Demi Penyu Tak Hilang dari Raja Ampat
Penulis : Firda Puri, PAPUA
Satwa
Selasa, 22 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Ferdiel Ballamu kerap menghela napas panjang ketika menceritakan kondisi penyu di Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Jelas sekali jika ia merasa risau; tapi siapa yang tidak?
Populasi penyu di Raja Ampat, ujarnya, kondisinya kini kritis. Penyebabnya: perilaku masyarakat, selain perubahan iklim. “Saat ini kondisi sarang [peneluran penyu] makin berkurang,” katanya pada awal September 2024.
Pendiri Yayasan Penyu Papua (YPP) itu mengungkapkan, penurunan populasi penyu di Raja Ampat berlangsung sejak 7 tahun lalu, sejak 2017. Padahal, sebelumnya, populasi penyu sempat meningkat pesat. “Kita waktu di awal tahun 2007-2016 perkembangan luar biasa, populasi meningkat luar biasa. Awalnya ratusan sarang, di 2016 mencapai 4 sampai 5 ribu sarang. Berkat edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat,” ujar Ferdiel.
Ia menengarai, turunnya populasi penyu itu disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, perburuan penyu dan telurnya yang kembali marak. Menurut dia, masyarakat di sekitar pantai peneluran Pulau Piai dan Pulau Ayau, Raja Ampat, kembali ke kebiasaan turun temurun, yakni mengonsumsi telur penyu. Ada pula yang menjual penyunya, soalnya harganya tinggi, hingga Rp 2 juta per ekor.
Kedua, aktivitas nelayan di sekitar lokasi peneluran. “Ada keramaian juga, pariwisata sudah mulai terkenal, terutama juga perikanan, banyak nelayan yang memancing di sore hari ke malam hari di perairan sekitar Piai dan Ayau,” katanya.
Pulau Piai merupakan pulau terluar di utara Raja Ampat, sementara Ayau juga di utara Raja Ampat dan selatan Kepulauan Asia. Sebenarnya di Raja Ampat banyak pantai yang menjadi tempat peneluran penyu, tapi kedua pulau menjadi lokasi peneluran utama karena memiliki ukuran pantai cukup luas, sehingga intensitas peneluran tergolong tinggi.
Setidaknya ada empat spesies penyu yang bertelur di sana: Penyu Belimbing (Dermochelys Coriacea), Penyu Hijau (Chelonia Mydas), Penyu Sisik (eretmochelys imbricata), dan Penyu Lekang (lepidochelys olivacea). Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) Penyu Lekang, Penyu Belimbing, dan Penyu Tempayan dalam status rentan punah (vulnerable).
Dengan begitu, di satu sisi penyu perlu dilestarikan, tetapi di sisi lain, ada kebutuhan ekonomi dan kebiasaan masyarakat yang perlu diakomodasi. Menurut Ferdiel, YPP didirikan pada 2003 berangkat dari kondisi ini. “Awalnya kepedulian kami adalah terhadap lingkungan secara umum di Raja Ampat. Namun, dalam perjalanannya ada satu momen di mana kami menemukan penyu sangat marak dimanfaatkan di Raja Ampat. Padahal, di sana itu ada punya potensi pantai peneluran yang cukup produktif,” kata Ferdiel. Karena itulah, mereka mendirikan YPP yang fokus pada dua program, yakni pengamanan habitat peneluran dan edukasi serta sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga penyu dari kepunahan.
YPP lalu mendapat bantuan pendanaan dari sejumlah lembaga donor untuk mengembangkan pelatihan kepada masyarakat, khususnya mengenai pemanfaatan potensi sumber daya alam (SDA) dan pariwisata. Ini klop dengan niat YPP yang ingin menjaga kelestarian penyu tanpa harus mematikan sumber pendapatan masyarakat. “Bagaimana masyarakat itu menjaga penyu secara berkelanjutan, dan ada manfaat imbal balik yang bisa mereka nikmati juga. Kita berharap penyu dan keanekaragaman hayati ini bisa memberikan nilai ekonomi dalam bentuk pariwisata atau sejenisnya,” ujar dia.
Salah satu dukungan pendanaan itu datang dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) melalui Blue Abadi Fund (BAF) yang disokong sejumlah donor internasional. Ini adalah program dana perwalian yang dikembangkan demi menyediakan arus pendanaan jangka panjang yang aman dan stabil guna menjamin kelestarian ekosistem Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) dan spesies di dalamnya. Pendanaan disalurkan lewat kegiatan perlindungan dan pengelolaan berkelanjutan oleh institusi lokal. BAF ini merupakan program KEHATI untuk ekosistem kelautan.
Statistik Penyu Raja Ampat dalam Laporan Blue Abadi Fund, Achievements 2017-2020
Diketahui, Bentang Laut Kepala Burung berada di Provinsi Papua Barat dan sebagian Provinsi Papua, terbentang lebih dari 22 juta hektare meliputi Teluk Cenderawasih, Raja Ampat, hingga ke Kabupaten Fakfak dan Kaimana. Mengacu Laporan BAF 2019, wilayah perairan BLKB adalah habitat bagi penyu laut dan mamalia laut yang terancam punah.
“Sejak diluncurkan tahun 2017, dukungan BAF kepada organisasi-organisasi lokal Papua Barat telah menghasilkan pencapaian-pencapaian signifikan di seluruh BLKB,” kata Gellwynn Jusuf, Chairman Governance Committee BAF, dalam Laporan BAF 2016-2021.
Pada Maret 2019, KEHATI yang merupakan administrator dana BAF menyalurkan pendanaan siklus kedua total mencapai Rp 25,2 miliar kepada 20 lembaga lokal di Papua Barat, termasuk YPP, bersama Yayasan Misool Baseftin (YMB), Yayasan Nasareth Papua (YNP), dan Yayasan Raja Ampat Sea Centre.
“Program-program siklus kedua ini dapat memberi landasan tercapainya rencana strategis BAF pada lima tahun pertama serta tujuan jangka panjang ke depan,” kata Direktur Eksekutif KEHATI, Riki Frindos, dalam sambutan acara penyerahan BAF Siklus Kedua di Swiss Belhotel Sorong, Kamis, 21 Maret 2019.
Ferdiel mengatakan, YPP mendapat bantuan dari Yayasan KEHATI dalam bentuk dana hibah periode 2023-2024 sejumlah Rp 2,21 miliar, selain bantuan teknis dalam bentuk pelatihan administrasi dan program. Bantuan ini, katanya, sangat bermanfaat dalam upaya pelestarian alam, khususnya perlindungan terhadap spesies penyu yang terancam punah di Raja Ampat.
Menurut Ferdiel, ke depan YPP punya sejumlah rencana untuk melestarikan penyu Raja Ampat. Salah satunya melalui pendidikan lingkungan hidup yang menyasar pelajar yang ada di sana. Edukasi mengenai pentingnya pelestarian penyu perlu dilakukan sejak dini untuk memutus rantai pemanfaatan penyu sebagai bahan konsumsi. “Jadi untuk anak-anak dari SD sampai SMA kita adakan kegiatan pendidikan lingkungan hidup. Tujuannya memutus mata rantai kebiasaan mengkonsumsi penyu," ujarnya.
"Bagi generasi tua konsumsi ini tidak bisa lagi diubah, karena sudah jadi kebiasaan turun temurun. Jadi satu-satunya cara adalah dengan memutus itu. Jadi, strategi peningkatan populasi dan pelestarian [penyu] ada dua, satu proteksi tempat seketat mungkin, dan memutus kebiasaan jangan sampai diturunkan ke generasi berikutnya,” lanjut dia.
Tantangan Lain Pelestarian Penyu
Selain tradisi menjadikan penyu sebagai bahan konsumsi, YPP juga menghadapi tantangan lain dari sisi implementasi aturan pelestarian penyu. Kebijakan pemerintah melalui peraturan perlindungan hewan sebenarnya sudah ada dan mengikat, tapi penegakannya di lapangan masih jauh dari harapan.
Beberapa peraturan yang melindungi penyu yakni UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, dan Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor 526 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu, Telur, Bagian Tubuh dan/atau Produk Turunannya.
“Aturannya sudah ada. Tapi, sekali lagi, masalahnya adalah komitmen penegasan terhadap pelaku-pelaku pelanggaran kurang berjalan. Pemerintah baik pusat dan daerah sebenarnya mendukung, hanya implementasinya yang terkendala,” kata Ferdiel.
Kerja sama dengan masyarakat adat setempat pun telah dilakukan, di mana mereka memberlakukan peraturan adat terkait perlindungan penyu. Namun lagi-lagi, hal ini masih terganjal masalah yang sama.
“Kalau di masyarakat, mereka sebenarnya punya aturan adat, tapi perangkat hukum, perangkat adatnya ini yang lemah, sehingga tidak ada yang menjalankan dan memutuskan walau sudah ada aturan yang jelas.”
Menurut Ferdiel, saat ini yang terus dilakukan adalah monitoring. Mengacu Laporan Akhir Kegiatan YPP-Conservation International Indonesia Juli-November 2021, program-program YPP sudah tampak hasilnya. Misalnya, pada 2021 jumlah sarang penyu melesat 93% menjadi 2.957 sarang dari 2020.
Jumlah sarang penyu hijau terlindungi di Pulau Piai pada Juli-November 2021 juga mencapai 1.322 sarang dengan rata-rata keberhasilan penetasan sarang/telur mencapai 92,09%. Rata-rata tukik (anak penyu) yang berhasil keluar (kemunculan) juga sebanyak 89,10% atau produksi tukik dari total sarang periode itu mencapai 122.326 tukik. Sebelumnya, mengacu Laporan BAF Achievements 2017-2020, Siklus 2, sarang penyu hijau naik 116% mencapai 3.189.
Secara umum, dari berbagai pengalamannya melestarikan penyu, Ferdiel mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya manusia tidak bisa terpisah dari alam. Tugas menjaga keseimbangan alam, baik ekosistem darat maupun laut, ada di pundak setiap manusia.
Selain itu, dibutuhkan kekompakan di antara berbagai pihak menuju pada visi pelestarian alam yang sama. “Karena ini sifatnya untuk kepentingan bersama, maka semua pihak sudah harus terlibat karena semua akan merasakan hal yang sama. Mau tidak mau harus gerakan bersama,” katanya.
Hal itu kian krusial belakangan ini, karena ada hal menakutkan yang tak bisa dihindari: pemanasan global. Menurut Ferdiel, pada akhirnya pemanasan global akan membuat keseimbangan alam berubah dan mungkin menhyeret penyu ke kepunahan.
“Sekarang walaupun berbagai upaya kita lakukan, setiap hari ada ada spesies yang hilang. Tugas kita sekarang adalah bagaimana mempertahankan agar kepunahan ini tidak terlalu cepat,” ujar Ferdiel.
Upaya dalam ‘menahan’ kepunahan penyu tentu perlu dilakukan. Bukan untuk kepentingan ekosistem laut di Raja Ampat saja, melainkan juga meliputi wilayah yang lebih luas.
“Sebenarnya kalau kita mau serius, ini semua makhluk hidup kan punya fungsi penting di alam sebagai penyeimbang ekosistem. Jadi kalau kita mau betul-betul serius untuk menjaga lingkungan yang aman seimbang nyaman, maka mau tidak mau tidak ada pilihan lain selain bagaimana kita bisa ikut melestarikan makhluk hidup yang lain.”
Penyu Raja Ampat (Sumber: Blue Abadi Fund)