363 Ha Hutan Habitat Gajah Nagan Raya Rusak Parah

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Selasa, 12 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kawasan hutan produksi, yang menjadi habitat gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) dan harimau sumatra (Panthera tigris Sumatra), di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, rusak parah akibat dirambah. Kelompok masyarakat sipil berharap aparat hukum, baik penegak hukum (gakkum) lingkungan hidup, kehutanan, maupun kepolisian mengambil tindakan tegas.

Berdasarkan data dari Apel Green Aceh, tutupan hutan yang hilang di kawasan hutan produksi ini mencapai 363 hektare. Kerusakan ini sangat signifikan dan mengancam krisis ekologis di kawasan tersebut.

Perlu diketahui, total luas kawasan hutan produksi di Nagan Raya adalah 14.507 hektare. Aktivitas pembukaan lahan yang terstruktur untuk perkebunan sawit terus berlangsung masif, dengan analisis citra satelit menunjukkan kondisi tutupan hutan yang lebih baik pada 2022.

Apel Green Aceh mendesak aparat penegak hukum (APH) segera menindak tegas perambahan dan pembukaan lahan ilegal di kawasan hutan produksi Kecamatan Seunagan Timur, Nagan Raya. Pemantauan yang dilakukan oleh Apel Green Aceh, bersama KPH IV dan didampingi personel Reskrim Polres Nagan Raya, menemukan adanya aktivitas perambahan yang mengkhawatirkan.

Kelompok masyarakat sipil menemukan 363 hektare kawasan hutan produksi di Nagan Raya, dirambah dan rusak parah. Foto: Apel Green Aceh.

Selama pemantauan, ditemukan beberapa pekerja yang diduga terlibat, mereka berinisial SK, MS dan JN. Apel Green Aceh juga mencurigai adanya transaksi jual beli lahan Hutan Produksi secara ilegal. Syukur, Direktur Yayasan Apel Green Aceh, mengimbau pihak kepolisian untuk segera bertindak, termasuk menyelidiki aktor intelektual yang terlibat.

“Kami telah melaporkan kasus ini ke Balai Gakkum dan berencana melapor ke pihak kepolisian. Kami mendesak agar tindakan tegas diambil untuk mencegah kerusakan yang lebih luas. Pembukaan hutan secara ilegal ini harus dihentikan, dan para pelaku harus dijatuhi sanksi berat,” kata Syukur, 6 November 2024.

Syukur menyebut perambahan ini sangat mengkhawatirkan, dilakukan secara terang-terangan, dan seolah-olah tidak ada hukum yang mengikat para pelaku. Padahal, penebangan liar melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999, dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar.

Hutan produksi ini, imbuh Syukur, juga merupakan habitat satwa langka seperti gajah dan harimau sumatra. Jika aktivitas perambahan terus berlangsung tanpa ada tindakan dari APH, satwa-satwa ini terancam kehilangan habitatnya.

“Kami mendesak Polres Nagan Raya dan Balai Gakkum Sumatra untuk segera turun tangan. Jika pembiaran ini terus terjadi, kami patut mencurigai ada pihak yang sengaja memuluskan praktik ilegal ini,” ujar Syukur.

Junandi dari Balai Gakkum Wilayah Sumatera, mengakui pihaknya telah menerima pengaduan perambahan hutan produksi di Nagan Raya ini dari Apel Green Aceh. Namun dirinya belum mendapat informasi tentang rencana kunjungan ke lokasi.

“Memang ada rencana. Akan dibahas internal dulu,” kata Junandi, 11 November 2024.