya, tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan kebijakan hukum dan dijalankan oleh aparat negara ini telah mengandung unsur meluas dan sistematis seperti halnya diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Dengan demikian, pemerintahan Jokowi telah melakukan Impeachable Offence, karena telah melakukan pelanggaran HAM berat," ucap Isnur.
Pernyataan sikap LBH-YLBHI:
- Rezim Joko Widodo telah terbukti tidak pernah menjalankan Reforma Agraria sejati, yaitu menyelesaikan masalah ketimpangan akses lahan di Indonesia selama 10 tahun menjabat.
- Tanah untuk rakyat! Mendesak negara untuk segera menjalankan Reforma Agraria sejati!
- Hentikan kebijakan menggusur dan pengusiran paksa petani dan masyarakat pedesaan dari tanahnya untuk menguntungkan para pemodal!
- Hentikan serangan berupa teror hingga kriminalisasi terhadap pembela HAM dan pejuang agraria.
- Mendesak Komnas HAM untuk segera membentuk tim independen untuk memeriksa pemerintah dan DPR terkait dengan dugaan pelanggaran HAM berat.
- Menuntut DPR menggunakan fungsi pengawasannya untuk melakukan upaya impeachment kepada Presiden Jokowi.
"Kami juga menyerukan kepada seluruh kaum tani, penduduk perkotaan, serta masyarakat tertindas pedesaan lainnya untuk berjuang secara bersama-sama. Jaga dan rebut kembali tanah air! Jaga dan rebut kembali tanah rakyat!" ucap Isnur.