Tuntut Sanksi Adat, Malah Dipolisikan: Dayak Kualan x Mayawana
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Rabu, 16 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Tarsisius Fendy dan Ricky Prasetya Mainaiki, masyarakat adat Dayak Kualan, harus berurusan dengan polisi karena dituduh memeras oleh PT Mayawana Persada (MP), perusahaan perkebunan kayu di Kalimantan Barat (Kalbar). Padahal, yang dilakukan masyarakat adat hanya menuntut pemenuhan sanksi adat kepada PT MP yang sebelumnya disepakati oleh kedua belah pihak atas perusakan kebun yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
“Pemanggilan terhadap saudara Fendy dan Ricky sebagai saksi merupakan upaya kriminalisasi yang sistematis dan pembungkaman demokrasi di pedesaan dalam menegakkan pelaksanaan hukum adat sanksi adat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh PT Mayawana Persada, bukanlah tindak pidana pemerasan,” kata Ahmad Syukri, Ketua Lingkar Advokasi dan Riset (Link-AR) Kalbar, dalam sebuah rilis, Selasa (15/10/2024).
Kronologisnya, pada 3 Desember 2023, masyarakat adat Dayak Kualan di Dusun Lelayang dan Dusun Sabar Bubu, Desa Kualan Hilir serta sebagian masyarakat Selimbung Desa Sekucing Kualan, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, melakukan pemasangan portal (mandoh adat) untuk menghentikan aktivitas perusahaan di tanah sengketa di wilayah Dusun Lelayang dan Dusun Sabar Bubu.
Hal ini dipicu oleh penggusuran lahan yang dilakukan perusahaan tanpa pemberitahuan kepada masyarakat dan pembakaran pondok ladang milik masyarakat Lelayang. Setelah bernegosiasi, pihak perusahaan bersepakat untuk membayar dan melakukan penyelesaian adat.
Perusahaan bersedia dan berjanji ikut serta dalam upacara penyelesaian adat pada 5 Desember 2023 di Dusun Sabar Bubu. Perusahaan bahkan telah menyerahkan uang untuk keperluan penyelenggaraan upacara. Namun pada tanggal yang dijanjikan, perwakilan perusahaan tidak hadir.
Kemudian, pada 14 Januari 2024, Kepolisian Resor Ketapang memanggil Fendy, kepala adat Dusun Lelayang, dan Ricky untuk memberikan klarifikasi atas dugaan adanya tindak pidana pemerasan, ancaman, dan tindakan kekerasan dalam Pasal 368 KUHP atau Pasal 335 KUHP atau pasal 333 KUHP. Pada 16 Januari 2024, Fendy dan Riki menanggapi panggilan tersebut dan memberikan klarifikasi atas aksi demonstrasi dan negosiasi adat yang terjadi pada 3 Desember 2023 kepada kepolisian.
Setelah lama tidak ada kabar lanjutan, Kepolisian tiba-tiba melakukan pemanggilan pertama kepada Fendy dan Ricky sebagai saksi pada 30 September 2024. Fendy dan Ricky tidak menghadiri panggilan tersebut. Terakhir, Fendy dan Ricky kembali mendapatkan surat panggilan kedua sebagai saksi pada 10 Oktober, yang meminta kehadiran mereka sebagai saksi pada 15 Oktober.
Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menyebut kriminalisasi ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Anggi berpendapat, masyarakat adat hanya menjaga aset dan ruang hidup mereka yang dikaveling oleh negara sebagai kawasan hutan dan konsesi PT MP.
"Tidak ada pilihan selain menghentikan kasus kriminalisasi masyarakat adat di Kalbar. DPR RI dan Pemerintah harus segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang menjadi bagian mandat rakyat. Negara harus melindungi dan mengakui hak-hak masyarakat adat sebagai bagian entitas warga negara Republik Indonesia yang tak terpisahkan,” ujar Anggi.
Kasus Fendi dan Ricky ini merupakan langkah kriminalisasi terbaru terhadap masyarakat adat Dayak Kualan. Sebelumnya, PT MP telah melakukan rangkaian kriminalisasi setidaknya sejak 2021, ketika masyarakat Dayak Kualan mulai menjadi korban deforestasi dan penggusuran akibat aktivitas perusahaan.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, mengatakan upaya kriminalisasi terhadap Fendy dan Ricky ini melengkapi derita yang telah diterima masyarakat Dayak Kualan, setelah tanahnya digusur, bukit keramatnya dirampas, masyarakatnya dipecah belah, dan kini pemimpin mereka ditarget untuk menjadi pelaku kriminal dengan tuduhan yang mengada-ada.
"Perusahaan penyebab deforestasi terbesar di Indonesia ini harus mencabut laporan Polisi, menghormati masyarakat adat dan memulihkan kerusakan lingkungan yang telah diperbuatnya,” ucap Andi.
Masyarakat adat Dayak Kualan, lanjut Andi, termasuk dalam kelompok pembela HAM lingkungan hidup yang tidak dapat dikriminalisasi sesuai regulasi yang dimiliki Indonesia, seperti Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) dan yang terbaru Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 10 Tahun 2024.
“Kasus ini dapat menjadi kesempatan bagi kepolisian untuk segera menerapkan Permen LHK tersebut dan memberi keadilan bagi para pembela HAM Lingkungan Hidup,” ujarnya.
Mayawana Persada merupakan perusahaan yang sebelumnya dikuasai oleh Sumitomo Group yang selanjutnya beralih ke Alas Kusuma Group melalui PT Suka Jaya Makmur dan Harjohn Timber. Dalam perkembangannya pada akhir 2022, 50 persen saham PT SJM beralih ke Green Ascend (M) Sdn Bhd--perusahan yang berkedudukan di Malaysia, dan pemilik saham tunggalnya atas nama Green Ascend Group Limited tercatat di British Virgin Island.
Perusahaan perkebunan kayu ini telah melakukan deforestasi seluas 35.000 hektare di kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi, yang juga merupakan habitat orangutan dan lahan gambut. Bahkan, sekitar 89.410 hektare dari 136.710 hektare luasan konsesi PT MP atau 65 persen wilayah konsesinya secara resmi diakui sebagai habitat orangutan.
Juru Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza, mengatakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Dayak Kualan sebenarnya adalah buntut dari kesalahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam penataan batas kawasan hutan. Proses yang tidak transparan, tanpa melibatkan masyarakat, juga kebijakan-kebijakan perizinan yang cenderung memihak korporasi menjadi akar dari masalah yang mirisnya berujung kriminalisasi masyarakat.
"KLHK harus memperbaiki tata kelolanya, terutama terkait penetapan kawasan hutan, yang seharusnya memprioritaskan masyarakat yang telah ada terlebih dahulu," ucap Amalya.
Ketua Pelaksana Harian Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, Tono, menilai negara seharusnya bertanggung jawab penuh dan tidak abai menyelesaikan akar permasalahan atas perampasan wilayah adat yang merupakan ruang hidup masyarakat adat Dayak Kualan. Menurutnya, pendekatan secara pemidanaan dalam menyikapi permasalahan tersebut merupakan sesuatu hal yang sangat tidak bermartabat.
"Karena seharusnya pihak PT MP, serta pihak Kepolisian Resor Ketapang menghormati ketentuan hukum adat serta praktek-praktek peradilan adat di komunitas,“ kata Tono.
Kasus ini, imbuh Tono, menambah daftar panjang korban ketidakadilan yang dialami komunitas masyarakat adat ketika mempertahankan wilayah adat yang merupakan titipan leluhur mereka. Selain sebagai cara untuk mematahkan perjuangan warga di komunitas, lanjutnya, upaya kriminalisasi ini juga patut diduga merupakan bentuk konspirasi untuk menguasai sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah adat masyarakat adat Dayak Kualan.
Koalisi masyarakat sipil menganggap, masyarakat adat Dayak Kualan mengandalkan hutan untuk mata pencaharian, namun kini terancam kehilangan sumber penghidupannya. Akses mereka kepada hutan yang secara generational telah mereka kelola dibatasi, kebun mereka beberapa kali dirampas. sementara situs adat yang disakralkan juga dirusak, seperti Tanah Colap Torun Pusaka Bukit Sabar Bubu.
Menurut koalisi, deforestasi dan rusaknya ekosistem gambut juga mengakibatkan banjir berkepanjangan yang semakin mengganggu aktivitas warga bahkan berpotensi melahirkan bencana banjir dan kebakaran hutan dan lahan yang lebih parah di kemudian hari.
Untuk diketahui, pada April lalu, perwakilan masyarakat adat telah datang ke Jakarta dan mengadukan pelanggaran yang dilakukan perusahaan ini. Sebagai respon, KLHK menerbitkan surat penghentian aktivitas penebangan logged over area (LOA), sekaligus memerintahkan perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan. Namun hingga kini, belum ada indikasi aktivitas pemulihan lingkungan oleh pihak PT MP.