Kuota Deforestasi Indonesia Sudah Minus 577 Ribu Hektare
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Food Estate
Kamis, 14 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Food estate atau program lumbung pangan nasional bukanlah jawaban atas permasalahan pangan di Indonesia. Program ini berpotensi merusak ekosistem hutan alam yang seharusnya dijaga. Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, menyampaikan pernyataan ini untuk menanggapi pidato Utusan Khusus Delegasi Republik Indonesia, Hashim Sujono Djojohadikusumo, di depan sidang plenary COP29 (12/11/2024) yang menyebutkan program food estate terus berjalan.
Sebelumnya, Presiden Prabowo telah berkunjung ke lokasi food estate di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, yang telah diplot seluas lebih dari 2 juta hektare sebagai fokus garapan food estate pemerintahannya.
Nadia Hadad, yang turut hadir di ajang COP29 Baku, Azerbaijan, beranggapan food estate sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berpotensi menjadi karpet merah untuk eksploitasi sumber daya alam dan hutan. Padahal Indonesia memiliki komitmen FOLU Net Sink 2030, dengan target pengurangan laju deforestasi 4,22 juta hektare hingga 2030.
Berdasarkan dokumen Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030, deforestasi Indonesia sampai 2019 sudah mencapai 4,8 juta hektare. Artinya, kuota deforestasi Indonesia sudah terlampaui atau minus 577 ribu hektare. Dengan membuka food estate, ini lebih jauh lagi mengancam pencapaian komitmen iklim Indonesia kepada dunia.
“Proses pemulihan ekosistem melalui restorasi dan rehabilitasi lahan membutuhkan waktu sangat lama dan seringkali tidak mampu mengembalikan ekosistem ke kondisi semula, seperti ekosistem gambut dan mangrove,” kata Nadia, dalam sebuah pernyataan resmi, Rabu (13/11/2024).
Nadia menjelaskan, untuk mencapai target NDC, pencegahan deforestasi harus diutamakan dengan menerapkan kebijakan yang tepat. Mengandalkan restorasi dan rehabilitasi saja akan mempersulit pencapaian komitmen iklim Indonesia.
“Cegah dulu, baru restore,” kata Nadia.
Dalam pidatonya, Hashim menggunakan argumen bahwa program ketahanan pangan sangat diperlukan untuk menjaga kemandirian Indonesia dari guncangan eksternal yang telah dilihat dan dialami dalam beberapa tahun terakhir. Adik kandung Presiden Prabowo itu mencontohkan pandemi COVID-19 dan Perang Ukraina-Rusia menjadi penyebab melonjaknya harga pangan dan harga pupuk, beberapa waktu lalu.
Hashim menyebutkan, dunia internasional salah paham dengan program lumbung pangan yang disebut merusak hutan. Indonesia, kata Hashim, akan menciptakan kembali, merevitalisasi, meremajakan hutan yang terdegradasi akibat program food estate.
“Ini sudah merupakan program yang akan mengurangi masalah apa pun yang mungkin timbul,” kata Hashim.
Cindy Julianty dari Working Group ICCAs Indonesia (WGII) menganggap program food estate gagal dalam menanggulangi isu ketahanan pangan dan banyak menimbulkan konflik. Salah satunya dengan masyarakat adat. Fakta empirik yang terjadi di Merauke saat ini ada lebih dari dua juta hutan yang merupakan bagian dari wilayah adat di masyarakat Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei yang dibabat habis untuk urusan food estate.
Hutan merupakan sumber pangan alami masyarakat adat bahkan merupakan bagian dari tempat berkembangnya keanekaragaman hayati. Cindy juga menyebutkan perlunya masyarakat berhati-hati melihat target restorasi hutan 12,7 juta hektare pada Pemerintahan Prabowo Subianto.
“Apakah angka ini tumpang tindih dengan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat atau tidak? Apakah akan dilakukan melalui proses konsultasi dan FPIC, dan apakah masyarakat adat atau lokal menjadi penerima manfaat dari agenda restorasi ini?” katanya.
Pentingnya bergabung dengan kemitraan FCLP dan meraih pendanaan iklim
Nadia mempertanyakan belum bergabungnya Indonesia dalam kemitraan FCLP (Forest and Climate Leaders’ Partnership). FLCP merupakan inisiatif untuk menghentikan dan membalikkan hilangnya hutan pada tahun 2030 (halting and reversing forest loss by 2030).
“Padahal dalam pernyataan-pernyataan para kepala dan pejabat negara dalam panel tersebut beberapa kali menyebutkan Indonesia sebagai champion dalam inisiatif FOLU Net Sink 2030,” kata Nadia.
Bergabungnya Indonesia dalam kemitraan, tambahnya, dapat memastikan mobilisasi pendanaan dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang dan pemilik hutan tropis untuk melindungi hutan tropis sehingga dapat mencapai target iklim global yang tercantum dalam Perjanjian Paris.
Menurut Eka Melisa dari Kemitraan, sangat disayangkan special message dari Hashim pada plenary COP 29 pada 12 November 2024 tidak mengedepankan posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki kerentanan cukup tinggi terhadap perubahan iklim, di mana peningkatan kapasitas daya tahan dan daya lenting menghadapi perubahan iklim menjadi sangat penting.
Apalagi, ini adalah COP finance, harusnya bagaimana akses dan penyaluran pendanaan iklim yang tepat sasaran, termasuk berfokus pada peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan nasional maupun lokal pada ketiga isu penting ketahanan iklim, perlu jadi salah satu prioritas Indonesia.
“Ini harus jadi satu paket, sebagaimana kita usung di dokumen Enhanced NDC juga: ketahanan ekosistem dan lansekap, ketahanan masyarakat dan sosial dan ketahanan ekonomi,” ujar Eka.
Iqbal Damanik dari Greenpeace melihat bahwa Indonesia tidak memimpin dan tidak memiliki target dan pesan yang jelas dan kuat terkait pendanaan di COP29 Baku ini. Iqbal berpendapat, sangat disayangkan pada COP29 Baku yang digadang-gadang sebagai COP yang fokus pada pendanaan ini, Indonesia belum melihat pentingnya memainkan peran signifikan dalam mengarahkan agar pendanaan iklim tepat sasaran. Indonesia seharusnya mampu menjadi pengeras suara bagi negara-negara yang rentan krisis iklim.
“Indonesia harus mengambil peran di global, agar memiliki kesempatan dalam meraih pendanaan iklim yang lebih besar, seperti pendanaan untuk aksi mitigasi, adaptasi, dan loss and damage,” ucap Iqbal.