Pemerintah Indonesia Tolak Badan Permanen Masyarakat Adat: COP 16

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Jumat, 25 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Delegasi pemerintah dari hampir 200 negara berkumpul di Cali, Kolombia, untuk menghadiri Konferensi Para Pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati atau Conference of the Parties (COP) to the Convention on Biological Diversity (CBD) ke-16. Di sana mereka merundingkan upaya penghentian dan membalikkan kerusakan alam dan punahnya keanekaragaman hayati.

Organisasi masyarakat sipil Indonesia yang juga hadir di sana menyerukan kepada pemerintah yang sedang berunding serta komunitas global untuk mendukung agenda mengenai hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal (IP&LC). Masyarakat sipil juga mendesak pemerintah untuk menghentikan penyebab hilangnya keanekaragaman hayati di Indonesia.

Organisasi masyarakat sipil menganggap penghormatan terhadap hak masyarakat adat dan komunitas lokal menempati peran penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu. Sementara itu, pada COP 16 CBD, masyarakat adat mendorong negara-negara yang hadir untuk memastikan pengakuan penuh atas kontribusi Masyarakat Adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati di dunia.

Selain itu mereka juga mendorong ditetapkannya pembentukan badan permanen (subsidiary body) yang mengikat khusus Article 8j soal pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati. Namun, delegasi pemerintah Indonesia menolak pendirian subsidiary body tersebut. Padahal, kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk mencapai target KM-GBF sangat besar.

Conference of the Parties (COP) to the Convention on Biological Diversity (CBD) ke-16 digelar di Cali, Kolombia 21 Oktober-1 November 2024. Foto: Convention on Biological Diversity.

"Penolakan Indonesia terhadap pembentukan subsidiary body pada Article 8j tentang pengetahuan, inovasi, dan praktik-praktik tradisional adalah sebuah kemunduran," kata Cindy Julianty dari WGII (Working Group on Indigenous and Local Communities-Conserved Areas and Territories Indonesia), dalam sebuah rilis, Kamis (24/10/2024).

Cindy menyebut, pembicaraan terkait upaya mempermanenkan working group on Article 8j sudah dilakukan sejak 20 tahun lalu untuk memastikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional, juga inovasi dan praktik yang dilakukan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pemanfaatan dan perlindungan sumber daya genetik.

"Pasca-komitmen KM-GBF, adanya kerangka kerja dan pembentukan subsidiary body dapat memastikan terukur dan terjaminnya dimensi keadilan dan sosial dari implementasi KM-GBF," ujarnya.

Menurut data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), saat ini wilayah adat di Indonesia yang telah terpetakan sudah mencapai 30,1 juta hektare. Namun 16 persen dari wilayah tersebut telah mendapat pengakuan secara hukum.

“Menjamin hak penguasaan tanah masyarakat adat adalah hal yang terpenting jika kita ingin melindungi keanekaragaman hayati yang masih tersisa,” kata Kasmita Widodo, Kepala BRWA.

Sebaran registrasi nasional dan potensi ICCAs di Indonesia.

Masyarakat sipil menganggap menjamin dan melindungi wilayah masyarakat adat dan kawasan konservasi akan membantu Indonesia mencapai target 30x30 (perlindungan 30 persen area keanekaragaman hayati di daratan dan lautan pada 2030). Menurut data terbaru dari WGII, terdapat lebih dari 22 juta hektare lahan yang dikelola dan dilindungi dengan pengetahuan tradisional yang dapat berkontribusi untuk mencapai tujuan konservasi KM-GBF.

Analisis peta registrasi dan indikatif ICCAs dengan kawasan ekosistem penting, key biodiversity areas dan sebaran keanekaragaman hayati.

Aksi segera untuk hentikan penyebab hilangnya keanekaragaman hayati

Saat ini, keanekaragaman hayati Indonesia terancam oleh aktivitas industri-industri ekstraktif seperti pertambangan, eksploitasi dan penebangan hutan, pertanian skala besar, dan berbagai proyek strategis nasional. Izin-izin ekstraktif di Indonesia telah menguasai lebih dari 100 juta hektare daratan dan lautan di Indonesia (55,5 juta hektare di daratan dan 45,4 juta hektare di lautan).

Hadirnya industri-industri, yang juga didorong permintaan dan kebutuhan global seperti batu bara, minyak sawit, kayu, dan nikel, telah menyebabkan deforestasi besar-besaran dan kerusakan habitat. Pidato Presiden Prabowo dalam pelantikannya pada 20 Oktober lalu telah menargetkan swasembada pangan dalam 4-5 tahun dengan mengandalkan food estate.

Saat ini sedang berlangsung pengembangan program food estate di beberapa provinsi, di antaranya di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara,  dan Papua Selatan dengan target luas lebih dari 2 juta hektare. Program food estate tersebut telah mengakibatkan kehancuran ekosistem keanekaragaman hayati dan wilayah adat, budaya serta kearifan lokal masyarakat adat.

Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia menyatakan bahwa komitmen terhadap perlindungan keanekaragaman hayati harus ditunjukkan dengan aksi nyata dengan mengurangi secara signifikan aktivitas-aktivitas industri ekstraktif yang membahayakan keanekaragaman hayati di Indonesia seperti nikel, sawit, food estate, HPH, HTI, Pertambangan, dan lain sebagainya.

“Saat ini, ada lebih dari 1 juta hektare industri ekstraktif di kawasan konservasi. Selain itu, ada juga 20,5 juta hektare industri ekstraktif berada dalam area ekosistem penting seperti koridor satwa, taman kehati, dan area biodiversitas penting,” tutur Ogy.

Sebaran izin pemanfaatan sumber daya alam skala besar di Indonesia. Sumber: FWI

Keanekaragaman hayati laut Indonesia juga perlu dilindungi segera. Saat ini, jutaan hektare wilayah laut Indonesia dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat pesisir. Hal ini berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan pencapaian Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP), khususnya dalam upaya melindungi 30% area laut Indonesia.

Rayhan Dudayev dari Greenpeace, berpendapat, dalam agenda keanekaragaman hayati laut dan pesisir serta pulau-pulau, Indonesia perlu mendukung teks yang memastikan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, akses terhadap keadilan dan informasi, serta perlindungan bagi pembela hak asasi manusia dan lingkungan, masyarakat adat, dan komunitas lokal, dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia.

“Selain itu, akan sangat strategis jika Indonesia mendukung Annex 2(g) untuk meningkatkan pemahaman tentang dampak pengasaman laut dan tekanan lainnya terhadap ekosistem pulau, yang sangat relevan bagi negara kita sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia,” ujarnya.

Spesies yang terancam punah dalam bahaya. Sumber: Auriga Nusantara.

Dukung pendanaan langsung bagi masyarakat adat dan komunitas lokal

Masyarakat adat dipercaya sebagai salah satu kekuatan dunia yang berperan penting menahan perubahan iklim dan punahnya keanekaragaman hayati. Namun, mekanisme keuangan yang ada saat ini belum memadai sehingga masyarakat adat yang melindungi keanekaragaman hayati tidak memiliki sumber daya yang memadai.

Oleh karenanya, organisasi masyarakat sipil Indonesia menyerukan dibentuknya mekanisme pendanaan langsung untuk menyalurkan dukungan kepada masyarakat adat, nelayan skala kecil, petani, dan masyarakat lokal, tanpa bergantung pada solusi berbasis pasar yang berisiko seperti kredit dan offset keanekaragaman hayati.

“Kita memerlukan sistem pendanaan yang transparan dan akuntabel, yang dapat diakses langsung oleh masyarakat adat untuk melanjutkan pekerjaan konservasi penting kami,” kata Eustobio Rero Renggi, juru bicara dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.

Sayangnya, delegasi Pemerintah Indonesia dalam COP 16 CBD tidak menghendaki adanya pendanaan langsung yang dapat diakses oleh masyarakat adat dan komunitas lokal. Pada COP 16 CBD waktu setempat, delegasi Pemerintah Indonesia menyampaikan pernyataan yang mendukung pemerintah India terkait tidak diperlukannya “pendanaan langsung” bagi masyarakat adat.

Selain itu, delegasi Pemerintah Indonesia juga bersepakat dengan pernyataan Pemerintah Brazil, bahwa dukungan pendanaan langsung tersebut harus bisa masuk melalui otoritas nasional (pemerintah), sehingga perlu disesuaikan dengan kebutuhan (kepentingan) nasional. Eustobio menyesalkan sikap delegasi pemerintah Indonesia dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk menarik pernyataan tersebut.

Suku Awyu dan Moi sedang mengelar doa dan ritual adat di depan Kantor Mahkamah Agung, Jakarta Pusat 27  Mei 2024. Foto: Greenpeace Indonesia 

“Kami atas nama masyarakat adat menyesalkan sikap dan pernyataan delegasi Pemerintah Indonesia yang telah mengabaikan hak-hak konstitusional kami sebagai penyandang hak utama yang telah menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati secara turun temurun, jauh sebelum adanya negara,” kata Eustobio.

Lebih lanjut, Eustobio menyarankan kepada delegasi Pemerintah Indonesia untuk menyepakati usulan dari mayoritas negara-negara yang menghendaki adanya pendanaan langsung tersebut. Mayoritas negara-negara seperti Meksiko, Namibia, Swiss, bahkan Uni Eropa, dan yang lain telah berkomitmen untuk mendukung adanya pendanaan langsung.

"Seharusnya, Pemerintah Indonesia bisa mengambil contoh yang baik untuk mendukung komitmen kepada masyarakat adat seperti yang terjadi di negara-negara lain, apalagi 60 persen populasi masyarakat adat terbesar ada di Asia, dan salah satunya Indonesia,” ucap Eustobio.