Besok Sidang ke-13 Kriminalisasi Petani Pakel x PT Bumisari

Penulis : Wahyu AO, JAWA TIMUR

Pejuang Lingkungan

Selasa, 29 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kriminalisasi terhadap Muhriyono (59), petani di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi, terus berlanjut. Besok, Rabu (30/10/2024), Muhriyono akan menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi.

Muhriyono yang memperjuangkan hak atas tanah itu didakwa dengan dugaan pengeroyokan kepada M. Sirat alias Rusli, sekuriti PT Bumisari Maju Sukses pada 21 Maret 2024. Ia didakwa dengan pasal 170 ayat (2) dan ayat (1) KUHP serta pasal 351 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Kasus ini terdaftar dalam sidang perkara Nomor 331/Pid.B/2024/PN Banyuwangi.

Besok menjadi sidang ke-13 Muhriyono. Agendanya pemeriksaan terhadapnya. Hakim Ketua dalam sidang itu adalah Kurnia Mustikawati, dengan Hakim Anggota yaitu I Gede Purnadita, S.H dan Jusuf Alwi. Kemudian I Wayan Tunas Lestiana, S.E., S.H sebagai Panitera. Sedangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yaitu Andryawan Perdana Dista Agara dan I Made Endra Arianto Wirawan dan penasihat hukum adalah Ramli Himawan.

Dalam keterangannya, Muhriyono menjelaskan konteks peristiwa pada 21 Maret 2024, bahwa ia sedang mencegah massa PT Bumisari yang menebang tanaman milik petani Pakel.

Muhriyono (59), petani di Desa Pakel, Banyuwangi, dalam persidangan di PN Banyuwangi (Wahyu AO).

“Saya ada di lahan, lalu ketika mendengar ada keributan, saya ke sana. Ada penebangan pisang [milik petani Pakel] oleh sekuriti dan wanita [pekerja PT Bumisari]. Saya menghalau, itu mereka masih maksa nebang,” ujar Muhriyono.   

“Ya saya gak nebang, nanti orangnya yang kena tebang,” Muhriyono menirukan jawaban pekerja PT Bumisari.

Setelah itu, Muhriyono mengambil arit milik pekerja PT Bumisari lalu membuang aritnya. Muhriyono pergi ke lokasi keributan lainnya. Ia juga melihat sekuriti PT Bumisari yang membawa parang. Kemudian, Muhriyono mengambil parang itu lalu membuangnya untuk mencegah sekuriti menebang tanaman milik petani Pakel.

Berdasarkan penjelasan tersebut, Muhriyono menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan pemukulan maupun pengeroyokan. Keterangan Muhriyono juga dibenarkan oleh Susiati, anggota Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP), pada sidang sebelumnya, Rabu (23/10/2024). Sebagai saksi, Susiati, menjelaskan bahwa Muhriyono sedang mencegah sekuriti dan pekerja PT Bumisari yang menebang tanaman milik petani Pakel.

“Waktu itu, pihak kebun dan sekuriti menebangi tanaman warga [Pakel]. Langsung, Pak Muhriyono bilang ‘berhenti’. Tapi tetap [ditebang]. Oleh karena itu, Pak Muhriyono mengambil aritnya, langsung dilempar ke belakang. Habis itu, Pak Muhriyono meninggalkan lokasi,” ujar Susiati.

Pada sidang ke 11 itu, JPU menampilkan video dari pihak PT Bumisari yang merekam dugaan pengeroyokan kepada sekuriti. Susiati menanggapi, bahwa peristiwa dalam video itu berbeda waktu dengan peristiwa Muhriyono mengambil arit. Susiati juga menegaskan tidak ada rekaman yang membuktikan Muhriyono melakukan pemukulan kepada sekuriti.

“Bu Susiati menerangkan bahwa memang pada faktualnya beliau tidak melihat secara langsung pada saat peristiwa pemukulan, karena saat itu memang beliau dalam keadaan bingung. Sehingga fokus perhatiannya tidak terkonsentrasi pada satu titik,” ujar Ramli, penasihat hukum Muhriyono.

“Sehingga itu juga jelas terlihat dalam video, Bu Susiati terlihat mondar-mandir kemudian dengan gerak cepat. Dan itu bisa kami simpulkan bahwa memang beliau pada saat itu benar-benar dalam keadaan bingung,” tambahnya.

Muhriyono, petani Desa pakel diculik polisi saat sedang makan malam dirumahnya, Minggu (9/6/2024). I

Kesaksian Pihak PT Bumisari Tidak Konsisten

Ramli, sebagai Kepala Bidang Agraria Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, menilai bukti dua video dari pihak PT Bumisari terkesan dipaksakan. Video itu merupakan gabungan dari beberapa video atau hasil editan. Video-video itu menjadi pelengkap untuk menyeret Muhriyono ke persidangan.

“Karena memang untuk membawa seorang tersangka ke dalam persidangan itu harus seminimal-minimalnya menggunakan dua alat bukti. Sehingga, dua alat bukti tersebut saya kira terkesan dipaksakan untuk melengkapi saja, sebagai pelengkap-pelengkap saja,” ucap Ramli.

Ramli juga mempertanyakan keterangan saksi dari pihak PT Bumisari yang tidak konsisten untuk menerangkan bahwa Muhriyono melakukan pemukulan. Saksi dari pihak PT Bumisari yaitu M. Sirat alias Rusli (saksi pelapor), Nur Atim, Ahmad Effendi, Karsidi, Sumiadi, dan Hidayatul Rizki. Pada sidang sebelumnya, Rabu (09/10/2024), kesaksian M. Sirat dan Ahmad Effendi dinilai tidak konsisten kemudian beberapa keterangannya dicabut.

“Dalam beberapa kali pemeriksaan itu, ada beberapa keterangan-keterangan yang dicabut dan itu pun diketahui setelah melakukan beberapa pengajuan pertanyaan-pertanyaan. Baik itu dari majelis hakim kemudian dari penasehat hukum juga melihat inkonsistensi keterangan yang disampaikan oleh saksi itu. Sehingga timbul kecurigaan bahwa apa yang disampaikan oleh saksi-saksi tersebut tidak berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dan dialami,” jelas Ramli.

Keterangan saksi pihak PT Bumisari yang tidak konsisten itu awalnya M. Sirat mengaku dipukul oleh Muhriyono. Tapi, setelah ditanya kembali oleh penasihat hukum, M. Sirat mengatakan Muhriyonio hanya mengambil arit lalu pergi. Keterangan M. Sirat terus berubah-ubah dan saling bertolak belakang.

“Itu kan menjadi pertanyaan juga dari kami khususnya penasihat hukum. Apakah benar saksi-saksi ini orang yang melihat langsung peristiwanya? Apakah benar Pak Muhriyono itu sebagai pelaku? Nah karena memang dalam video yang disampaikan dan dipertontonkan di hadapan majelis hakim itu, terdakwa, Pak Muhriyono tidak terlihat melakukan pemukulan,” tegas Ramli.

Ketika ditanya oleh penasehat hukum, saksi atas nama Ahmad Effendi dalam akhir pemeriksaan juga mengakui bahwa keterangan yang disampaikan adalah asumsinya sendiri. Sehingga, hal itu menjadi catatan khusus bagi majelis hakim tentang kredibilitas saksi dan kualitas keterangan yang disampaikan.

“Dia [Ahmad Effendi] gak lihat secara langsung. Kemudian ada dua layer. Yang pertama, dia ndak fokus melihat peristiwa. Kemudian, ada juga penghalang tanaman yang diistilahkan pohon, pohonnya meskipun kecil. Itu menjadi penghalang juga untuk yang melihat secara langsung. Jadi dari dua layer itu, akan menjadi tidak masuk akal ketika dia menerangkan bahwa dia melihat langsung Pak Muhriyono,” terang Ramli.

“Yang pertama dia [Ahmad Effendi] itu [bilang] melihat langsung ‘ya saya melihat langsung’. Kemudian setelah kami gali kembali, keluarlah keterangan bahwa ‘saya tidak fokus pada saat itu saya hanya fokus merekam’. Loh, bagaimana bisa ada dua keterangan yang berbeda? Keterangannya membatalkan keterangannya sendiri,” imbuhnya.

Keterangan yang tidak konsisten dari saksi pihak PT Bumisari menjadi catatan oleh Majelis Hakim. Bahkan, Majelis Hakim memberi peringatan keras kepada M. Sirat agar mengatakan keterangan yang sebenar-benarnya.

“Hakim yang memperingatkan dan mewanti-wanti dengan pasal kesaksian palsu apabila memang pada keterangan saat itu tidak diverifikasi kebenarannya, tidak diluruskan sebenar-benarnya. Hakim memperingatkan keras,” kata Ramli.

Ketidakseriusan Penanganan Konflik Agraria di Pakel

Ramli menilai, kriminalisasi yang dialami Muhriyono merupakan dampak dari ketidakseriusan negara dalam menyelesaikan konflik agraria di Pakel. Sebelumnya, kriminalisasi juga dialami oleh tiga petani Pakel (Suwarno, Untung, dan Mulyadi). Padahal, para petani Pakel sudah melakukan berbagai upaya dalam menyelesaikan konflik agraria. Tapi, pemerintah tidak merespons dengan baik dan serius.

“Selain perkara Trio Pakel yang sebelumnya telah divonis juga akan muncul perkara-perkara baru lainnya yang salah satu di antaranya adalah sekarang ini [kriminalisasi Muhriyono], selama pemerintah nggak serius menangani,” ujar Ramli.

Ramli juga melihat ketidakseriusan pemerintah dalam menangani konflik agraria di Pakel, dengan diterbitkannya surat dari Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial Kabupaten Banyuwangi pada 16 Agustus 2024. Surat nomor 545/901/TIMDU/429.206/2024 itu berisi ‘Penjelasan dan Penegasan Sertifikat HGU PT. Bumi Sari Maju Sukses di Desa Pakel, Kecamatan Licin, Kabupaten Banyuwangi’.

“Kepada Ketua, Pengurus, Anggota Kelompok Rukun Tani Sumberrejo Pakel Kecamatan Licin dan Masyarakat yang tidak memiliki Hak, dilarang melakukan kegiatan, baik mengelola, menguasai, merusak dan apapun bentuknya perbuatan yang melanggar hukum di lokasi Perkebunan PT. Bumi Sari Maju Sukses sebagaimana dimaksud dalam Sertipikat HGU No. 295, 296, 297, dan 298/Banyuwangi,” tulis salah satu poin pernyataan dari tim terpadu.

Menurut Ramli, ada kekeliruan sistem penyelenggaraan negara dalam surat tim terpadu tersebut. Sebab, ada unsur yudikaif yaitu Kepala Pengadilan Negeri Banyuwangi, Dr. I Gede Yuliartha, yang turut membubuhkan tanda tangan dalam surat tim terpadu itu. Padahal, tim terpadu diketuai oleh Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani Azwar Anas, sebagai unsur eksekutif dalam sistem penyelenggaraan negara.

Atas surat tim terpadu ini, LBH Surabaya yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kedaulatan Agraria dan Sumber Daya Alam (TEKAD GARUDA), mengadukan keterlibatan Kepala Pengadilan Negeri Banyuwangi, Dr. I Gede Yuliartha, ke Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI C.q Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung RI.

Dalam surat pengaduan tanggal 08 Oktober 2024 tersebut, TEKAD GARUDA salah satu dasar aduan itu mengacu pada pasal 47 UU Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Menurut pasal 47 itu, pengadilan bukan lembaga yang dikehendaki oleh UU Nomor 7 tahun 2012. Sehingga, seharusnya Pengadilan Negeri Banyuwangi tidak menjadi bagian dari Tim Terpadu.

TEKAD GARUDA menjelaskan, penempatan representasi kekuasaan yudikatif secara  terang-terangan sebagai bagian dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial yang dipimpin oleh Kepala Daerah (Bupati) menyiratkan bahwa Pengadilan Negeri Banyuwangi telah menjadi alat legitimasi  bagi perusahaan, khususnya legitimasi terhadap sertifikat izin Hak Guna Usaha (HGU) PT. Bumisari Maju Sukses.

“Kami sudah surati bahwasanya memang hal tersebut adalah sebuah kekeliruan dalam sistem kenegaraan kita, yang mana yudikatif itu tidak boleh berada di bawah eksekutif. Kan ketua tim terpadu ini bupati, sedangkan ketua pengadilan ini kan dalam ranah yudikatif. Dalam sistem kenegaraan kita, kan yudikatif, eksekutif, dan legislatif itu setara, tidak hirarkis gitu. Nah, ini sebuah kekeliruan dan kembali regresi ke eranya Soeharto,” tandas Ramli.

Petani pakel Muhriyono memeluk anaknya usai sidang ke-12 di PN Banyuwangi, Jumat (25/10/2024)

RALAT. Persidangan besok adalah yang ke-13, bukan 12, seperti ditulis sebelumnya. Mohon maaf atas kesalahan tersebut.