No Parno! Pensiun Dini PLTU Batu Bara Tak Rugikan Keuangan Negara
Penulis : Kennial Laia
Energi
Rabu, 06 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dinilai akan membawa keuntungan bagi Indonesia, bukan sebaliknya. Kajian terbaru mengungkap, sebagai bagian kebijakan transisi energi, langkah ini akan membantu Indonesia mencapai target emisi nol bersih dan manfaat finansial.
Saat ini proses pensiun dini di Indonesia tengah berjalan. Salah satunya didukung oleh Bank Pembangunan Asia (ADB), yang berencana menghentikan operasi 13 PLTU batu bara lebih awal, termasuk PLTU Cirebon-1 di Cirebon, Jawa Barat, yang dijadwalkan pensiun pada 2035, atau tujuh tahun lebih awal.
Menurut kajian terbaru dari Center of Ecomonics and Law Studies (CELIOS), pensiun dini PLTU Cirebon-1 akan menyelamatkan 28,5 juta ton karbon dioksida, gas rumah kaca yang berkontribusi pada krisis iklim. Di sisi lain, September lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan butuh biaya sekitar US$1,3 miliar atau Rp 21 triliun untuk melakukan hal ini, terutama terkait peningkatan grid-transmisi untuk energi terbarukan. Biaya besar ini dikhawatirkan membebani PLN dan APBN.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, kekhawatiran pemerintah tidak berdasar. “Jika peningkatan grid-transmisi memerlukan investasi, maka itu adalah tanggung jawab pemerintah melalui APBN dan kerjasama swasta untuk meningkatkan bauran energi terbarukan. Ini seharusnya tidak dipandang sebagai kerugian negara, melainkan sebagai keuntungan dari penghematan biaya subsidi, kompensasi listrik, dan biaya kesehatan,” kata Bhima, Selasa, 5 November 2024.
Menurut Bhima, kendala infrastruktur dan finansial elektrifikasi di Indonesia selama ini terletak pada kelebihan pasokan listrik, terutama di jaringan Jawa dan Sumatra. Berdasarkan data PLN per Juni 2023, cadangan daya listrik PLN pada sistem Jawa—Bali sebesar 44%, interkoneksi Kalimantan 57%, Sumatera 24%, Lombok 37%, dan Sulawesi Selatan 25%.
Kajian mengungkap, kelebihan listrik di Indonesia mencapai angka 6 GW, dan memperkirakan perusahaan pelat merah itu merugi sekitar Rp 3 triliun per GW listrik yang tidak terpakai. Jika ditotal, kerugian dari kelebihan ini mencapai Rp 18 triliun pada 2023 akibat kapasitas yang tidak terpakai.
Tanpa perubahan signikan, kajian tersebut memperkirakan kelebihan pasokan listrik mencapai 41 GW pada 2030. “Pertanyaan yang muncul pun akan menjadi berapa ratus triliun lagi yang harus dikeluarkan untuk membayar kelebihan pasokan listrik yang tidak terpakai?” kata Bhima.
Menurut Direktur Eksekutif Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), Tata Mustasya, percepatan pembangunan smart grid akibat pensiun dini PLTU batu bara merupakan investasi yang menguntungkan bagi Indonesia.
“Pembangunan smart grid dan percepatan transisi energi akan memperkuat ketahanan energi, akses energi yang inklusif, dan mitigasi krisis iklim. Keengganan untuk membangun transmisi justru akan menimbulkan ongkos besar bagi Indonesia dalam lima hingga 30 tahun ke depan,” katanya.
“Komitmen pemerintah yang jelas juga akan memberikan sinyal positif bagi publik dan investor untuk membiayai energi terbarukan di Indonesia,” kata Tata.
Pensiun dini PLTU tidak merugikan negara
Koordinator Koalisi Rakyat Bersihkan Cirebon (Karbon), Adhinda Maharani Rahardjo, mengatakan narasi tentang potensi 'kerugian negara' akibat pensiun dini PLTU tidak relevan, terutama jika dilihat dari sudut pandang masyarakat di Cirebon Timur.
“Masyarakat sekitar telah bertahun-tahun merasakan efek buruk dari PLTU—polusi udara yang mengganggu kesehatan, kerusakan lingkungan yang memengaruhi mata pencaharian, dan kualitas hidup yang menurun,” katanya.
“Transisi energi ini bukan hanya soal menggeser infrastruktur, tetapi juga tentang mewujudkan masa depan yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan,” kata Adhinda.
Sementara itu Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, pensiun dini PLTU batu bara adalah bagian integral dari proses transisi energi yang cepat dan adil, yang memungkinkan Indonesia mengatasi dampak krisis iklim.
“Biaya untuk transisi energi, termasuk pensiun dini PLTU, tidak bisa dipandang sebagai kerugian negara. Justru, biaya yang dikeluarkan akibat kelalaian dalam transisi energi itulah yang berpotensi menimbulkan kerugian dalam konteks yang lebih luas,” ujar Leonard.
Bhima mengatakan Indonesia perlu mempercepat pengembangan energi terbarukan. Pasalnya negara-negara Asia Tenggara telah melakukan investasi besar dalam peningkatan transmisi untuk mendukung energi terbarukan dan mengadopsi teknologi jaringan pintar. Bhima mengatakan, langkah ini harus menjadi contoh bagi pemerintah, karena meningkatkan efisiensi dan keandalan, yang berpotensi menurunkan biaya bagi konsumen dan mendukung integrasi energi terbarukan.
“Secara keseluruhan, urgensi restrukturisasi komitmen keuangan dan pengembangan inovasi dalam teknologi jaringan listrik untuk mencapai tujuan energi terbarukan Indonesia adalah tanggung jawab negara, bukan dikategorikan sebagai kerugian negara,” kata Bhima.
Kajian CELIOS bersama 350.org, organisasi yang mengadvokasi isu iklim, memperkirakan adanya manfaat ekonomi sebesar Rp10.529 triliun selama 25 tahun ke depan jika pemerintah konsisten mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas. Sementara itu serapan tenaga kerja dari kebijakan ini diperkirakan dapat mencapai 96 juta orang di periode yang sama.