Di Gunung Tilu, Fahrul Menyemai Asa Pohon Langka

Penulis : Aryo Bhawono

Sosok

Kamis, 10 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Sepi karena Covid-19 mendorong Fahrul Shobarudin Syahban meraih ransel dan melenggang ke hutan di belakang rumahnya, Desa Cimara, Kecamatan Cibeureum, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Di ranselnya ia sudah membawa serta bekal ala kadarnya, cukup untuk bertahan dua hingga tiga hari di dalam hutan. Tujuannya di sana simpel saja: mencari burung rangkong badak (Buceros rhinoceros). 

Kala itu, medio 2019, anak muda kelahiran 2 November 2000 ini tengah kuliah tahun kedua di Fakultas Kehutanan, Universitas Kuningan. Pembatasan aktivitas karena Covid-19 mendorongnya untuk cuti dari membuka diktat kuliah dan banting setir menjadi pengamat burung. Ia pun bolak-balik masuk keluar hutan, mungkin sesering ia masuk ke kamar tidurnya.

Lalu, “Ketika monitoring burung di dalam (hutan) itu, saya menjumpai pohon-pohon langka ternyata tumbuh di sana. Jadi mulailah saya mencari tahu pohon-pohon itu,” ujarnya pada akhir September lalu, ihwal awal mula penyelamatan pohon-pohon langka di Gunung Tilu. 

Gunung Tilu, yang sebagian wilayahnya berada dalam pengelolaan Perhutani, adalah kawasan pegunungan yang berada di dua desa di Kabupaten Kuningan. Selain ada di desanya, sebagian kawasan juga berada di Desa Jabranti,  Kecamatan Karangkancana.

Fahrul Shobarudin Syahban tengah menenteng kamera saat melakukan monitoring. Foto: Dok Pribadi

Di balik Gunung Tilu, ada Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap. Keduanya di Provinsi Jawa Tengah. Jadi, Gunung Tilu adalah pagar alam kedua provinsi.

Seperti namanya, Gunung Tilu punya tiga puncak. “Tilu”, bahasa sunda, artinya “tiga”. Puncak pertama yang sekaligus menjadi nama kawasan adalah Gunung Tilu. Ketinggiannya 1.076 meter di atas permukaan laut (mdpl). Puncak kedua adalah Sukmana, di barat laut puncak Gunung Tilu, ketinggiannya 1.154 mdpl. Puncak ketiga di timur laut adalah Citambelang, setinggi 1.112 mdpl.

Konon tutupan hutan Gunung Tilu yang paling rapat setelah Taman Nasional Gunung Ciremai di Kuningan-Majalengka. Dari hutannya yang lebat mengular banyak anak-anak sungai yang kemudian menjadi sungai-sungai besar di wilayah itu. Misalnya Sungai Citaal dan Cijangkelok di Desa Jabranti dan Desa Cimara.

Menurut survei Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kuningan dengan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) Bogor pada 2006, hutan Gunung Tilu adalah rumah bagi lebih dari 52 jenis tumbuhan, 83 burung, dan berbagai mamalia, dari trenggiling hingga macan tutul.

Survei yang sama mencatat terdapat 15 jenis herpetofauna mulai dari bangkong serasah, bancet hingga percil Jawa. Namun angka keragaman herpetofauna ini sudah diperbaharui, menjadi 37 jenis, terdiri dari 15 spesies amfibi dan 22 reptil (Jurnal Biosfer, Juni 2024).

Bukan gunung berapi (sebenarnya ini hanya pegunungan), kontur kawasan Gunung Tilu memiliki banyak perbukitan curam. Beberapa bagiannya, terutama di bagian wilayah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, bahkan sangat curam. Karena itu Gunung Tilu terkenal susah dijelajahi. Saking susahnya, diyakini masih ada bagian dari hutan ini yang belum terjamah.

Fahrul mengatakan, ketika ia mencari burung, ia biasanya bermalam di saung batas desa dengan hutan. Ia kadang-kadang pergi sendiri, kadang mengajak rekannya. Dari saung yang dijadikan basecamp itu, mereka menentukan jalur-jalur yang akan dimasuki.

Jalur yang dipilih bukan yang termudah dilalui. Bukan begitu aturan mainnya, karena target mereka bukan mencapai sebuah lokasi. Yang sedang dilakukan adalah mengamati burung, wabilkhusus lokasi rangkong badak bersarang. Jadi, jalur dibuat berupa transek. Ini adalah  garis atau jalur yang dibuat untuk keperluan survei persebaran atau pengamatan makhluk hidup di suatu area. Jadi, kalau di depan ada tebing, tebing itu sebisa mungkin diterabas.

“Sekali masuk biasanya cuma beberapa kilometer saja, sekitar tiga sampai empat kilometer, karena track-nya sulit. Menempuh satu kilometer saja butuh waktu tiga jam jalan kaki,” kata Fahrul.

Ketika memonitor burung itu, Fahrul menemukan berbagai pohon langka, tepatnya pohon “yang diduga langka”. Maklumlah, pada mulanya kepalanya lebih banyak berisi daftar burung, sementara daftar koleksi pohon langka masih melompong. Kala itu, segala pohon yang tak pernah ia temui sebelumnya, atau sangat jarang ditemui, akan dimasukkan sebagai suspect. Pohon-pohon itu dicatat dan difoto. 

Ketika sampai di rumah, ia baru mencari informasi soal pohon itu. Jika pohon yang ia dokumentasikan memang langka, ia gembira dan sedih, atau sedih tapi gembira. Sedih karena pohon itu terancam punah. Gembira karena ada kesempatan untuk melindunginya.

Ia ingat pohon langka pertama yang ia temukan adalah palahlar/keruing gunung (⁠Dipterocarpus retusus). International Union for Conservation of Nature (IUCN) mendudukkan pohon ini dalam status terancam (vulnerable). 

Pohon langka lainnya yang ia dokumentasikan pada awal-awal menjelajah hutan adalah saninten atau rambutan hutan (Castanopsis argentea). Meski menurut beberapa sumber keberadaan pohon ini di Gunung Tilu dominan, namun statusnya menurut IUCN hampir punah (Endangered Spesies).

Maka, pohon ini tak boleh ikut-ikutan terancam punah di Gunung Tilu. Soalnya, pohon yang tumbuh di dataran tinggi dengan batang bulat dan lurus  ini merupakan lumbung pangan bagi aneka burung maupun mamalia. Pohon dari suku meranti ini hampir semua bagiannya bermanfaat. Bunga dan kulitnya misalnya menjadi bahan obat-obatan. 

Masalahnya, pembalak liar juga mengincarnya. Batang kayunya tergolong awet sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi dan sering dipakai untuk membuat bangunan rumah hingga perahu.

Fahrul juga menemukan pohon dari famili ⁠Dipterocarpus yang lain, yakni palahlar/keruing bunga (Dipterocarpus hasselti), keruing keladan (Dipterocarpus gracilis), dan resak brebes (Vatica javanica subsp. Javanica). Ketiganya memiliki karakter yang hampir sama sebagai tanaman bernilai ekonomi tinggi dan memiliki fungsi obat-obatan.  

Keruing bunga kini berstatus genting (endangered), sedangkan keruing keladan dan resak brebes berstatus terancam punah (critically endangered).

Fahrul bercerita, identifikasi tanaman semakin mudah setelah ia membuka komunikasi melalui media sosial. Via platform itu ia terhubung dengan pegiat, peneliti, ataupun akademisi yang memiliki perhatian terhadap pohon-pohon langka. Di antaranya dengan para pegiat di Forum Pohon Langka Indonesia. Mereka, ujarnya, sangat terbuka membantu identifikasi hasil dokumentasinya menjelajah Hutan Gunung Tilu.    

Empat tahun berselang, ketekunannya membuahkan hasil inventarisasi pada 1.500 hektare kawasan Hutan Gunung Tilu. Ia mencatat setidaknya ada 200 titik tempat tumbuhnya pohon-pohon langka di luasan tersebut, termasuk ke perbatasan Jawa Tengah di balik Gunung Tilu. Pada kawasan hutan yang berbatasan dengan Brebes, ujarnya, ia menemukan pohon langka di 28 titik. “Ini survei mandiri yang saya lakukan sejak 2019 sampai 2024,” kata dia. 

Peta monitoring mandiri pohon langka yang dilakukan Fahrul Shobarudin Syahban di Hutan Gunung Tilu. Data: Fahrul Shobarudin Syahban

Mencintai hutan setelah datang bencana

Perhatian Fahrul terhadap Gunung Tilu bermula dari bencana longsor di desanya pada 2017. Waktu itu tanah longsor menyapu sekitar 10 hektare kawasan desa. Satu RT (Rukun Tetangga) harus direlokasi karena tanahnya tak lagi bisa dihuni. 

Ia menduga, biang bencana itu adalah perambahan hutan Gunung Tilu, tepat di perbukitan curam di atas desanya. Pohon yang menahan tanah di sana ditebangi warga untuk berbagai hal, seperti membuka kebun kopi hingga diambil kayunya. Akibatnya tanah tak lagi dapat menahan laju air ketika hujan deras. Lantas datanglah bencana itu. 

“Mereka yang membuka hutan itu berasal dari berbagai desa. Padahal hutan itu memiliki fungsi lindung,” ucapnya.

Selepas SMA, ia pun memilih kuliah kehutanan. Diktat-diktat kuliah kemudian memberinya bekal untuk melakukan kegiatan konservasi. Itu tadi, dimulai dari mengamati burung, lalu mangkal di pohon langka. 

Tentu saja kegiatannya tak hanya mencatat pohon langka dan burung. Hutan Gunung Tilu terlalu kaya akan plasma nutfah, sehingga yang ia lihat, dengar, dan cium, tak mungkin bisa diabaaikan. Walhasil, ia pun melakukan monitoring macan tutul. Setidaknya, hingga kini, ia telah merekam lima macan kumbang jawa (Panthera pardus melas), empat bermotif  tutul dan satu berwarna hitam. “Saya pernah berpapasan secara tak sengaja. Sama-sama lari menjauh,” kata dia.

Ia mengatakan, kucing besar tersebut sejauh ini tak menyerang ternak warga. Penyebabnya karena hutan masih menyediakan pakan yang cukup. "Tetapi, sebenarnya penampakan mereka di pinggir desa pada musim-musim tertentu juga sudah sering terjadi,” kata dia. Ada nada khawatir pada suaranya.   

Terlibat konservasi pohon langka

Jejaring perkenalannya, terutama dengan Forum Pohon Langka Indonesia, membuat ia semakin aktif terlibat dalam konservasi pohon langka. Bahwa pohon-pohon ini pada kenyataannya tidak mudah dibudidayakan, tidak membikin ia risau.

Padahal, pohon-pohon ini sudah memberinya tantangan sedari masih berupa bakal bibit. Pohon-pohon ini hanya mau berkecambah pada musim tertentu, yakni ketika buah jatuh. “Dan jika buah yang jatuh ke tanah sebelumnya sudah dimakan ulat, buah itu tak dapat tumbuh sebagai bibit baru,” kata dia.

Toh, bibit-bibit itu masih ada yang bagus untuk dikonservasi. Yang dibutuhkan hanya “menunggu-memungut-memeriksa” dengan sabar—dan, untungnya, sabar adalah nama tengahnya, Shobarudin. Upaya konservasi ini dilakukan bekerjasama dengan karang taruna, universitas, dan pegiat lainnya. 

“Kami mencoba kemarin, dua ratus biji kami semai, sebanyak 125 bibit tumbuh,” kata dia.

Kini, mereka tengah memantau pertumbuhan bibit itu. Setidaknya masih butuh “6 hingga 7 bulan tanpa masalah” agar hasil penyemaian siap tanam. “Hasil monitoring sementara ada pertambahan tinggi satu hingga dua sentimeter,” kata dia. Jelas ini kabar bagus.*/**

Liputan ini merupakan kolaborasi Program Biodiversity Warrior KEHATI dengan Betahita.id.