Aksi Nasional Masyarakat Adat
Penulis : Aryo Bhawono
Masyarakat Adat
Minggu, 13 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Ribuan masyarakat adat menggelar aksi di Jakarta dan berbagai daerah pada Jumat lalu (11/10/2024). Aksi ini merupakan buntut kekecewaan atas mangkraknya Rancangan UU Masyarakat Adat bertahun-tahun. Selama ini pula mereka selalu dalam ancaman perampasan lahan.
Masyarakat adat ini tergabung dalam aksi Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) di gedung DPR RI dan Istana Negara pada Jum’at, 11 Oktober 2024. Mereka datang dari berbagai daerah dan dikoordinasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Pengurus Harian Wilayah AMAN Bengkulu memberangkatkan 550 orang. Ketua Pelaksana Harian Wilayah AMAN Bengkulu, Fahmi Arisandi, menyatakan peserta aksi ini merupakan utusan Masyarakat Adat dari 68 komunitas adat di Bengkulu.
"Hasil pendataan dari komunitas, ada 550 Masyarakat Adat yang ikut aksi GERAK MASA ke Jakarta,” kata Fahmi seperti dikutipd ari website AMAN.
Jeki Efriasi, salah seorang Masyarakat Adat dari komunitas Lagan Besak, Kabupaten Tana Serawai di Seluma, Bengkulu, menyebutkan ikut serta dalam aksi ini atas kemauan sendiri. Menurutnya sudah saatnya masyarakat adat turun ke jalan menuntut hak. Ia kecewa karena pemerintah tak kunjung mensahkan Undang-Undang Masyarakat Adat.
“Semoga saja aksi kami bisa menjadi pengingat bagi pemerintahan yang baru untuk mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat,” kata dia.
Selain Masyarakat Adat dari Bengkulu, Masyarakat Adat Talang Mamak dari Riau juga hadir ke Jakarta. Mereka berangkat dari Riau ke Jakarta naik bus.
Perwakilan Masyarakat Adat dari Kalimantan Barat juga mengirimkan 40 orang perwakilan. Bobpi Kaliyono dari OKK AMAN Kalimantan Barat menyatakan peserta aksi yang diberangkatkan ke Jakarta ini merupakan perwakilan Masyarakat Adat yang saat ini sedang menghadapi berbagai persoalan di komunitasnya masing-masing.
Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul memberangkatkan 2000 anggotanya. Iwan Kastiwan, salah seorang Pengurus Daerah AMAN Banten Kidul, menyebutkan sebelum berangkat komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan beserta para tetua adat melakukan ritual di tempat masing-masing.
“Ritual ini dilakukan agar tujuan dari aksi bisa terwujud serta Masyarakat Adat yang mengikuti aksi bisa selamat sampai tujuan dan kembali ke rumah masing-masing tetap dalam keadaan sehat walafiat,” katanya.
Bertahun penantian RUU Masyarakat Adat
Pembahasan RUU Masyarakat Adat sudah berlangsung bertahun-tahun. Data pemberitaan menyebutkan AMAN mengajukan draf rancangan ini pada 2009. Baru pada 2013, RUU Masyarakat Adat diusulkan oleh PDIP dan masuk sebagai program legislasi nasional (prolegnas) pada tahun berikutnya.
RUU ini sempat memasuki pembahasan melalui Pansus RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat namun kandas hingga akhir periode DPR kala itu, tahun 2014.
RUU Masyarakat Adat kembali mengemuka ketika Fraksi Partai Nasional Demokrat mengusulkannya ke Prolegnas 2017. Tahun berikutnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR menyelesaikan draf RUU Masyarakat Adat dan disampaikan ke Presiden Joko Widodo.
Presiden menerbitkan Surat Presiden (Surpres) tentang pembentukan tim pemerintah untuk membahas RUU Masyarakat Adat bersama DPR. Lembaga pemerintah yang ditunjuk adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian ATR/ BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Desa/ Pembangunan Desa Tertinggal (PDT), dan Kementerian Hukum dan HAM.
Daftar Inventarisasi masalah telah diselesaikan dan diserahkan kepada Kementerian Sekretariat Negara. Namun tak ada tindak lanjut dari kementerian itu hingga periode DPR 2014-2019 berakhir dan tak ada pembahasan lebih lanjut.
Upaya hukum juga dilakukan AMAN melalui gugatan di PTUN Jakarta atas mandeknya pembahasan ini. Namun gugatan ini kandas setelah Hakim ketua PTUN Jakarta, Dewi Cahyati, menolak gugatan dalam putusannya.
Ketiadaan perlindungan hukum ini mendudukkan masyarakat adat dalam posisi terancam. Data AMAN menyebutkan terdapat 301 kasus perampasan tanah adat, dan terbanyak pada rentang 2019- 2023. Kasus paling banyak terjadi ketika masyarakat adat bersentuhan dengan pertambangan, baik panas bumi maupun mineral seperti nikel.
Luas perampasan lahan mencapai 8,5 hektare dan setidaknya 672 masyarakat adat dikriminalisasi karena mempertahankan tanahnya.