Menolak Pulau Diekstrak, Masyarakat Adat Aru Melawan Hingga Cali
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Masyarakat Adat
Selasa, 29 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Isu pengakuan masyarakat adat dan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di seluruh dunia jadi pembicaraan utama dalam perundingan perlindungan keanekaragaman hayati global atau Convention on Biological Diversity (CBD) COP16, di Cali, Kolombia. Desakan itu juga disuarakan Masyarakat Adat Kepulauan Aru, Maluku, yang menuntut pengakuan dan perlindungan terhadap alam dan keanekaragaman hayati di pulaunya.
Mewakili masyarakat adat Aru, Monika Maritjie Kailey, hadir di COP16 CBD, di Cali, menyuarakan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati di kampungnya yang belakangan dalam ancaman perusakan akibat eksploitasi pemanfaatan hutan. Sementara itu, para pemimpin adat dan pemuda di Pulau Kumareri, Kepulauan Aru, juga mengadakan aksi damai untuk mendukung upaya perlindungan keanekaragaman hayati dunia, terutama di wilayah mereka di Maluku.
Monika Maritjie Kailey mengatakan, masyarakat adat terbukti mampu menjaga sumber daya alam dan keanekaragaman hayati melalui praktik-praktik kearifan lokal dan budaya leluhur.
“Berkali-kali kami berhasil mempertahankan hutan dan laut kami dari ancaman industri ekstraktif yang masuk. Sudah saatnya pemerintah Indonesia dan masyarakat global mengakui peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati dengan memastikan mobilisasi sumber daya yang adil,” kata Monika Maritjie Kailey, dalam sebuah rilis akhir pekan lalu (26/10/2024).
Kepulauan Aru merupakan salah satu area kaya keanekaragaman hayati di Indonesia. Aru memiliki 832 gugus pulau dengan total luas daratan 800 ribu hektare yang dikelilingi 4 juta hektare laut dan selat.
Di dalamnya, terdapat 156 ribu hektare mangrove, 550 ribu hektare hutan tropis dataran rendah, 22 ribu hektare padang savana, 19 ribu hektare padang lamun, dan 53 ribu hektar terumbu karang. Bahkan, 21% potensi perikanan nasional (771.600 ton/tahun) ada di laut Aru. Sayangnya, wilayah Kepulauan Aru tak pernah lepas dari ancaman yang merusak keanekaragaman hayati.
Hal ini karena sebagian besar wilayahnya masuk dalam kategori hutan produksi konversi. Sejak 1970, setidaknya sudah ada empat gelombang izin yang masuk ke Aru, termasuk izin untuk eksploitasi hutan (1970-2000), perkebunan tebu, over-eksploitasi wilayah laut, serta izin IUPHHK-HA (2007-2013), peternakan sapi (2014-2021), dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) karbon dan hutan alam (2022-sekarang).
Sejarah kelam inilah yang mendorong masyarakat Aru untuk terus berjuang mempertahankan sumber daya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang ada di wilayah adat mereka.
Seruan untuk melindungi keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru juga datang dari pemuda-pemuda adat di Kepulauan Aru. Dalam aksi damainya, mereka menuntut komitmen serius pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati di sana. Salah satunya dengan mencabut izin-izin ekstraktif yang akan membahayakan keanekaragaman hayati dan mempercepat implementasi Peraturan Daerah perihal pengakuan hak masyarakat adat.
“Menjadi orang Aru bukan hanya hak, melainkan kewajiban. Sebab menjaga Aru berarti menjaga kehidupan yang di dalamnya hidup manusia Aru. Jadi, aksi hari ini adalah bentuk perjuangan masyarakat adat dan pemuda Aru untuk menolak investasi yang merusak lingkungan Aru dan mendorong pemerintah pusat untuk mencabut segala izin eksploitasi hutan di Kepulauan Aru yang sudah ada,” kata Johan Djamanmona, Koordinator Aksi Damai di Kepulauan Aru.
Dalam COP16 CBD, negosiasi tentang pengakuan terhadap kontribusi masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati berjalan cukup alot. Salah satunya mengenai penghormatan terhadap hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal yang memiliki peran penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu.
Masyarakat Adat di COP16 mendorong negara-negara yang hadir untuk memastikan pengakuan penuh atas kontribusi masyarakat adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati di dunia, serta mendorong ditetapkannya pembentukan badan permanen (subsidiary body) yang mengikat khusus Article 8j terkait pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati.
Namun beberapa negara termasuk perwakilan delegasi Indonesia menolak pendirian subsidiary body tersebut. Padahal, kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal untuk mencapai target KM-GBF sangat besar.
Potret yang ditunjukkan Monika menggarisbawahi peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan dan keanekaragaman hayati yang harus didukung Pemerintah. Tapi, kebijakan terkait perlindungan dan pengelolaan biodiversitas oleh masyarakat ada belum dapat memberikan dampak pada masyarakat adat.
Peneliti dari Perkumpulan HuMa, Bimantara, menilai dua landasan kebijakan di Indonesia untuk melindungi keanekaragaman hayati ini, yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 2023 dan UU Nomor 32 Tahun 2024, belum memenuhi kebutuhan dan hak-hak masyarakat adat. Inpres, katanya, kurang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga sejatinya bentuk aturan yang lebih baik adalah Peraturan Presiden,” ujar
“Ke depan, juga perlu dipertimbangkan revisi terhadap regulasi ini untuk menyesuaikan dengan struktur dan penanggungjawab terhadap kebijakan biodiversitas ini pasca pemerintahan baru,” kata Bimantara, kemarin.
Selain berperan penting dalam menjaga biodiversitas, masyarakat adat juga merupakan kelompok rentan yang terdampak langsung oleh perubahan iklim.
“Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait biodiversitas seperti IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) dan rencana iklim seperti NDC (Nationally Determined Contribution) harus menjunjung tinggi penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat,” ujar Salma Zakiyah, Program Officer Hutan dan Iklim Madani Berkelanjutan.
Catatan sejarah sudah sangat jelas memperlihatkan bahwa yang selama ini melindungi keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru adalah komunitas-komunitas masyarakat adat di sana. Jadi sudah sewajarnya kontribusi masyarakat adat terhadap perlindungan keanekaragaman hayati di wilayahnya diakui secara penuh.
“Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengakui keberadaan masyarakat adat dan kontribusinya terhadap perlindungan sumber daya alam,” ucap Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia.