Daniel Frits Sepenuhnya Bebas Usai MA Tolak Kasasi Jaksa
Penulis : Kennial Laia
Pejuang Lingkungan
Kamis, 31 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Daniel Frits Tangkilisan, aktivis Karimunjawa yang mengalami kriminalisasi atas kegiatannya membela lingkungan, akhirnya bebas sepenuhnya dari kasus ujaran kebencian. Hal ini menyusul amar putusan Mahkamah Agung yang secara resmi menolak permohonan kasasi jaksa penuntut umum pada Rabu, 30 Oktober 2024.
Organisasi masyarakat sipil menyambut gembira kabar tersebut. Sebelumnya pada April tahun ini, Daniel dihukum bui oleh Pengadilan Negeri Jepara karena aktif memprotes limbah tambak udang ilegal di Taman Nasional Karimunjawa di media sosial. Putusan ini kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Semarang Mei lalu, yang beranggapan semua kasus kriminalisasi terhadap pembela lingkungan hidup harus dihentikan.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengapresiasi putusan majelis hakim yang dipimpin oleh hakim Dwiarso Budi Santiarto tersebut. Lembaga itu menilai, putusan ini dapat menjadi yurisprudensi bagi kasus-kasus kriminalisasi lain yang menjerat aktivis lingkungan hidup, khususnya yang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Hari ini UU ITE terus digunakan untuk mengkriminalisasi pegiat lingkungan hidup dan siapapun yang memperjuangkan hak-haknya. Ini merupakan bentuk strategic litigation against public participation (SLAPP) yang dilancarkan oleh korporasi proksi-proksinya untuk membungkam siapapun yang dianggap sebagai ancaman bagi operasi bisnisnya,” kata Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Hafizh Nabiyyin, Rabu, 30 Oktober 2024.
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra mengatakan, putusan MA tersebut memberikan angin segar bagi para pembela lingkungan hidup. “Bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan lingkungan hidup tidak dapat dipidana dan digugat perdata,” kata Roni.
Dia menilai putusan tersebut juga menjadi bukti pelaksanaan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2023 tentang pedoman mengadili perkara lingkungan hidup. “Mahkamah Agung membenarkan dan menguatkan pertimbangan dari Pengadilan Tinggi, bahwa apa yg dilakukan oleh Daniel untuk kepentingan lingkungan hidup, dan proses hukum yang dijalankan sebagai bentuk SLAPP,” ujarnya.
Perlu peraturan Anti-SLAPP yang lebih kuat
Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menilai putusan ini dapat menjadi landasan kuat bagi masyarakat sipil untuk mendorong pemerintah dan legislator agar membuat peraturan anti-SLAPP yang lebih kuat dan komprehensif.
“Saat ini baru aktivis lingkungan yang dilindungi oleh klausul Anti-SLAPP. Klausul ini terdapat dalam undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Padahal, aktivis-aktivis maupun warga yang memperjuangkan hak-haknya di sektor lain juga memerlukan perlindungan serupa,” ujarnya.
Data yang terbit tahun ini mengungkap bahwa warga maupun aktivis yang aktif membela lingkungan hidup sering mengalami ancaman. Auriga Nusantara mencatat terdapat 133 kasus ancaman terjadi sepanjang 2014-2023. Bentuknya beragam, mulai dari kriminalisasi, intimidasi, dan kekerasan fisik hingga pembunuhan.
Sementara itu laporan Satya Bumi Mei lalu menyoroti keselamatan orang-orang yang memperjuangkan hak asasi manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidup (pembela HAM lingkungan hidup).
Laporan tersebut menemukan, terdapat 39 kasus dengan total 57 serangan dan ancaman, dan lebih dari 1.500 korban individu dan 22 korban kelompok. Bentuknya mulai dari serangan fisik, peretasan, pelecehan seksual, kriminalisasi, dan pembunuhan.
“Putusan MA ini dapat menunjukkan kepada kita semua, bagaimana ketentuan anti-SLAPP dapat menyelamatkan orang-orang yang dikriminalisasi. Kita perlu mendorong ketentuan anti-SLAPP yang lebih komprehensif, yang dapat melindungi siapapun yang berekspresi untuk mempertahankan hak-haknya di hadapan kerakusan korporasi dan abainya negara,” kata Nenden.
Nenden mengatakan proses ini akan panjang. Namun regulasi anti-SLAPP yang kuat penting untuk menjamin perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan partisipasi publik di Indonesia. “Tentu ini bukan perjuangan yang sebentar. Tapi kita tidak akan pernah memiliki ketentuan anti-SLAPP yang komprehensif jika kita tidak memulainya dari sekarang. Apalagi, kebebasan berekspresi yang kita perjuangkan akan segera berhadapan dengan dua peraturan predatorik: UU ITE dan KUHP baru yang akan efektif pada 2026,” katanya.