Nasib Lingkungan di Tangan Menteri Baru

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Selasa, 22 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) jadi salah satu "korban" formasi kabinet super gemuk pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang dipecah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan. Masyarakat sipil ragu, sosok-sosok yang ditunjuk memimpin dua kementerian teknis itu mampu membuat perubahan progresif yang signifikan terhadap kelestarian lingkungan hidup maupun transisi energi terbarukan.

Nama Hanif Faisol Murofiq misalnya, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang ditunjuk sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Menurut Satya Bumi, kendati bukan orang baru dalam bidang lingkungan hidup, namun terdapat sejumlah tantangan yang menanti sang menteri, terutama dalam memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi melalui sektor pertambangan dan industri tidak merusak kelestarian lingkungan.

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, berpendapat penunjukan Hanif Faisol sebagai Menteri Lingkungan Hidup menimbulkan kekhawatiran bahwa masa depan kebijakan lingkungan hidup Indonesia akan jalan di tempat.

“Hal ini didasari oleh kebijakan ekonomi pemerintah yang cenderung masih berfokus pada pemanfaatan sumber daya alam secara agresif, terutama di sektor pertambangan, dan food estate,” kata Andi, Senin (21/10/2024).

PT Mayawana Persada diduga terus melakukan pembukaan lahan gambut serta hutan alam yang menjadi habitat orang utan di Kalimantan Barat. Dok Istimewa

Sebab, lanjut Andi, dalam pidato pelantikannya, Presiden Prabowo mengonfirmasi bahwa Indonesia akan melanjutkan hilirisasi nikel dan mendorong proyek food estate. Hal ini akan mengorbankan jutaan hektare hutan, mengancam hak asasi masyarakat, dan memperburuk upaya menekan angka pelepasan emisi karbon dioksida (CO2) ke atmosfer.

Adapun Raja Juli Antoni, yang ditunjuk sebagai Menteri Kehutanan, juga tidak lepas dari tantangan dalam upaya perlindungan hutan. Sejak 2023, satu tahun terakhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, hutan alam Indonesia telah terdeforestasi seluas 1,40 juta hektare. Padahal mulai 2017, terjadi tren penurunan deforestasi yang berlanjut hingga 2022.

Namun, dalam waktu setahun saja yaitu pada 2023, deforestasi kembali meningkat sebesar 58,19%. Alih fungsi hutan ini, baik hutan tropis maupun mangrove, menjadi lahan perkebunan sawit, tambang, bahkan food estate, meningkatkan pelepasan emisi karbon sebesar 655 juta ton emisi CO2.

Andi melanjutkan, rezim sebelumnya juga telah mengubah kebijakan FOLU Net Sink, yakni menaikkan batas maksimal deforestasi hingga dua kali lipat menjadi 10,47 juta hektare. Hal ini tentu berpotensi meningkatkan luasan deforestasi hutan di Indonesia.

Kehadiran proyek-proyek besar di wilayah ekosistem hutan, lanjut Andi, juga memberikan dampak buruk pada keanekaragaman hayati. Sebut saja tambang emas, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara, yang mengancam kehidupan orangutan tapanuli. Kemudian perkebunan kayu PT Mayawana Persada yang membuka lahan di kawasan gambut dan habitat orangutan kalimantan di Kalimantan Barat.

“Peningkatan deforestasi yang terjadi pada 2023 menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjaga tren penurunan yang terjadi pada 2017 hingga 2022. Proyek-proyek besar seperti perkebunan sawit, pertambangan, bahkan food estate justru akan mempercepat kerusakan hutan, serta merusak ekosistem hutan yang seharusnya dilindungi, menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak cukup efektif untuk menghentikan kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati,” ucap Andi.

Penunjukan kembali Bahlil

Sinyal lain dari kekhawatiran ini tentunya adalah penunjukan kembali Bahlil Lahadalia sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Bahlil dikenal sebagai salah satu arsitek utama kebijakan hilirisasi nikel.

Ekspansi hilirisasi nikel di Indonesia, imbuh Andi, selama beberapa tahun terakhir telah memicu kritik dari berbagai kalangan terkait kerusakan lingkungan, deforestasi, dan pencemaran air akibat limbah tambang. Belum lagi industri nikel di Sulawesi yang beraktivitas di kawasan tinggi keanekaragaman hayati (Key Biodiversity Area) dan hutan dengan stok karbon yang tinggi (High Carbon Stock). Operasi tambang nikel di Indonesia telah mengakibatkan deforestasi hingga 78.948 hektare sejak 2014.

"Bahlil dan pemerintah sebelumnya sudah menunjukkan ambisi kuat dalam mempercepat hilirisasi, khususnya dalam menghadapi persaingan global untuk memenuhi kebutuhan industri baterai kendaraan listrik. Ambisi ini bahkan diamplifikasi beberapa kali dalam pernyataan Gibran saat debat cawapres," kata Andi.

Sayangnya, sambung Andi, tanpa mempertimbangkan dampak ekologis yang memadai. Kebijakan eksploitasi besar-besaran terhadap cadangan mineral yang dimiliki Indonesia, seperti nikel, kobalt, dan lainnya, diperkirakan akan terus berlanjut. Akibatnya, tantangan lingkungan yang dihadapi Indonesia, mulai dari degradasi lahan, polusi, hingga hilangnya keanekaragaman hayati, mungkin akan tetap sulit teratasi.

Menurut Andi, tiga kementerian ini juga harus bersinergi dalam upaya mencapai Net Zero Emission. Indonesia telah menetapkan target dalam mitigasi perubahan iklim sesuai perjanjian iklim internasional (Paris Agreement).

"Di bawah kabinet ini, meskipun akan ada beberapa inisiatif hijau, tampaknya kebijakan ekonomi pragmatis yang mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam akan lebih mendominasi. Dengan hilirisasi yang dijadikan motor ekonomi, isu lingkungan kemungkinan besar hanya akan ditangani sebagai masalah teknis yang memerlukan mitigasi minimal, bukan sebagai prioritas yang mendesak," ujar Andi.