Butuh Menteri Nusron Lindungi Biodiversitas Rawa Tripa: Koalisi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Selasa, 05 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Agenda-agenda perlindungan keanekaragaman hayati dan kelestarian sumber daya alam di Indonesia butuh komitmen kuat dari pemerintah. Sebab realitas di lapangan menunjukkan konflik kepentingan yang sangat besar. Seperti kasus Rawa Tripa di Aceh, misalnya. Salah satu pusat keanekaragaman hayati Aceh itu tengah tertekan dan terancam oleh keberadaan dua perusahaan perkebunan sawit nakal.

Hal itu disampaikan Koalisi Selamatkan Rawa Tripa dalam pernyataan bersamanya pada Senin (4/10/2024). Koalisi Selamatkan Rawa Tripa adalah gabungan 14 organisasi masyarakat sipil yang bergiat dalam penyelamatan hutan gambut yang menjadi habitat orangutan dan harimau sumatra itu, Koalisi menyatakan, besarnya konflik kepentingan di sana membuat penyelamatan Rawa Tripa membutuhkan Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN.

Menurut Koalisi, partisipasi aktif Indonesia dalam agenda konservasi keanekaragaman hayati internasional menegaskan peran pentingnya dalam upaya global untuk menjaga kelestarian kehidupan di bumi. Namun, komitmen ini perlu diimbangi dengan implementasi yang konsisten di tingkat nasional agar tujuan konservasi keanekaragaman hayati dapat tercapai secara optimal.

Komitmen ini menempatkan Indonesia sebagai aktor penting dalam upaya global untuk melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga kelestarian sumber daya alam. Tapi, ironi dibalik komitmen tersebut, terdapat tantangan besar dalam mengimplementasikan konservasi di Indonesia.

Ekosistem gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, yang terbakar dan dikonversi menjadi kebun sawit oleh PT Kallista Alam./Foto: Auriga Nusantara.

Rezim kawasan hutan dinilai tidak mampu menghentikan laju kerusakan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di Indonesia, sampai sejauh ini. Menurut catatan Forest Watch Indonesia (2024), 90% kerusakan sumber daya alam berupa hutan alam terjadi di luar kawasan konservasi, yakni berupa kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap, kawasan hutan produksi dikonversi, dan area penggunaan lain.

"Hal ini mengindikasikan bahwa ancaman terhadap kehilangan keanekaragaman hayati sangat nyata berada di luar area yang dikonservasi secara formal," kata koalisi masyarakat sipil, Senin (4/10/2024).

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap 6,91 juta hektare areal dilepas dari kawasan hutan negara, dan sebanyak 78,39% di antaranya untuk perkebunan kelapa sawit, termasuk untuk bioenergi. Temuan FWI (2024) menunjukkan, sebanyak 5,5 juta hektare yang sudah dilepaskan untuk kebun sawit.

Tekanan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati semakin sulit dengan tingginya kepentingan terhadap sumber daya alam di sektor kehutanan dari usaha perkebunan kelapa sawit. Kompleksitas Hak Guna Usaha (HGU) dinilai sebagai rezim yang turut mengancam tercapainya tujuan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.

Masih menurut data FWI (2024), di berbagai daerah di Indonesia, simpul-simpul lokasi keanekaragaman hayati ditemukan di dalam areal HGU. Tercatat sebanyak 19,16% dari total areal HGU (analisis tidak termasuk Tanah Papua) secara signifikan merupakan kawasan ekosistem esensial (KEE).

Wilayah-wilayah dalam analisis ini meliputi Jawa, Bali, Nusra, Maluku, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. KEE (Kawasan Ekosistem Esensial) yang meliputi berbagai ekosistem penting seperti mangrove, gambut, dan karst, yang menjadi habitat beragam spesies langka dan areal bernilai konservasi tinggi (ABKT) yang juga mencakup koridor satwa dan taman keanekaragaman hayati untuk melindungi flora dan fauna, yang merupakan upaya konservasi di luar status kawasan konservasi.

Rawa Tripa terbakar pada 2009. Sumber: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia.

Koalisi berpendapat, tumpang tindih ini memicu eksploitasi sumber daya alam oleh rezim HGU. Operasional usaha perkebunan besar seperti sawit dapat mengancam ekosistem yang menjadi keanekaragaman hayati.

"Hal ini menunjukkan bahwa tata kelola lahan masih menghadapi tantangan serius di antara kepentingan bisnis dan pelestarian alam," kata koalisi.

Sementara itu, tata kelola Hak Guna Usaha (HGU) menunjukkan kinerja yang buruk. Tidak adanya transparansi dan pembangkangan dengan sengaja oleh Menteri ATR/BPN terhadap hukum. Sengketa informasi HGU masyarakat sipil menjadi potret bahwa Kementerian ATR/BPN enggan mematuhi putusan Komisi Informasi Publik, putusan PTUN, dan bahkan putusan Mahkamah Agung untuk membuka dokumen HGU.

Hal ini mendorong terjadinya konflik agraria yang berkelanjutan serta membatasi hak dan akses masyarakat lokal dan masyarakat adat terhadap informasi lahan. Maka HGU dijalankan tanpa partisipasi, prinsip Padiatapa dan dijalankan tanpa akuntabilitas yang baik.

"Ini merupakan potret Bad Governance dari rezim HGU di Indonesia yang dapat memicu terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi di sektor sumber daya alam," ujar koalisi.

Rawa Tripa, pusat keanekaragaman hayati yang terancam rezim HGU

Potret ini terjadi di Aceh di ekosistem Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Belakangan, lanjut Koalisi, kelestarian Rawa Tripa sebagai pusat keanekaragaman hayati terancam oleh kehadiran dua perusahaan perkebunan kelapa sawit, yaitu PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur II.

Dua perusahaan ini merusak kawasan Rawa Tripa dengan cara dibakar untuk ditanami sawit sehingga berdampak terhadap keberlangsungan hidup satwa liar, terutama orangutan sumatra dan harimau sumatra. Kedua perusahaan juga merusak rawa gambut sebagai tempat penyimpan karbon dan telah melepas emisi karbon yang tersimpan di dalamnya.

Kerusakan ekosistem gambut di Rawa Tripa telah mencapai titik kritis dengan kehilangan tutupan hutan seluas 608,81 hektare akibat alih fungsi lahan dan perambahan ilegal. Kondisi ini mengancam habitat dari satwa langka orangutan dan harimau sumatra.

Menurut koalisi, tanpa tindakan cepat dari pemerintah dan aparat penegak hukum, keberlangsungan ekosistem ini akan semakin terancam, mempercepat krisis ekologi yang membawa dampak pada keanekaragaman hayati dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

"Selain menjadi habitat penting satwa lindung, Rawa Tripa yang merupakan rawa gambut menjadi penjaga iklim lokal maupun global," kata koalisi.

Peta HGU PT Kalista Alam dan PT Surya Panen Subur II di kawasan Lindung Gambut. Sumber: Koalisi Selamatkan Rawa Tripa.

Menurut Agus dan Wahdini (2008), koalisi melanjutkan, jumlah total cadangan karbon yang tersimpan di Rawa Tripa mencapai 50-100 juta ton yang terbagi atas cadangan karbon di atas tanah (hutan) dan di bawah permukaan tanah. Dengan itu, Rawa Tripa menjadi stok cadangan karbon terbesar di Aceh yang belum ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Tapi, meskipun keberadaannya penting, kawasan Rawa Tripa saat ini masih berstatus areal penggunaan lain (APL). Selain itu, Rawa Tripa sebagai kawasan gambut juga memiliki fungsi pengatur siklus air dan pencegah banjir. Menurut Murdiyarso et al., (2004) lahan gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8-0,9 m3/m3 jika tidak mengalami gangguan.

Dengan itu, menjaga kelestarian Rawa Tripa sangat penting untuk menyuplai air bagi masyarakat dan mencegah terjadinya banjir. Selain mencegah bencana banjir, Rawa Tripa secara historis juga mampu menjadi buffer zone tangguh saat bencana tsunami yang menghantam Aceh pada Desember 2004.

Rawa tripa sebagai kawasan ekosistem Leuser

Koalisi menjelaskan, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan kawasan terpenting di dunia. Dengan luas kawasan 2,6 juta hektare, KEL menjadi habitat 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan 95 spesies reptil dan amfibi.

KEL juga merupakan tempat terakhir yang memiliki ukuran dan kualitas yang memadai untuk mempertahankan dan melestarikan populasi spesies-spesies langka, serta menjadi tempat satu-satunya di dunia yang mana empat satwa kunci (penting), yaitu harimau sumatra, orangutan sumatra, badak sumatra, dan gajah sumatra hidup berdampingan di alam liar.

"Salah satu kawasan di dalam KEL yang menjadi habitat penting satwa kunci, terutama orangutan sumatra dan harimau sumatra adalah di Rawa Tripa," kata koalisi.

Lebih lanjut koalisi menuturkan, Rawa Tripa merupakan salah satu dari tiga hutan rawa yang ada di Aceh, selain Rawa Gambut Kluet dan Rawa Gambut Singkil. Dari sekitar 6.600 orangutan sumatra yang tersisa di dunia, sekitar 4%-nya (280 ekor) hidup di Rawa Tripa (Wich, et al., 2008).

Sedangkan, data populasi harimau sumatra di Rawa Tripa belum diketahui pasti jumlahnya. Great Apes Survival Partnership (GRASP)--program bersama UNEP dan UNESCO yang dijalankan pemerintah Indonesia--menetapkan Rawa Tripa sebagai salah satu area prioritas bagi konservasi satwa lindung, terutama orangutan sumatra.

Kebun sawit milik PT Surya Panen Subur II. Sumber: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia.

Masyarakat sipil serukan penegakan hukum

Koalisi menganggap penting untuk segera menghentikan deforestasi di hutan Rawa Tripa, terlepas dari status hukumnya yang masih dalam proses. Konferensi PBB tentang iklim dan keanekaragaman hayati yang sedang berlangsung menyoroti krisis iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati yang semakin drastis.

Indonesia juga harus mengirimkan sinyal kuat dengan menghentikan semua kegiatan di rawa gambut ini, karena Rawa Tripa adalah salah satu ekosistem yang paling penting. Penegakan hukum di sektor kehutanan, lingkungan hidup, dan perkebunan di Indonesia harus lebih serius.

Karena hal itu, tambah koalisi, dalam upaya untuk melindungi lingkungan pada 2012, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menggugat kedua perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut atas tindakan mereka yang melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem Rawa Tripa.

PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur II melalui keputusan Mahkamah Agung Nomor 1 PK/Pdt/2017 pada 18 April 2017 dan keputusan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung Nomor 690 PK/Pdt/2018 pada 17 Oktober 2018, menyatakan kedua perusahaan itu bersalah karena membakar kawasan rawa gambut Rawa Tripa dan mengadili untuk mengganti kerugian negara.

"Meski sudah diputuskan bersalah dan diharuskan untuk memberikan ganti rugi dan memulihkan ekosistem Rawa Tripa yang rusak, akan tetapi hingga sekarang sejak putusan dibacakan, belum ada eksekusi terhadap putusan tersebut sampai saat ini. Bahkan PT Surya Panen Subur dan PT Kallista Alam masih beraktivitas secara normal," ujar koalisi.

Koalisi beranggapan, penegakan hukum di sektor kehutanan, perkebunan, dan lingkungan hidup harus menjadi sorotan utama sebagai upaya melestarikan keanekaragaman hayati dan menyelamatkan negara dari kerugian. PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur harus tunduk terhadap hukum dan bertanggung jawab atas kerusakan dan kerugian nilai ekonomi yang ditimbulkan.

Berikut pernyataan sikap Koalisi Selamatkan Rawa Tripa terkait persoalan ini:

  1. Quick wins Nusron Wahid Menteri ATR/BPN: cabut HGU milik PT Kallista Alam (520,78 Ha) dan PT Surya Panen Subur (7565,26 Ha). Lindungi gambut, selamatkan keanekaragaman hayati.
  2. Mendesak Pj Gubernur Aceh Dr. H. Safrizal ZA, M. Si dan Pj Bupati Nagan Raya Dr. H.Iskandar, AP. S.Sos,.M.Si segara meningkatkan status perlindungan Rawa Tripa, untuk selamatkan keanekaragaman hayati Rawa Tripa
  3. Mendesak Pengadilan Negeri Suka Makmue untuk segera melaksanakan eksekusi PT Kallista Alam Nomor:12/Pdt.G/2012/PN/Mbo jo Nomor: 50.PDT/2014/PT.BNA jo nomor 651 K/Pdt/2015 jo Nomor: 1 PK/Pdt/2017 dalam pokok pekara: sita jaminan Sertifikat Hak Guna Usaha No. 27 dengan luas 5.769 hektare, pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1.000 hektare dengan biaya sebesar Rp251.765.250.000 sehingga lahan dapat difungsikan kembali, menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp5.000.000.
  4. Mendesak Pengadilan Negeri Suka Makmue Untuk segera melaksanakan eksekusi PT Surya Panen Subur II Nomor: 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel Jo Nomor: 796/PDT/2014/PT DKI jo Nomor 2905 K/Pdt/2015 jo Nomor 690 PK/Pdt/2018 pokok perkara membayar ganti rugi materiil rekening kas negara sebesar Rp136.864.142.800 pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1.200 hektare dengan biaya sebesar Rp302.154.300.000, sehingga lahan dapat difungsikan kembali.