Keadilan Iklim Diminta Jadi Agenda Pemerintah Indonesia di COP29

Penulis : Kennial Laia

Iklim

Rabu, 13 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sebanyak 30 organisasi masyarakat sipil, yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki), menyerukan agar pemerintah Indonesia menjadikan keadilan iklim menjadi agenda prioritasnya dalam KTT iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan. 

Menurut aliansi, ada lima hal yang harus menjadi fokus delegasi Indonesia di COP29, yang akan berlangsung hingga 22 November itu. Pertama, komitmen dan kepemimpinannya untuk mendorong agenda pembangunan dan ekonomi yang sejalan dengan target 1,5 derajat Celcius. Angka ini merupakan ambang batas kenaikan suhu yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris.

Target tersebut berlawanan dengan tren yang terjadi saat ini. Pada COP28 di Dubai, Global Stocktake di bawah PBB telah menggarisbawahi komitmen iklim negara-negara global saat ini mengarahkan kenaikan suhu hingga mendekati 3 derajat celcius. PBB juga merekomendasikan peningkatan bauran energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030. 

Menurut Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Syaharani, menjaga suhu bumi di bawah 1.5 derajat Celcius hanya dapat dilakukan melalui komitmen tegas untuk menghentikan penggunaan energi fosil dan melindungi ekosistem. 

Aksi Jeda Iklim yang diikuti ratusan anak muda di Jakarta, September 2019. Aksi itu digelar bersamaan dengan Climate Strike global di berbagai kota-kota dunia. Dalam aksi anak muda mendesak para pemimpin negara untuk mengambil tindakan serius soal krisis iklim. Dok Greenpeace Indonesia

“Karena itu, pemerintah Indonesia dalam negosiasi seperti pada negosiasi program kerja mitigasi dan transisi berkeadilan harus mendorong komitmen bersama untuk melakukan phase out energi fosil, melakukan perlindungan ekosistem, dan mempercepat pengembangan energi terbarukan,” kata Syaharani, Selasa, 12 November 2024. 

“Ini termasuk dengan tidak menggunakan sumber energi dan teknologi yang memperpanjang energi fosil seperti co-firing PLTU, produksi bioenergi skala besar,  dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS),” katanya.  

Menurut Aruki, ambisi iklim Indonesia harus sejalan dengan target 1.5C, dan tercermin dalam Nationally Determined Contribution (NDC) kedua Indonesia yang akan dirilis nantinya.

Perlindungan ekosistem 

Di sisi lain, pemerintah diminta tegas untuk menyatakan komitmen terhadap perlindungan dan pemulihan ekosistem sebagai unsur kunci untuk menunjang adaptasi.  Menurut Global Forest Watch, Indonesia masih mengalami deforestasi sebesar lebih 1,3 juta hektare pada 2023. Tekanan industri ekstraktif dan perluasan komoditas ditengarai sebagai pendorong utama deforestasi sebesar 1,1 juta hektare. 

Menurut Aruki, peristiwa cuaca ekstrem menjadi bencana akibat rusaknya ekosistem hulu akibat industri pertambangan. Banjir bandang di Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, pada Juli 2024, adalah contoh yang tak terbantahkan, kata Aruki. 

“Untuk membangun ketahanan iklim, tidak ada ekosistem dan ruang hidup warga yang dapat dikorbankan. Perlindungan ekosistem adalah prasyarat mutlak terciptanya ketahanan dan adaptasi dampak perubahan iklim,” tegas Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul.

Tekanan terhadap pendanaan iklim 

Indonesia juga diharapkan mampu menekan negara-negara maju untuk memenuhi komitmen target pendanaan iklim mereka, termasuk meningkatkan pendanaan hibah untuk mitigasi, adaptasi, serta kehilangan dan kerusakan. 

Secara global, meskipun jumlah pendanaan iklim meningkat, namun mayoritas masih dalam bentuk hutang. Jumlah hutang untuk pendanaan iklim di tahun 2021-2022 mencapai lebih dari USD 561 miliar. Selain itu, porsi yang dialokasikan untuk adaptasi juga sangat minim. Dari total USD 1,3 triliun, pendanaan adaptasi hanya mencapai USD 63 miliar. 

“Oleh sebab itu, pada negosiasi New Collective Quantified Goals (NCQG), pemerintah Indonesia harus memastikan komitmen negara maju dan pendanaan iklim juga dialokasikan pada mitigasi serta kehilangan dan kerusakan dan tidak menggunakan skema hutang yang menambah beban dan kerugian bagi masyarakat rentan, terpinggirkan serta generasi mendatang,” kata Indira Hapsari, Koordinator Program pada Divisi Program Tanggap Bencana dan Ketangguhan Warga, Yappika. 

Pendanaan tersebut, kata Indira, harus mengutamakan pendanaan yang responsif gender dan penegakan HAM, serta melibatkan masyarakat marginal dalam pengambilan keputusan itu nantinya.

Retribusi kekayaan dan sumber daya 

Aliansi juga menyerukan agar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mendorong agenda redistribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya, menuju keadilan yang menjadi syarat utama ketahanan iklim rakyat. 

“Pemerintah Indonesia seharusnya menjadikan dirinya contoh bagaimana keadilan iklim itu bisa diwujudkan melalui  penghapusan ketidakadilan akses terhadap sumber daya,” kata Aliansi. 

Data Bank Dunia menunjukkan hanya 20% kelompok kaya yang menguasai total 46% ekonomi Indonesia dan terus mengalami pertumbuhan pendapatan sementara sisanya mengalami penurunan. 

Dari sisi penguasaan tanah, Walhi dan Auriga mencatat, dari 53 juta hektare pengusahaan lahan yang diberikan pemerintah pada 2022, hanya 2,7 juta hektare yang diperuntukkan bagi rakyat. 

Walhi dan Auriga juga mencatat lahan yang dikelola korporasi di Kalimantan mencapai 24,73 juta hektare, sedangkan yang dikelola rakyat hanya 1,07 juta hektare. “Dengan kondisi ketimpangan seperti ini, tidaklah mungkin rakyat miskin memiliki kemampuan bertahan yang memadai untuk bertahan dari dampak perubahan iklim,” kata Aruki. 

Pengenaan pajak orang kaya termasuk mendorong keadilan pajak yang merujuk pada prinsip pencemar membayar (polluter pays principle), reforma agraria, dan pengakuan atas tanah adat adalah salah satu jalan redistribusi kekayaan, kata Aruki. 

Perlindungan kelompok rentan 

Aruki mengatakan, pemerintah Indonesia harus melindungi kelompok rentan dan memastikan keterlibatan bermakna masyarakat. Ini termasuk melibatkan perempuan, orang muda, masyarakat adat, petani gurem, nelayan kecil dan tradisional, buruh, kelompok disabilitas, dan masyarakat rentan lain dalam mitigasi dan adaptasi. 

Kondisi masyarakat yang rentan dengan kondisi sosial-ekonomi timpang semakin memudahkan mereka terekspos pada risiko, termasuk dikriminalisasi, saat memperjuangkan hak mereka atas iklim yang aman. 

“Padahal, partisipasi publik yang aktif, termasuk kebebasan berpendapat dan berorganisasi, adalah kunci untuk menghasilkan solusi iklim yang efektif dan adil. Keadilan iklim tidak dapat tercapai tanpa jaminan hak-hak sipil dan politik yang kuat,” ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Zainal Arifin. 

Menurut Aruki, pemerintah Indonesia perlu mendorong indikator global adaptasi, yang mencakup pemenuhan keadilan gender, agroekologi, dan hak asasi manusia.

Aruki merupakan aliansi 30 organisasi masyarakat sipil yang dibentuk pada 20 November 2023. Di antara anggotanya adalah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Kemitraan, Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (PIKUL), Madani Berkelanjutan, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Yayasan Pusaka, Aksi! For Gender Social Ecological Justice, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Solidaritas Perempuan, TUK Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Koaksi Indonesia, 350.org Indonesia, ELS FH Univ. Indonesia, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Climate Ranger (CR) Jakarta, XR Indonesia, Koprol Iklim, DPP Kasbi, PSHK, Trend Asia, Walhi Jakarta, Celios, dan Perkumpulan Huma.