Pengecualian untuk PLTU Captive Hambat Transisi Energi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

PLTU

Minggu, 06 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo dan presiden terpilih, Prabowo Subianto, diharapkan untuk segera melakukan review atau meninjau ulang Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Terutama soal pengecualian pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk industri atau captive.

Hal tersebut disampaikan Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, yang terdiri dari 20 organisasi masyarakat sipil di Pulau Sulawesi dan Jakarta, dalam sebuah surat permohonan penghapusan ketentuan Pasal 3 ayat 4 huruf b dalam Perpres 112/2022, yang diserahkan kepada Menteri Energi Sumber Daya Alam dan Menteri Sekretaris Negara, pada 1 Oktober 2024.

Dalam sebuah keterangan resminya, Koalisi menginginkan agar Presiden Joko Widodo melalui Kementerian ESDM merevisi atau menghapus pasal mengenai pengecualian pembangunan PLTU untuk kepentingan industri pengolahan mineral dalam Perpres tentang Percepatan Pembangunan Energi Baru Terbarukan.

Dinamisator Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, Muhammad Al Amin, menjelaskan bahwa langkah pemerintah saat ini masih sangat jauh untuk mencapai target penurunan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Menurutnya, peraturan presiden ini masih memberi ruang yang sangat lebar bagi swasta untuk membangun PLTU baru untuk kepentingan industri. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak serius dan tidak berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia.

Sejumlah aktivis Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi berfoto usai penyerahan surat permohonan penghapusan Pasal 3 ayat 4 huruf b Perpres 112/2022 ke Kementerian ESDM, 1 Oktober 2024. Foto: Satya Bumi.

“Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Perpres 112/2022 memberikan celah yang signifikan dan membuka ruang yang sangat lebar untuk pembangunan PLTU captive baru. Proporsi PLTU captive dari seluruh kapasitas PLTU batu bara di Indonesia telah mencapai hampir 30%,” kata Amin, Selasa (1/10/2024).

Amin berpendapat, pembangunan PLTU industri yang masif dalam hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik adalah salah satu faktor penghalang terwujudnya transisi menuju energi terbarukan. Selain itu, pengoperasian pabrik smelter dan PLTU Industri di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara telah meningkatkan polusi yang menyebabkan dampak kesehatan yang sangat buruk bagi kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, dan anak-anak.

“Tanpa intervensi serius, emisi CO2 dari PLTU captive diperkirakan akan mencapai 80 Mt per tahun dan terakumulasi hingga 2 Gt antara tahun 2025 hingga 2050. Situasi ini sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar dan akan memperburuk krisis iklim yang terus menelan korban,” kata Amin, yang juga sebagai Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan itu.

Koalisi, kata Amin, telah mengkaji Perpres 112/2022, dan beleid tersebut menunjukkan bahwa Presiden Jokowi tidak serius untuk menghentikan pembangunan PLTU sebagai sumber energi di Indonesia, sebagaimana pidato-pidatonya di forum-forum internasional. Poin pengecualian pada Pasal 3 ayat 4 huruf b menunjukkan keberpihakan Jokowi terhadap PLTU yang semakin memperburuk lingkungan di Indonesia.

Amin berharap Presiden Joko Widodo dan presiden terpilih, Prabowo Subianto, bersedia menghapus ketentuan mengenai pengecualian pembangunan PLTU untuk kepentingan industri yang tertulis di Pasal 3 ayat 4 huruf b, Perpres 112/2022.

Dampak lingkungan dari aktivitas PLTU juga sangat besar dan signifikan. Sunardi dari Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng), menyebut bahwa PLTU captive di Sulteng, di kawasan industri milik PT IMIP dan PT GNI telah menyebabkan perubahan bentang alam dan hilangnya biodiversitas endemik Sulawesi. Bahkan dampaknya sampai mengancam sumber pangan lokal di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.

“Limbah air panas dari PLTU dan aktivitas kapal pengangkut batu bara telah menghancurkan ekosistem laut dan berdampak pada penurunan pendapatan nelayan. Selain itu, menurunkan kualitas kesehatan masyarakat sekitar, khususnya nelayan dan perempuan pesisir,” ujar Sunardi

Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menambahkan, Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Perpres 112/2022 adalah langkah mundur dalam komitmen transisi energi bersih Indonesia. Alih-alih mempercepat peralihan dari energi fosil, justru membuka ruang lebih besar untuk investasi pada energi kotor yang merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat.

“Greenpeace mendesak Kementerian ESDM untuk tetap konsisten dalam memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dan mengutamakan kepentingan lingkungan serta kesehatan publik, bukan kepentingan industri energi fosil,” ucap Bondan.

Sementara itu Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, bilang Perpres 112/2022 yang seharusnya menjadi langkah maju dalam mempercepat transisi energi dan mendorong penghentian PLTU batu bara secara dini, justru menyisakan celah yang mengkhawatirkan.

Pasal 3 ayat 4 huruf b dalam Perpres ini membuka peluang untuk pembangunan PLTU captive baru, yang banyak tersebar di Sulawesi dan Maluku--wilayah yang bukan penghasil batu bara. Ini tidak hanya memperpanjang ketergantungan kita pada energi fosil, tetapi juga meningkatkan emisi polusi melalui proses transportasi batu bara ke daerah-daerah tersebut.

“Kami mendesak pemerintah untuk segera merevisi pasal tersebut dan lebih serius mempertimbangkan kebijakan yang mendukung penggunaan energi terbarukan yang sudah tersedia di wilayah tersebut. Pengembangan energi terbarukan di daerah ini tidak hanya akan mengurangi emisi karbon, tetapi juga mendorong kemandirian energi lokal yang berkelanjutan,” kata Andi.

Direktur Celios, Bhima Yudhistira menjelaskan, upaya pemerintah dalam memberikan izin konstruksi PLTU baru di kawasan industri dalam Perpres 112/2022 bertentangan dengan mengejar industrialisasi yang lebih berkualitas. Menurut Bhima, jika presiden tidak segera mencabut Pasal 3 ayat 4 huruf b pada Perpres 112/2022 maka dikhawatirkan produk industri yang dihasilkan dari kawasan hilirisasi akan bernilai rendah dan sulit masuk dalam rantai pasok di negara maju.

"Masyarakat yang menanggung dampak dari pencemaran udara PLTU juga menurunkan produktivitas kerja, serta mengancam perekonomian lokal jangka panjang,” ucap Bhima.

Untuk diketahui bahwa saat ini, dominasi PLTU captive untuk pengolahan nikel di Sulawesi dan Maluku Utara telah mencapai 77% dari total kapasitas PLTU captive di Indonesia, dengan 88 unit PLTU captive di Sulawesi dan Maluku yang memiliki total kapasitas 17,6 GW.