Penundaan UU EUDR: Banyak Minusnya, Ini Tantangannya

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Selasa, 08 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Rencana penundaan implementasi undang-undang Uni Eropa tentang produk bebas deforestasi dan degradasi lahan (EUDR) mengundang kritik dari kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Penundaan ini dinilai akan memperlambat upaya yang telah dibuat untuk memerangi deforestasi dan kerusakan lingkungan akibat kegiatan industri berbasis lahan. 

Pada 2 Oktober lalu, Komisi Uni Eropa mengumumkan akan mengajukan penundaan EUDR selama 12 bulan. Jika disetujui, aturan yang seharusnya berlaku pada 30 Desember mendatang mundur menjadi 30 Desember 2025 bagi perusahaan dan 30 Juni 2026 bagi usaha mikro dan kecil. Usulan ini dilakukan setelah permintaan berulang dari negara-negara produsen termasuk Indonesia dan Malaysia, dan akan memberi waktu tambahan untuk menyesuaikan diri dengan regulasi tersebut. 

Koalisi CSO untuk EUDR, yang terdiri dari 45 LSM, serikat tani dan buruh perkebunan, masyarakat adat, dan perempuan, mengatakan bahwa menunda regulasi tersebut berpengaruh terhadap upaya mendorong perbaikan tata kelola di sektor komoditas di Indonesia. Indonesia memiliki lima dari tujuh komoditas yang diatur Uni Eropa yaitu kayu, sawit, kakao, kopi, dan karet. 

Secara khusus, merugikan kelompok petani dan membuka potensi kehilangan tutupan hutan. “Penundaan ini adalah hal yang buruk, karena tiga unsur EUDR itu krusial dalam perbaikan, yaitu anti-deforestasi, ketelusuran, dan legalitas. Ini yang bisa mendorong tata kelola komoditas apapun di Indonesia,” kata direktur eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, dalam diskusi media di Jakarta, Senin, 7 Oktober 2024. 

Seorang petani sawit swadaya di sebuah desa di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, mengumpulkan tandan buah segar dari kebunnya. Foto: SIAR Nusantara

EUDR berupaya melarang impor tujuh komoditas yaitu kopi, kakao, kedelai, daging sapi, minyak sawit, karet, dan kayu dan turunan tertentunya yang terkait dengan deforestasi atau degradasi hutan untuk memasuki atau diperdagangkan di pasar Eropa. Aturan ini kemudian dinilai dapat memaksa percepatan-percepatan tata kelola komoditas di negara produsen seperti Indonesia. 

“Maka, jika ditunda, tidak ada lagi faktor eksternal yang mendorong atau memaksa bisnis di Indonesia memperbaiki dirinya. Kami sangat menyayangkan hal tersebut,” ujarnya. 

Menurut Andi, implementasi EUDR sesuai rencana awal dapat mencegah deforestasi seluas 17,1 juta hektare hutan alam yang telah dibebani izin di Indonesia. Di antaranya, terdapat 2,6 juta hektare komoditas sawit. 

“Bayangkan, apa yang dapat terjadi dalam 12 bulan masa penundaan tersebut? Berapa banyak hutan Indonesia yang akan hilang?” katanya.  

“Ekspansi sawit saat ini semakin masif ke wilayah timur Indonesia, yaitu Papua. Jadi idealnya, ketika EUDR diterapkan penuh pada Januari 2025, dia mencegah deforestasi karena ada syarat ketelusuran, due dilligence bagi para supplier di Indonesia untuk menyuplai sawit dan komoditas lainnya ke Uni Eropa, ketika dia terbukti berasal dari deforestasi maka dia akan kena sanksi,” kata Andi. 

Pengampanye senior Kaoem Telapak, Denny Bathara, turut menyayangkan rencana penundaan tersebut. Menurutnya regulasi EUDR dapat menjadi momentum perbaikan tata kelola negara-negara produsen komoditas berbasis lahan, termasuk Indonesia. 

“Secara umum kita melihat EUDR bisa menjadi batu loncatan perbaikan tata kelola di Indonesia. Karena saat ini berbagai sektor komoditas bisa dibilang masih memiliki permasalahan terkait hak, konflik sosial, dan lingkungan,” katanya. 

“Artinya, penundaan ini opsi yang kurang bijak karena akan melemahkan proses-proses perbaikan yang sudah terjadi katanya. Hal ini termasuk penguatan sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk sawit dan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk produk kayu. 

Meskipun ada isu penundaan, Koalisi CSO untuk EUDR mendesak agar pemerintah Indonesia mempercepat langkah-langkah konkret untuk mempersiapkan implementasi EUDR, termasuk penguatan tata kelola kehutanan dan komoditas berkelanjutan, penegakan hukum, serta meningkatkan transparansi dan ketelusuran. Pemerintah juga harus memperhatikan dan membangun sistem tata kelola komoditas yang selama kurang mendapat perhatian seperti karet, kakao, dan kopi. 

Menurut Koalisi, upaya ini penting karena tuntutan pasar global yang terus meningkat dan komitmen Indonesia dalam mengatasi krisis iklim. 

Petani muda, bertani kopi di Desa Ibun, Kamojang. Berjuang untuk keadilan ruang dan keadilan ekologi

Petani swadaya dirugikan

Penundaan implementasi EUDR juga turut berdampak terhadap petani sawit swadaya di Indonesia, menurut Marselinus Andry, kepala departemen advokasi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Menurutnya saat ini sebagian petani swadaya telah siap untuk mengikuti mekanisme EUDR, terutama yang telah melakukan penguatan data dan pemetaan kebun sejak 2015. Menurutnya upaya ini dirintis agar proses legalitas, ketelusuran, dan komitmen nol-deforestasi dapat dengan mudah dilakukan. 

“Sebagian petani sudah melakukan persiapan untuk EUDR, misal data poligon dan titik koordinat. Ini yang harus diprioritaskan,” katanya. 

“Jadi kami sangat menyayangkan prosesnya jika ditunda. Karena petani sudah mengeluarkan biaya dan tenaga, lalu dirugikan peluangnya untuk mendapat nilai lebih dari penerapan EUDR. Tinggal bagaimana menyiapkan instrumen teknis dan membangun sistem ketelusurannya,” ujarnya. 

Andry menilai, EUDR turut mengakomodir petani sawit swadaya dalam rantai pasok ke Uni Eropa, sehingga diharapkan dapat memperbaiki harga yang adil di level petani. 

Di sisi lain, Andry menilai EUDR belum mengatur kesiapan petani dan mekanisme pembiayaan operasional agar petani bisa memenuhi EUDR. Namun, regulasi tersebut juga memberikan kewajiban bagi operator dan perusahaan pemasok untuk memberikan fasilitas dukungan pelatihan, terutama dukungan teknis untuk memenuhi kepatuhan EUDR. 

Andry mengatakan masih ada waktu bagi pemerintah Indonesia maupun Uni Eropa untuk mendorong percepatan mekanisme dalam EUDR yang membantu petani swadaya. 

“Uni Eropa harus fokus membuat regulasi atau pedoman agar operator dan perusahaan betul-betul memastikan pelibatan petani di dalam rantai pasok. Ini sangat penting agar petani mendapatkan manfaat dari penerapan EUDR, termasuk sistem dukungan dan pembiayaannya,” katanya. 

Perbaikan tata kelola mendesak

Manajer kampanye hutan dan perkebunan besar Walhi Nasional, Uli Artha Siagian, menilai penundaan implementasi EUDR tidak boleh menjadi alasan bagi pemerintah untuk menunda tata kelola perizinan komoditas. Menurutnya saat ini masih banyak pekerjaan. 

Sebagai contoh, sebagian besar tanaman kopi saat ini diatur dalam kawasan hutan negara. Berdasarkan data Walhi Nasional, dari luas 1,3 juta hektare, hanya 7% atau sekitar 91.000 hektare yang mendapat pengakuan dan akses legal melalui SK Perhutanan Sosial. 

Sementara itu hasil audit sawit menunjukkan bahwa hanya 10 juta hektare yang memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) dari total 18 juta hektare Izin Usaha Perkebunan yang ada di Indonesia. Sisanya, 8 juta hektare tidak memiliki izin. 

Meski demikian, Uli mengatakan saat ini pemerintah Indonesia tidak banyak melakukan upaya untuk menyesuaikan dengan persyaratan EUDR, selain protes dan negosiasi. “Hal ini berbeda dengan Malaysia, yang turut protes dengan Indonesia, namun pada saat bersamaan, Malaysia juga memperbaiki tata kelola mereka agar kompatibel dengan EUDR,” kata Uli. 

Sebelumnya pemerintah tengah mengembangkan dasbor nasional, untuk data dan informasi komoditas berkelanjutan untuk memenuhi persyaratan EUDR, yang ditargetkan selesai Agustus 2024 lalu. Menurut Uli, platform ini nantinya akan menarik  data dari berbagai platform milik pemerintah, tanpa verifikasi terlebih dulu.  

“Ini menjadi ruang yang sangat rentan,” kata Uli. “Selain itu yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah bagaimana terus mendorong penegakan hukum terhadap korporasi yang tidak sepadan dengan EUDR, misalnya terkait legalitasnya. Saat ini ada 3 juta hektare sawit dalam kawasan hutan. Jika pemerintah Indonesia mau memperbaiki tata kelola sawit, harusnya ditindak, bukan diputihkan,” kata Uli.  

Menurut Uli, saat ini Indonesia belum menunjukkan itikad baik untuk pengakuan hak dan legalitas petani. “Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mempercepat penyelesaian konflik dan perbaikan tata kelola sawit, ada atau tidak EUDR,” katanya.