PLTSa Bukan Solusi Sampah di Indonesia, Bagaimana Pendapatmu?
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Senin, 18 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dinilai tidak menyelesaikan masalah sampah di Indonesia. Sebaliknya, solusi yang ditawarkan pemerintah ini menyebabkan pencemaran udara dan sungai serta gangguan kesehatan. Hal ini ditemukan dalam penelitian terbaru dari Walhi Nasional.
Saat ini pemerintah memiliki proyek pembangunan PLTSa di 12 titik, yang bernaung di bawah bendera Proyek Strategis Nasional (PSN). Menggunakan teknologi yang mengubah sampah menjadi energi listrik, PLTSa diklaim dapat mengolah sampah dalam skala besar dan dapat menghasilkan listrik. Proyek ini tersebar di 12 kota, yakni Jakarta, Bandung, Tangerang Selatan, Tangerang, Bekasi, Surakarta, Semarang, Denpasar, Surabaya, Makassar, Palembang, dan Manado.
Dua pembangkit telah beroperasi, yakni PLTSa Putri Cempo di Surakarta dan PLTSa Benowo di Surabaya. “Namun temuan kami, yang meneliti empat kota, pembangkit ini justru menimbulkan risiko kesehatan publik dan melepaskam emisi dan partikulat yang mencemari udara,” kata Juru Kampanye Keadilan Perkotaan Walhi dalam diskusi media, Kamis, 14 November 2024.
“Proyek ini juga telah menghilangkan lapangan pekerjaan bagi sekitar 100 lebih pemulung akibat menipisnya sumber daya sampah yang ada, karena semua sampah dibakar, termasuk yang bisa didaur ulang,” katanya.
Salah satu proyek yang disorot laporan tersebut adalah PLTSa Putri Cempo yang mulai beroperasi pada Oktober 2023. Dengan investasi Rp300 miliar, pembangkit ini menggunakan teknologi plasma gasifikasi dan diklaim dapat memproduksi listrik 8 mW. Menurut Kepala Divisi Internal Walhi Jateng, Nur Colis, elektrifikasinya per Oktober 2024 tercatat 1,6 mW, dengan pengolahan 30-40 ton sampah per hari.
Laporan tersebut menulis sejumlah catatan buruk terhadap pengelolaan fasilitasi PLTSa Putri Cempo selama satu tahun beroperasi. Di antaranya mengimpor sampah dari Bali dan menjemur sampah di lokasi yang berdekatan dengan permukiman penduduk. Nur Colis mengatakan, pembangkit tersebut juga mengolah residu atau limbah secara tidak layak, seperti limbah cair dan abu dasar.
“Limbah cair tar dan kondensat dibuang ke badan air Sungai Jengglong yang bermuara di Sungai Bengawan Solo tanpa melalui proses pengolahan untuk mencapai baku mutu yang ditetapkan terkait air limbah/B3. Akibatnya, air dari sungai yang tercemar menjadi tidak layak digunakan untuk kegiatan peternakan dan pertanian serta berbahaya apabila bersentuhan dengan manusia,” menurut laporan tersebut.
Berdasarkan hasil uji laboratorium oleh pengelola PLTSa, Nur Colis mengatakan pembangkit Putri Cempo juga menghasilkan bahan berbahaya dan beracun (B3), yaitu abu dasar. Namun laporan itu menemukan bahwa “abu dasar hanya disimpan di ruang terbuka dan berakhir terdispersi ke lingkungan penduduk sekitar setiap harinya.”
Laporan tersebut mencatat kualitas udara di PLTSa Putri Cempo yang melampaui semua baku mutu parameter ukur yang dicantumkan. Di antaranya nitrogen oksida yaitu 663.3 mikrogram per meter kubik (μg/m3), sulfur oksida 1,493 μg/m3, dan partikulat meter.
“Dampaknya juga ada pencemaran udara dengan bau menyengat dan tajam saat mesin beroperasi. Abu dasarnya juga terbawa angin ke permukiman warga, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan seperti ISPA, batuk, sesak napas, dan kulit gatal,” kata Nur Colis.
Pada 2023, Solo memproduksi sampah sebanyak 152.974 ton, naik dari 137.345 pada 2022. Komposisinya didominasi sisa makanan (organik) sebesar 38,18%, yang memiliki nilai kalori rendah jika dibakar. Plastik dan kertas menyusul, masing-masing 22,73% dan 13,64%.
“Ini berarti Kota Surakarta memiliki potensi untuk mengolah sampah sesuai dengan kategorinya sampai dengan 83% apabila investasi terhadap sistem pengolahan organik dan daur ulang dilakukan dengan baik,” kata laporan tersebut.
Kondisi yang sama terjadi di Jakarta. Menurut Koordinasi Kampanye Walhi Jakarta, Muhammad Aminullah, setiap tahun sampah yang tidak dikelola di Jakarta meningkat karena pengelolaan sampah yang tidak mengurangi timbulan di hulu. Secara komposisi sampah Jakarta didominasi oleh jenis yang bukan target pengelolaan PLTSa, yaitu organik dan kertas yang mencapai 67,11%.
“Perlu satu pendekatan yang bisa mengurangi timbulan sampah di hulu, dan PLTSa tidak mengakomodir ini,” kata Aminullah.
Menurut Aminullah, PLTSa tidak tepat sasaran dalam mengelola sampah di Jakarta maupun kota lainnya. Investasinya pun mahal, seperti fasilitas pengolahan sampah bernama ITS Sunter di Jakarta Utara. Proyek ini menelan biaya pengembangan Rp 4 triliun dan diproyeksikan membutuhkan biaya operasional sebesar Rp 2 triliun per tahun. “Prediksi kami, proyek ini hanya sia-sia, dan tidak tepat sasaran,” kata Aminullah.
Indonesia merupakan salah satu penyumbang utama timbulan sampah di dunia, yang diperkirakan menghasilkan 63,8 juta ton hingga 77,7 juta ton sampah dari kegiatan domestik. Menurut laporan tersebut, jumlah ini setara dengan mengubur kota Bandung dengan tumpukan 1 meter sampah setiap tahunnya.