Seruan di COP 16 CBD: Hayati sedang Dirudapaksa oleh Ni
Penulis : Aryo Bhawono
Biodiversitas
Sabtu, 02 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil Indonesia menyerukan pentingnya perlindungan terhadap alam dan keanekaragaman hayati Indonesia yang kian terancam oleh ekspansi tambang nikel, logam dengan simbol kimia Ni. Agenda transisi energi, menurut mereka, seharusnya tidak merudapaksa ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Rudapaksa, bahasa Jawa, adalah perbuatan yang dilakukan dengan paksa disertai kekerasan.
Seruan ini dilakukan di tengah Segmen Tingkat Tinggi (High-Level Segment) perundingan global Konvensi Keanekaragaman Hayati ke-16 (COP16) di Cali, Kolombia. Isu tambang mineral kritis menjadi diskursus hangat dalam pertemuan COP16 CBD mengingat potensi ancamannya yang tinggi terhadap integritas ekosistem, keanekaragaman hayati, dan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal di negara-negara produsen.
Saat ini, terdapat hampir 1 juta hektare konsesi tambang nikel di Indonesia, 66% persen di antaranya atau sekitar 0,64 juta hektar, merupakan tutupan hutan alam.
Besarnya luasan konsesi tambang nikel di Indonesia yang terus bertambah ini didorong oleh agenda transisi energi global untuk memasok komponen baterai kendaraan listrik, dengan tujuan ekspor utama ke Tiongkok.
Ketua Yayasan Auriga Nusantara, Timer Manurung, mendesak pemerintah Indonesia membatasi produksi nikel karena dampak negatifnya terhadap keanekaragaman hayati. Deposit nikel di Indonesia yang mencapai luasan 3,1 juta hektare terkonsentrasi di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Ia menyebutkan hampir 80 persen atau 2,5 juta hektare wilayah deposit nikel di Indonesia yang terkonsentrasi di wilayah Indonesia Timur merupakan wilayah yang kaya akan hutan dan keanekaragaman hayati, serta berada di dalam wilayah adat. Wilayah tersebut juga merupakan rumah bagi setidaknya 18 spesies ikonik, yang keberadaannya terancam akibat ekspansi tambang nikel.
“Untuk itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk menetapkan ‘No Go Zone’ di area-area yang memiliki peran penting pada keanekaragaman hayati dan penanggulangan perubahan iklim,” ucap Timer melalui rilis pers.
Pemerintah Indonesia harus menetapkan kuota bagi ekspansi tambang nikel yang bisa dilakukan diluar No Go Zone untuk mencegah kerusakan ekosistem yang lebih buruk. Mereka perlu memperhitungkan berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan nikel demi keberlanjutan tambang nikel itu sendiri sekaligus mencegah potensi ancaman terhadap ekosistem dan biodiversitas.
Satwa langka yang terancam ekspansi tambang nikel. Data: Auriga Nusantara
Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, menyebutkan kehidupan masyarakat adat turut terancam oleh tambang nikel. Ia mencontohkan di Morowali, masyarakat Taa (Wana) telah menggunakan berbagai jenis kayu, seperti kayu bitti (Vitex cofassus), damar (Agathis alba), dan kumea (Manilkara celebica) selama berabad-abad sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Namun, keberlanjutan sumber daya ini kini terancam oleh dampak tambang nikel yang masif. Pengolahan nikel menggunakan energi dari batubara juga berdampak negatif pada keragaman hayati pulau Kalimantan.
“Karenanya perlu pembatasan produksi nikel sesuai dengan daya dukung energi terbarukan agar target aksi iklim dan keragaman hayati dapat tercapai," kata dia.
Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia (FWI) menemukan bahwa industri nikel memiliki kaitan erat dengan penderitaan masyarakat adat, mulai dari dampak lingkungan seperti banjir hingga hilangnya akses masyarakat adat terhadap wilayahnya.
“Penambangan yang bertanggung jawab, mengikuti standarisasi yang sudah ada termasuk FPIC, merupakan bagian penting dari implementasi Kesepakatan Global Keanekaragaman Hayati (Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework/KM-GBF),” ucapnya.
Program Officer Hutan dan Iklim dari Yayasan MADANI Berkelanjutan, Salma Zakiyah, menyatakan bahwa agenda transisi energi untuk mengatasi perubahan iklim global tidak boleh merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati. Target 8 The Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (8 KM-GBF) mencakup mandat untuk meminimalkan dampak aksi iklim terhadap keanekaragaman hayati.
Indonesia pun harus menyelaraskan kebijakan iklim dengan kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati, termasuk harmonisasi Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) dengan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP).
“Seluruh kebijakan terkait iklim dan keanekaragaman hayati harus didasarkan pada prinsip keadilan iklim. Ini mencakup pengakuan dan perlindungan wilayah hidup kelompok rentan, pelibatan penuh dan efektif, perlindungan sosial, serta pemulihan hak-hak kelompok rentan ketika terjadi kerusakan, termasuk pemulihan hak dan wilayah hidup masyarakat adat dan lokal,” kata dia.