Rencana Menteri Nusron Siapkan Lahan 3 Juta Ha Dikritik
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Food Estate
Senin, 11 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana pemerintah menyiapkan lahan untuk lumbung pangan atau food estate seluas 3 juta hektare di luar Pulau Jawa mendapat kritik. Proyek tersebut dianggap hanya akan melukai para petani dan masyarakat adat.
Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benni Wijaya, mengatakan proyek food estate di Indonesia sangat ironis, terutama bagi jutaan petani dan masyarakat adat yang masih berjuang mendapatkan hak atas tanahnya. "Kebijakan pengadaan 3 juta hektare tanah bagi food estate melukai rasa keadilan terutama bagi petani kita," ujar Benni, Jumat (8/11/2024).
Pasalnya, di tengah situasi mereka yang semakin terpuruk, tanah yang semakin menyempit dan bahkan terancam kehilangan tanah, pemerintah justru memberikan tanah begitu luas bagi pembangunan lumbung berbasis korporasi melalui food estate,” kata dia.
Benni mengungkapkan, jumlah petani di Indonesia saat ini didominasi oleh petani dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare (gurem). Data Badan Pusat Statistik (NPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa jumlah petani gurem naik mencapai 17 juta rumah tangga petani. Sementara di sisi lain, Kementerian menyebutkan terdapat 7,24 juta hektare tanah terlantar.
“Jika saja tanah-tanah tersebut diprioritaskan kepada para petani ini, mereka akan mampu keluar dari status gurem dan menjadi lebih sejahtera,” ujarnya.
Menurut Benny, dengan dukungan pembiayaan dan produksi dari pemerintah, para petani pada akhirnya akan mampu menjadi basis pangan nasional yang akan membantu cita-cita pemerintah untuk mencapai swasembada pangan. "Swasembada pangan yang dihasilkan dari bertumbuhnya basis-basis pertanian rakyat, bukan basis pertanian berbasis korporasi," kata dia.
Bercermin pada proyek yang sudah dan sedang berjalan, lanjut Benni, food estate terbukti telah mengalami beberapa kali kegagalan. Termasuk berbagai praktik perampasan tanah dan kerusakan lingkungan yang dihasilkan dari program ini. “Sudah saatnya pemerintah Indonesia memprioritaskan para petani dan pertanian rakyat sebagai jalan menuju swasembada pangan, bukannya terus memaksakan food estate yang telah mengalami kegagalan berulang kali,” ucap Benni.
Benni juga menyoroti wacana pelibatan masyarakat lokal dalam program food estate. Benni berpendapat, salah satu persoalan utama dan paradigma dari food estate, adalah menjadikan petani lokal sebagai tenaga kerja dengan diatur apa dan bagaimana mereka harus berproduksi. Benni menganggap sistem tersebut tidak ada bedanya dengan sistem tanam paksa di era kolonial, ketika masyarakat didikte untuk menanam apa yang diminta pemerintah kolonial.
“Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana menyelesaikan konflik-konflik agraria dan mempercepat redistribusi tanah kepada para petani gurem. Memberikan dukungan finansial dan produksi sehingga tercipta basis-basis pangan yang dikuasai dan dikelola langsung oleh rakyat dan tersebar di berbagai wilayah,” tutur Benni.
Menurut catatan KPA dari 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) seluas 1,6 juta hektare, hanya 2,46 persen yang berhasil diselesaikan dan diredistribusikan kepada petani. Redistribusi itu pun hanya berjalan di wilayah konflik agraria eks Hak Guna Usaha (HGU) swasta.
Sementara capaian LPRA untuk tipologi BUMN (PTPN, Perhutani/Inhutani), HTI, dan klaim-klaim kawasan hutan tidak satu pun yang berhasil. Sementara laporan Kementerian ATR/BPN, Presiden Jokowi hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektare dari 7,24 juta hektare tanah yang terindikasi terlantar.
Kegagalan pelaksanaan reforma agraria juga semakin memperlebar ketimpangan penguasaan tanah. Saat ini lebih dari 25 juta hektare tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektare pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektare tanah dikuasai oleh korporasi kehutanan dalam bentuk HTI.
Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menuturkan, pihaknya telah menyiapkan lahan seluas 3 juta hektare untuk pembukaan sawah baru di luar Pulau Jawa. Ini diperlukan untuk kawasan pertanian berkelanjutan.
"Kita perlu susun kawasan lahan pertanian berkelanjutan, berapa jumlahnya. Tentu hari ini ada hitungan kasar, sekitar 3 juta hektare untuk sawah baru," ujar Nusron, Selasa (5/11/2024), dikutip dari iNews.
Nusron beralasan, pengadaan lumbung pangan 3 juta hektare ini merespons adanya alih fungsi lahan yang terjadi di Pulau Jawa, dari sebelumnya lahan untuk kawasan pertanian, justru dibangun infrastruktur hingga hunian.
"Karena lahan sawah lama di Pulau Jawa sudah banyak diduduki pabrik, jadi perumahan, sekolah, rumah sakit, itu baik, tapi butuh ganti lahan," kata dia.