Tambang PT Timah Ancam Ekologi Laut Batu Beriga

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekologi

Minggu, 03 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kondisi ekologis di Kepulauan Bangka Belitung (Babel) terus mengalami degradasi kronis setiap tahun, dan industri pertambangan adalah salah satu kontributor utama kerusakan lingkungan di sana. Bahkan perairan laut Batu Beriga, yang dianggap punya nilai konservasi tinggi, juga tengah berada dalam ancaman aktivitas tambang timah.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Babel, ekses negatif industri tambang di Babel tampak sangat jelas di lapangan. Meski para pemegang izin pertambangan, baik di darat dan laut, berkewajiban melakukan pemulihan bekas tambang, tapi janji pemulihan ini selalu “jauh api dari panggang”. Karena, temuan-temuan terkait kondisi ekologis di Babel tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan.

Walhi Babel menemukan, luasan terumbu karang di Babel yang sebelumnya mencapai 82.259,84 hektare pada 2015, hanya tersisa 12.474,54 hektare saja berdasarkan analisis citra satelit pada 2017. Selain itu, mangrove telah hilang seluas 240.467,98 hektare dari data awal berjumlah 273.692,81 hektare.

Implikasinya, ekosistem laut yang terganggu mengakibatkan hilangnya mikrobiologi, organisme, dan sumber daya laut lainnya. Temuan di darat memperlihatkan kondisi kronis yang sama. Berdasarkan laporan IKPLHD pada 2021, hasil inventarisasi data kolong tambang oleh BPDASHL Baturusa-Cerucuk pada 2018, terdapat 12.607 kolong dengan total luasan mencapai 15.579,747 hektare.

Mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Masyarakat Peduli Batu Beriga menggelar aksi penolakan tambang timah di perairan laut Batu Beriga, di Pangkal Pinang, 28-29 Oktober 2024. Foto: Walhi Babel.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Babel, Ahmad Subhan Hafidz, mengatakan gambaran tersebut menjelaskan bahwa bisnis pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung mengabaikan aspek ekologis. Problem mendasarnya ialah negara membiarkan para pemilik modal tambang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan timah.

"Terutama melalui praktik pertambangan ilegal, yang tentunya terbebas dari kewajiban melakukan reklamasi lubang bekas tambang," kata Hafidz, Kamis (31/10/2024).

Aktivitas tambang itu juga menjadi ancaman nyata bagi ekologi laut Batu Beliga. Perairan Desa Batu Beriga merupakan salah satu kawasan yang masih terjaga kelestariannya. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Walhi Babel, diketahu bahwa dari 6 kategori kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi (NKT), empat kategori NKT dimiliki oleh perairan Batu Beriga.

Selain itu, perairan Desa Batu Beriga menjadi rumah bagi keanekaragaman biota laut seperti penyu hijau, nautilus, dugong, hiu pari, ikan napoleon, lumba-lumba hidung botol, kima serta pari manta.

"Adanya rencana aktivitas pertambangan di kawasan tersebut akan berdampak tidak hanya bagi masyarakat lokal dan adat istiadatnya, tetapi juga akan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang ada di kawasan tersebut," ujar Hafidz.

Dalam konteks yang lebih spesifik, lanjut Hafidz, hal-hal tersebut telah mendasari masyarakat Batu Beriga bersama aliansi nelayan, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil di seluruh Babel menolak rencana penambangan yang akan dilakukan oleh PT Timah. PT Timah mengklaim telah mengantongi persyaratan yang diperlukan, seperti IUP Produksi dengan Nomor SK.541.16.3656/IUP-OP/DPE/2011–akan berakhir pada 2025--dengan luasan 5039,17 hektare.

Kemudian Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) No.17112310511900002 dengan luas 46,76 hektare dan kedalaman penggalian 13 meter, hingga Penetapan zona tambang di laut Batu Beriga melalui Perda RZWP3-K.

"Dengan berbagai dokumen ini, mereka memaksa tetap beraktivitas di tengah gelombang penolakan masyarakat," ujarnya.

Hanya saja, imbuh Hafidz, keabsahannya diragukan. Karena sejak awal partisipasi aktif masyarakat Batu Beriga sebagai orang-orang yang terdampak disingkirkan. Mulai dari proses konsultasi publik penyusunan AMDAL, penetapan zona tambang di perairan laut Batu Beriga, serta terbitnya PKKPRL.

Padahal, menurut Hafidz, pasal 4 huruf b Permen KP No. 12 tahun 2024 menegaskan bahwa masyarakat terdampak mesti dilibatkan secara bermakna pada proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Adapun dalam cakupan partisipasi publik yang lebih luas, meliputi masyarakat rentan, masyarakat adat, dan pemerhati lingkungan.

Hafidz bilang, keterlibatan itu sangat penting, mengingat permohonan penerbitan PKKPRL sebagaimana pasal 125 ayat 3 Permen KP 28/2021 tentang penyelenggaraan penataan ruang laut menyertai pertimbangan kepentingan masyarakat dan nelayan tradisional.

Hafidz berpendapat, benih konflik ditanam lebih dulu oleh negara melalui PT Timah dengan cara meminggirkan proses demokrasi dan penegakan supremasi hukum. Pertama, penyusunan dokumen-dokumen terkait hanya terjadi di tataran elit ekonomi dan politik, sementara partisipasi masyarakat Batu Beriga dinihilkan.

Yang kedua, masyarakat Batu Beriga memandang rencana penambangan ini sarat kepentingan ekonomi-politik bagi para pemilik modal tambang semata, sedangkan masyarakat Batu Beriga yang berprofesi sebagai nelayan akan kehilangan ruang penghidupan.

Selanjutnya, ketiga, negara berupaya mengikis nilai-nilai luhur masyarakat Batu Beriga yang masih mengamalkan tradisi seperti Taber Laut, yang mana tradisi ini juga penting sebagai media amalan rasa syukur dan menjaga laut dari ketidakseimbangan ekosistem. Keempat, dampak jangka panjang dari bencana ekologis yang akan menerpa masyarakat Batu Beriga.

"PT Timah mungkin akan tetap memaksa beroperasi di perairan Batu Beriga dengan berbagai cara, misalnya penggunaan kebijakan hukum anti-rakyat seperti UU Minerba, hingga pengerahan pihak kepolisian dan tentara," kata Hafidz.

Masalahnya, imbuhnya, ketika PT Timah benar melakukan pendekatan represif terhadap perlawanan masyarakat Batu Beriga, konflik sosial yang lebih luas tidak akan terhindarkan. Namun selama itu juga, masyarakat Batu Beriga bersama aliansi nelayan, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil mampu lebih keras kepala demi mempertahankan laut Batu Beriga dari penambangan oleh PT Timah.

"Sebab laut adalah milik rakyat, bukan segelintir orang pemilik modal. Untuk itu, kami dari Persatuan Masyarakat Peduli Batu Beriga secara tegas menyerukan tuntutan-tuntutan. Hentikan rencana penambangan timah di laut Batu Beriga. Cabut IUP PT Timah di perairan Batu Beriga, dan tetapkan tata ruang laut Batu Beriga menjadi zero tambang," ucap Hafidz.