Kematian Akibat Cuaca Panas 2023 Tembus Rekor: Krisis Iklim
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Minggu, 03 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kematian akibat cuaca panas, kerawanan pangan, dan penyebaran penyakit menular yang disebabkan oleh krisis iklim telah mencapai rekor baru. Temuan ini, yang tercantum dalam laporan kesembilan Lancet Countdown ini terkait kesehatan dan kerusakan iklim, mengungkapkan bahwa masyarakat di seluruh dunia menghadapi ancaman kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat perubahan iklim yang cepat.
Marina Romanello, Direktur Eksekutif Lancet Countdown di University College London, mengatakan inventarisasi mengenai ancaman kesehatan terkait perubahan iklim tahun ini merupakan temuan paling mengkhawatirkan.
“Sekali lagi, tahun lalu perubahan iklim memecahkan rekor dengan gelombang panas ekstrem, kejadian cuaca mematikan, dan kebakaran hutan dahsyat yang berdampak pada manusia di seluruh dunia. Tidak ada individu atau perekonomian di planet ini yang kebal terhadap ancaman kesehatan akibat perubahan iklim,” ujarnya dalam sebuah pernyataan, Kamis, 31 Oktober 2024.
“Peningkatan penggunaan bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca yang memecahkan rekor semakin memperburuk dampak kesehatan yang berbahaya ini, dan mengancam akan membalikkan kemajuan terbatas yang telah dicapai sejauh ini dan semakin menjauhkan masa depan yang sehat,” ujarnya.
Laporan tersebut menemukan bahwa pada 2023, kekeringan ekstrem yang berlangsung setidaknya satu bulan berdampak pada 48% wilayah daratan global. Sementara masyarakat harus menghadapi suhu yang mengancam kesehatan selama 50 hari lebih lama dibandingkan yang diperkirakan tanpa krisis iklim. Akibatnya, 151 juta lebih orang menghadapi kerawanan pangan tingkat sedang atau parah, sehingga berisiko mengalami kekurangan gizi dan gangguan kesehatan lainnya.
Kematian akibat cuaca panas di kalangan penduduk berusia di atas 65 tahun melonjak sebesar 167% pada 2023, dibandingkan dengan 1990-an. Tanpa krisis iklim, populasi global yang menua berarti kematian akan meningkat, namun hanya sebesar 65%. Suhu tinggi juga menyebabkan hilangnya waktu tidur sebesar 6% lebih banyak pada 2023 dibandingkan rata-rata pada tahun 1986–2005. Kurang tidur mempunyai dampak negatif yang besar terhadap kesehatan fisik dan mental.
Cuaca yang lebih panas dan kering menyebabkan lebih banyak badai pasir dan debu, yang berkontribusi pada peningkatan 31% jumlah orang yang terpapar konsentrasi partikel yang sangat tinggi, sementara penyakit yang mengancam jiwa seperti demam berdarah, malaria, dan virus West Nile terus menyebar ke daerah baru karena suhu yang lebih tinggi.
Meskipun demikian, para penulis laporan menemukan bahwa “pemerintah dan perusahaan terus berinvestasi pada bahan bakar fosil, yang mengakibatkan tingginya emisi gas rumah kaca dan hilangnya pohon dalam jumlah besar, sehingga mengurangi peluang kelangsungan hidup manusia di seluruh dunia.”
Pada 2023, emisi karbon dioksida terkait energi global mencapai titik tertinggi sepanjang masa, 1,1% dibandingkan tahun 2022, dan proporsi bahan bakar fosil dalam sistem energi global meningkat untuk pertama kalinya dalam satu dekade pada 2021, mencapai 80,3% dari seluruh jenis energi.
Menanggapi temuan ini, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan “Krisis iklim adalah krisis kesehatan. Ketika bumi memanas, frekuensi dan intensitas bencana terkait iklim meningkat, sehingga tidak ada wilayah yang tidak tersentuh.”
“Laporan ini memperjelas perubahan iklim bukanlah ancaman jangka panjang, namun merupakan risiko langsung terhadap kesehatan,” kata Ghebreyesus.