Ekspansi Nikel akan Naikkan Emisi CO2 Indonesia Jadi 39 Juta Ton
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Polusi
Jumat, 01 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Ekspansi hilirisasi nikel berpotensi menaikkan emisi karbon dioksida (CO2) Indonesia, lantaran masih adanya ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara pada operasi produksi nikel. Demikian menurut laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) berjudul Indonesia's Nickel Companies: The Need for Renewable Energy Amid Increasing Production.
Laporan ini mengungkapkan, rencana kenaikan produksi empat perusahaan nikel besar di Indonesia saja, yakni PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Merdeka Battery Materials (MBMA) Tbk, PT Trimegah Bangun Persada (Harita Nickel) Tbk, dan PT Vale Indonesia Tbk, diprediksi bakal meningkatkan emisi karbon hingga 38,5 juta ton pada 2028.
Empat raksasa perusahaan ini, yang mewakili 26% produksi nikel Indonesia, menghasilkan logam nikel 350 ribu ton pada tahun lalu, dengan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 15 juta ton. Pada tahun yang sama, keempat perusahaan ini meraup laba US$996 juta dan pendapatan US$6,8 miliar. Keempat perusahaan ini berencana menaikkan kapasitas total produksinya menjadi 1,05 juta ton logam nikel pada 2028.
“Seiring perusahaan nikel Indonesia menikmati pertumbuhan laba dan skala bisnisnya, dengan rencana meningkatkan produksi lebih dari dua kali lipat dalam 3-5 tahun ke depan, sudah saatnya dilakukan percepatan transisi dari batu bara,” kata Ghee Peh, penulis laporan dan Analis Keuangan Energi IEEFA, Kamis (24/10/2024).
Saat ini, lanjut Ghee, Antam menghasilkan emisi terbesar dari setiap ton nikel yang diproduksi, yakni 69,9 ton CO2 per ton nikel (tCO2/tNi). Sementara Harita menempati posisi kedua dengan angka emisi 68,4 tCO2/tNi, disusul MBMA 56,9 tCO2/tNi, dan terakhir Vale 28,7 tCO2/tNi.
Tingginya emisi ketiga perusahaan lantaran masih mengandalkan PLTU untuk proses produksinya, sementara Vale telah memiliki PLTA dan pembangkit listrik berbasis biodiesel untuk sumber listriknya. Laporan IEEFA memproyeksikan kenaikan emisi berdasarkan rencana peningkatan kapasitas produksi nikel empat perusahaan. Pertama, jika intensitas emisi GRK keempat perusahaan tidak berubah dari posisi 2023. Kedua, jika perusahaan mengupayakan intensitas emisinya sama dengan Vale.
“Mengacu skenario pertama, total emisi keempat perusahaan itu akan mencapai 38,5 juta ton, setara 4,5% dari total emisi GRK Indonesia tahun lalu sebesar 861,5 juta ton. Sementara pada skenario kedua, jika ketiga perusahaan mampu mencapai intensitas emisi 28,7 tCO2/tNi seperti Vale, total emisi akan berkurang 43% menjadi 22,3 juta ton CO2 pada 2028,” ujar Ghee.
Ghee mengingatkan, tambahan kapasitas 530 ribu ton pada 2028 akan berdampak signifikan pada lingkungan jika perusahaan nikel masih terus bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar fosil. IEEFA memperkirakan dari total kapasitas baru 530 ribu ton, 51% akan berasal dari produksi feronikel beremisi tinggi (sekitar 60 tCO2/tNi), utamanya dilistriki oleh PLTU batu bara.
"Sisanya, 49% akan berasal dari produksi rendah emisi (sekitar 13 tCO2/tNi) melalui presipitat hidroksida campuran (MHP) dengan proses high-pressure acid leach (HPAL) berbasis zat kimia,” ucap Ghee.
Beralih ke energi terbarukan
Laporan IEEFA menyebutkan, intensitas emisi Vale menjadi yang terendah karena tingginya porsi energi terbarukan yang digunakan, yakni mencapai 30,1%, dibandingkan dengan Harita yang hanya 5,3%, MBMA 4,9%, dan Antam 1,2%. Walaupun, Vale masih menggunakan bahan bakar fosil untuk mayoritas smelter dan proses produksinya, sehingga masih menghasilkan emisi.
Selain Vale, hingga saat ini baru Harita yang berencana menggunakan pembangkit listrik energi terbarukan. Harita berencana membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 300 MW pada 2025, yang akan membuat intensitas emisinya setara Vale.
MBMA juga berencana menggunakan PLTS namun tidak merinci kapasitasnya. Sementara Antam baru berencana menghentikan PLTU yang dimilikinya, namun hanya untuk beralih menggunakan listrik dari PT PLN (Persero) dengan sumber pembangkit listrik berbahan bakar gas dan PLTU.
Pemanfaatan energi terbarukan oleh Vale dan Harita menunjukkan bahwa perusahaan nikel Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada PLTU dan memangkas intensitas emisi GRK. Namun, untuk menurunkan intensitas emisi lebih signifikan, perusahaan nikel Indonesia perlu beralih ke energi air, surya, atau energi terbarukan lainnya.
“Perusahaan harus menyeimbangkan manfaat ekonomi dari naiknya ekspor produk hilirisasi nikel dengan dampak lingkungan, dan mengurangi emisi dengan mengganti PLTU dengan energi terbarukan,” tutur Ghee.