Indonesia Hanya Berdagang Krisis Iklim di COP29: Kritik Walhi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Iklim
Minggu, 17 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pidato Hashim Djojohadikusumo, utusan khusus Presiden untuk Iklim dan Energi sekaligus Kepala Delegasi Republik Indonesia (Delri), pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Conference of Parties (COP) ke-29 menuai kritik dari masyarakat sipil. Pernyataan Hashim yang mewakili Presiden RI itu dianggap lebih seperti sedang berdagang krisis iklim saja.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berpendapat, alih-alih menyampaikan situasi krisis iklim, komitmen Pemerintah Indonesia dan aksi iklim konkret dalam rangkai mencapai tujuan Perjanjian Paris, Hashim justru terlihat seperti pedagang yang lebih banyak bicara soal bagaimana krisis iklim diatasi dengan skema dagang seperti potensi kredit karbon, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), dan urgensi pendanaan untuk proyek reforestasi.
“Dalam pidato di hadapan pemimpin dunia tersebut, hampir tak ada pernyataan terkait upaya serius-ambisius pemerintah dalam penurunan emisi dan perlindungan rakyat dari dampak krisis iklim,” kata Tri Jambore (Rere) Christanto, Kepala Divisi Kampanye Anti Industri Ekstraktif, Eksekutif Nasional Walhi, pada Rabu lalu (13/11/2024).
Rere melanjutkan, pernyataan Kepala Delri itu menunjukkan secara gamblang bahwa kepentingan bisnis korporasi lebih diutamakan dibanding kepentingan lingkungan dan keselamatan rakyat dari dampak krisis iklim. Tampak konflik kepentingan (conflict of interest) dari upaya pemerintah memperdagangkan krisis iklim demi menutupi jejak kejahatan ekologis dari korporasi besar yang dimiliki oleh pengusaha cum politisi.
“Alih-alih mendorong pengurangan emisi dari sektor ekstraktif seperti perkebunan, kehutanan dan pertambangan, pemerintah justru berfokus pada usaha bisnis karbon,” kata Rere.
Rere mengungkapkan, pada praktiknya, bisnis karbon dalam wujud konsesi dan perdagangan karbon serta dekarbonisasi melalui teknologi CCS/CCUS dimiliki oleh grup-grup perusahaan besar yang selama ini telah melakukan perusakan hutan untuk perkebunan monokultur, ekstraksi mineral batu bara dan gas alam, serta pembangkitan listrik yang bersumber dari fosil.
Misalnya saja dalam konteks nasional, korporasi besar seperti Saratoga, Adaro, dan Harita Group memiliki konsesi karbon dan bisnis dekarbonisasi. Adaro sebagai grup besar dengan energi dan pertambangan sebagai bisnis utamanya saat ini memiliki konsesi restorasi ekosistem dan penyimpanan karbon melalui anak perusahaannya PT Hutan Amanah Lestari, PT Alam Sukses Lestari.
Hashim dan Prabowo sendiri, lanjut Rere, tidak lepas dari konflik kepentingan saat mempromosikan potensi karbon. Dugaan keterkaitan mereka dalam bisnis karbon melalui beberapa Perusahaan PT Bumi Carbon Nusantara, PT Karbonesia Global Artha, PT Infinite Earth Indonesia dan PT Carbon Vebra Gemilang.
Bukan hanya itu, satu nama seperti Glory Harimas Sihombing yang menjadi salah satu pemegang saham di PT Karbonesia Global Artha, juga merupakan direktur konservasi di PT Agrinas. Glory juga menjadi Ketua Dewan Pembina Indonesia Food Security Review—organisasi yang mengkampanyekan program makan siang bergizi pasangan Prabowo Gibran.
“Pidato Hashim juga penuh dengan kontradiksi. Dia menyatakan bahwa pemerintahan Prabowo berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca menuju nol bersih pada 2060 namun tetap menargetkan pertumbuhan ekonomi lebih dari delapan persen per tahun,” kata Rere.
Rere melanjutkan, corak ekonomi pertumbuhan yang diimplementasikan sudah pasti akan menghasilkan emisi karbon yang sangat besar. Dia mencontohkan hilirisasi nikel yang tetap akan digenjot akan menghancurkan hutan-hutan di Sulawesi dan Maluku, pembangunan food estate untuk pangan dan kebun tebu di Papua yang akan menghancurkan 1 juta hektare hutan, atau meningkatkan hingga 100 persen biodiesel yang bersumber dari CPO sawit, dan PLTU baik on-grid, captive, ataupun co-firing yang tetap terus dipertahankan.
Belum lagi percepatan energi terbarukan yang tetap disandarkan pada kerangka bisnis energi yang akan terus menjadi mesin perampasan tanah dan sumber-sumber penghidupan milik rakyat. Sepuluh tahun rezim pemerintahan Jokowi saja, imbuhnya, dengan semua kecepatan dan keluasan ekspansi industri ekstraktif yang mengorbankan lingkungan dan keselamatan rakyat, ekonomi hanya bertumbuh hanya sekitar 5%.
“Bisakah kita bayangkan akan secepat dan semasif apa eksploitasi dan penghancuran lingkungan jika target ini menjadi hal yang utama bagi rezim ke depan,” kata Rere.
Poin lainnya, sambung Rere, adalah inisiatif baru Presiden Prabowo yaitu reforestasi 12,7 juta hektare lahan kritis yang akan dihutankan kembali. Inisiatif ini menimbulkan pertanyaan besar tentang lahan mana saja 12,7 juta hektare lahan yang akan di-reforestasi tersebut.
Pertama, lanjut Rere, apakah wilayah yang akan diklaim adalah wilayah Perhutanan Sosial yang terdistribusi ke rakyat saat ini? Bila demikian, inisiatif ini hanya menambah ketidakadilan bagi rakyat. Rakyat, imbuh Rere, akan dibebani tanggung jawab reforestasi atas kondisi yang asalnya dari negara dan perusahaan.
“Lalu apa kontribusi dan tanggung jawab negara? Kedua, apakah reforestasi lahan kritis ini akan dijawab dengan penunjukkan wilayah kelola rakyat menjadi wilayah konservasi, atau seperti terminologi yang dikenal yaitu areal preservasi, sebagaimana yang diatur dalam UU KSDAHE,” ujar Rere.
“Jika tidak didudukkan tanggung jawab reforestasi pada aktor perusak hutan (korporasi) selama ini, maka inisiatif reforestasi ini hanya akan menjadi varian baru perampasan wilayah kelola rakyat,” imbuhnya.
Hashim, sambung Rere, juga menyebut tentang kebutuhan tiga pendorong untuk menjalankan komitmen, yaitu kerangka kebijakan pertumbuhan hijau yang komprehensif, investasi sebesar USD2035 miliar dan kolaborasi internasional. Pernyataan penutup dalam proposal penjualan krisis ini semakin memperkuat tujuan pemerintah Indonesia untuk dapat menemukan jalan berkongsi dengan para pebisnis iklim lainnya secara global.
“Atas kondisi tersebut, Walhi memandang bahwa Pemerintah Indonesia telah gagal memastikan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup di Indonesia di tengah situasi krisis iklim,” ucap Rere.
Rere bilang, ada beberapa hal mendesak yang harus dilakukan terkait krisis iklim di Indonesia. Yang pertama menurunkan emisi karbon secara signifikan dari sektor industri ekstraktif dengan cara menghentikan penerbitan izin baru; Mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan yang bermasalah dan berada di wilayah ekosistem esensial seperti hutan, gambut, pesisir, pulau kecil, karst, dan lainnya; Mempercepat penghentian operasi PLTU batu bara dan menghentikan proyek solusi palsu di sektor energi seperti biomassa; menghentikan proyek food estate yang merusak ekosistem esensial seperti gambut.
Kedua, mempercepat dan memperluas pengakuan serta perlindungan hak rakyat atas wilayah kelola dan ruang hidupnya. Ketiga melakukan pemulihan atas fungsi ekologis yang rusak dan meletakkan tanggung jawab tersebut pada pengurus negara dan korporasi yang selama ini merusak lingkungan. Keempat meningkatkan kemampuan adaptif rakyat dengan cara melindungi wilayah penting yang menjadi penyanggah kehidupan, dan rekognisi pengetahuan serta cara tradisional rakyat dalam aksi-aksi konservasi, adaptasi dan mitigasi iklim.