Biodiversity Warrior: Rika Terbentur, Rika Sedang Terbentuk

Penulis : Kennial Laia

Sosok

Senin, 23 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sore itu di bulan Oktober 2024, Rika Nofrianti baru saja pulang dari sawah bersama orangtuanya. Sudah hampir sebulan dia pulang ke rumahnya di desa Batu Roto, Bengkulu Utara, Bengkulu.

Ia di rumah sedang ambil jeda, setelah secara maraton mengikuti pelatihan pemantauan hutan bagi anak muda di Taman Nasional Kerinci Seblat bersama Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK). “Di sana aku dan teman-teman belajar soal pemantauan hutan, dan juga kampanye tentang lingkungan di media sosial, terutama Taman Nasional Kerinci Seblat,” kata perempuan kelahiran 27 November 2000 ini.

Dia mengatakan, pelatihan itu memberinya jalan baru tentang bagaimana ia bisa membantu penyelamatan Kerinci Seblat. Sebelumnya ia memang sudah aktif dalam penyelamatan taman nasional terbesar di pulau Sumatra itu, yang luasnya mencapai 13.750 kilometer persegi dan melintasi empat provinsi: Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan.

Lima tahun sebelumnya, Rika bercerita, ia sering mengikuti kakaknya, Intan Yones Astika, yang menjadi penggiat hutan dan pendamping masyarakat yang hidup di sejumlah desa penyangga kawasan taman nasional tersebut. Masyarakat yang menjadi dampingan itu merupakan komunitas petani perempuan. Rika–kala itu masih menempuh pendidikan di program studi Agrokteknologi, Universitas Pat Patulai di Rejang Lebong, Bengkulu–lama-lama tertarik untuk belajar dari sekadar mengantar kakaknya atau menghabiskan waktu di sekitar desa. Dia pun mulai belajar fotografi dan mengunggah kegiatan petani perempuan ini ke media sosial.

Rika Nofrianti, perempuan muda yang aktif dalam upaya pelestarian di Taman Nasional Kerinci Seblat, Bengkulu. Dok. Pribadi

“Mungkin karena aku perempuan dan juga dari keluarga petani, aku merasakan kedekatan dengan ibu-ibu di desa sekitar taman nasional itu,” kata Rika sambil tertawa. “Tetapi sebenarnya isunya lebih besar dari itu, karena kondisi di lapangan itu ada petani yang butuh bertani tetapi tidak punya lahan. Di sisi lain ada hutan yang bisa diakses,” ujarnya.

Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati. Spesies kunci dan terancam punah ditemukan di dalamnya, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis), dan tapir asia (Tapirus indicus).

Padma raksasa (Rafflesia arnoldii), bunga endemik yang menjadi ikon Bengkulu juga berhabitat di kawasan ini. Kekayaan hayati lainnya adalah cemara sumatra (Taxanus sumatrana), pohon langka yang menghasilkan taxol, zat yang digunakan untuk membuat obat anti-kanker dalam dunia medis tradisional. Tanaman ini berstatus terancam punah menurut daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).

Kekayaan alam ini membuat Taman Nasional Kerinci Seblat didaulat UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia pada 2004. Namun area hutan hujan tropis ini tak lantas kebal dari ancaman. Wilayah ini terus mengalami perambahan liar dan pembukaan lahan ilegal. Temuan Yayasan Genesis Bengkulu (2022) mengungkap, hutan alam seluas 46.345 hektare di Bentang Alam Seblat hilang akibat degradasi dan alih fungsi lahan.

Kini, Taman Nasional Kerinci Seblat masuk dalam daftar Warisan Hutan Hujan Tropis dengan status Terancam.

Rafflesia arnoldii mekar di kawasan hutan lindung Bukit Daun, Desa Tebat Monok Kabupaten Kepahiang, Bengkulu. Dok. Komunitas Peduli Puspa Langka (@kpplbengkulu)

Bagi Rika, hal ini mengkhawatirkan. Sebagai Gen Z yang aktif di media sosial, Rika getol belajar isu terkini tentang lingkungan, termasuk krisis iklim dan dampaknya, yang saat ini terjadi di seluruh dunia. Dari banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga suhu yang ekstrem. Rika juga tahu: menjaga hutan berarti untuk iklim. “Kalau hutan habis, dampaknya bisa besar sekali, bukan cuma ke aku dan keluarga, ataupun orang-orang di Bengkulu saja. Tetapi dampaknya akan terasa kepada kita semua.”

Pada 2020, Rika pun memutuskan untuk bergabung dengan kegiatan pendampingan petani di Taman Nasional Kerinci Seblat. Pada 18 November 2021, Rika bersama sejumlah perempuan muda di desa membentuk Kelompok Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD). Nantinya mereka membentuk Koperasi Perempuan Pelestari Hutan (Sipuan). Koperasi ini menaungi berbagai kelompok petani perempuan dan pelestari hutan di empat desa di kawasan Kerinci Seblat.

Rika menyadari bahwa petani yang kerap menanam di dalam kawasan hutan ataupun taman nasional itu sering disebut sebagai perambah. Tetapi baginya ada persoalan lahan yang tidak memadai bagi para petani, dan juga sosialisasi yang tidak memadai tentang adanya aturan bahwa kawasan hutan tidak dapat dikelola tanpa izin. Selain itu ada banyak oknum yang kongkalikong dengan aparat desa dan penegak hukum yang kerap bermain dan menebangi pohon di kawasan tersebut.

“Banyak petani yang tidak mengetahui taman nasional itu apa. Bagi petani hutan adalah penghidupan mereka. Jadi selama berkegiatan di Kerinci Seblat saat itu, kami fokus untuk pemberdayaan masyarakat, bagaimana konservasi bisa menguntungkan bagi mereka dan juga menumbuhkan pengetahuan tentang lingkungan,” katanya.

Petani perempuan di desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat usai melakukan identifikasi lahan. Dok. Pribadi 

Selama di KPPWD, Rika menjadi sekretaris dan fokus menulis dan mencatat pengalaman perempuan dan hubungannya dengan hutan. Baginya, advokasi untuk menyuarakan konservasi hutan dan pemberdayaan masyarakat tidak hanya memegang toa di garis terdepan gerakan, tetapi bisa juga berlangsung dalam senyap, melalui pena dan kertas.

Menurut Rika, KPPWD sendiri terlibat dalam pendampingan sejumlah kelompok petani yang telah terbentuk di empat desa. Isunya beragam, mulai dari kemitraan konservasi dan pemulihan ekosistem seperti penanaman pohon. Namun satu nyawa yang menyatukan mereka semua adalah edukasi kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Bagi Rika, lingkungan hidup yang terjaga dan masyarakat yang berdaya harus berjalan beriringan.

Salah satu yang berhasil adalah kelompok petani kecombrang, yang tergabung dalam Kelompok Maju Bersama. Tidak hanya menjadi bumbu masakan, tanaman ini juga dapat mencegah atau mengobati kanker serviks dan kanker payudara. Kelompok ibu-ibu ini pun mengolahnya menjadi sirup dan makanan tradisional seperti wajik.
Lalu pada 2023 sebuah masalah besar melanda internal organisasi. Masalah itu berlawanan dengan prinsipnya, sehingga Rika memutuskan untuk keluar, diikuti oleh teman-temannya.

Rika mengaku patah hati. “Saat itu aku dan anggota lainnya harus menjalani pendampingan psikologis,” kenang Rika. “Sampai sekarang aku masih menyayangkan karena tidak bisa aktif lagi. Tetapi aku juga harus memperhatikan kesehatan mentalku,” katanya.

Kegiatan dokumentasi petani perempuan di desa penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Dok. Pribadi

Jalan baru menjaga hutan

Rika tidak mau berlama-lama larut dalam kesedihan. Pada akhir 2023, dia memutuskan bergabung dengan Forest Guardian Bengkulu, organisasi onderbouw JPIK. Sejak awal tahun Rika bersama delapan anak muda lainnya intensif mengikuti berbagai pelatihan, termasuk menulis, kampanye media sosial, dan pemantauan hutan. Organisasi muda ini, kata Rika, sebagai awal akan fokus pada kampanye media sosial tentang kondisi Kerinci Seblat dan kearifan masyarakat di sekitarnya.

Di sisi pemantauan hutan yang membutuhkannya turun ke lapangan, Rika sudah punya modal dari pengalaman pemetaan lahan bersama petani perempuan sebelumnya. Masuk-keluar hutan tidak menjadi soal bagi Rika. Aktivitas di Kerinci Seblat juga memungkinannya untuk terus menjalin interaksi dan komunikasi dengan kelompok perempuan yang dulu didampinginya.

Isu yang ditemui Rika dan teman-temannya di Forest Guardian Bengkulu juga masih sama. Perambahan dan pembukaan lahan baru masih terjadi, yang dipengaruhi faktor ekonomi dan lahan yang sudah habis. Tetapi Rika menekankan bahwa masyarakat tidak menanam di zona rimba.

Rika tetap bercita-cita konservasi berbasis pemberdayaan masyarakat menjadi arus utama di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat. Dia selalu mengingat kelompok petani perempuan yang menginspirasinya saat pertama kali terlibat pada isu hutan dan lingkungan.
“Ini pekerjaan yang panjang. Aku akan melakukan apa yang aku bisa, selama itu berguna untuk lingkungan,” katanya.

Rika bersama anak muda yang tergabung dalam Forest Guardian Bengkulu, organisasi pemantau hutan di Bengkulu. Dok. Pribadi