COP29: Negara Miskin Butuh $1 T untuk Pendanaan Iklim Pada 2030 

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Sabtu, 16 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Negara-negara miskin dan berkembang membutuhkan US$1 triliun per tahun untuk pendanaan perubahan iklim pada 2030, lima tahun lebih awal dari perkiraan dan negosiasi dengan negara-negara kaya di konferensi iklim, demikian temuan sebuah studi baru.

Menunggu hingga tahun 2035 untuk menerima dana, yang akan membantu negara-negara tersebut mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi cuaca ekstrem, akan memberikan beban yang merugikan bagi negara-negara yang rentan, demikian peringatan Kelompok Pakar Independen Tingkat Tinggi Pendanaan Iklim (IHLEG), yang merupakan sekelompok ekonom terkemuka.

Studi ini diterbitkan pada Kamis, 15 November 2024, ketika pemerintah dari hampir 200 negara berupaya melakukan negosiasi mengenai berapa banyak pendanaan yang harus diberikan oleh negara-negara kaya, dan berapa banyak dana yang dapat diperoleh dari sumber lain, pada pertemuan puncak COP29 di Baku, Azerbaijan. Para pemimpin dunia, yang menghadiri hari-hari pembukaan konferensi di Baku, meninggalkan para menteri dan pejabat tinggi mereka untuk melanjutkan tugas menyusun rencana global baru mengenai pendanaan iklim, yang akan selesai pada akhir minggu depan.

Namun masih banyak perselisihan antara negara kaya dan miskin, termasuk berapa banyak uang yang harus disediakan dan dari mana sumbernya.

Dua dewasa dan satu anak-anak berjalan di tengah air pasca banjir besar melanda Pakistan Juni lalu. Bencana tersebut dipicu curah hujan ekstrem dan mencairnya gletser usai gelombang panas parah, yang semuanya terhubung dengan perubahan iklim. Dok EPA

Pembicaraan tersebut difokuskan pada tujuan pendanaan iklim setidaknya $1 triliun per tahun untuk negara-negara miskin pada 2035. Angka ini berasal dari studi sebelumnya yang dilakukan oleh kelompok tingkat tinggi (IHLEG), yaitu sekelompok ekonom yang dibentuk oleh kepresidenan COP sejak 2021, dan diketuai oleh ekonom Nicholas Stern, Vera Songwe, dan Amar Bhattacharya, yang menemukan pada 2022 bahwa dibutuhkan dana sekitar $2,4 triliun per tahun.

Setidaknya setengah dari dana tersebut dapat berasal dari anggaran negara-negara miskin, menurut studi awal, sehingga menyisakan sekitar $1 triliun per tahun yang berasal dari sumber eksternal, termasuk bantuan luar negeri dari negara-negara kaya.

Laporan ini memperingatkan bahwa pada 2035, negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dan kecuali Tiongkok, akan membutuhkan $1,3 triliun per tahun. Namun menunggu hingga 2035 untuk mencapai target $1 triliun akan menciptakan masalah di masa depan, kata para ekonom.

“Semakin lama Anda menunggu, semakin mahal. Jumlah ini [$1 triliun pada 2030] sangat mungkin dicapai oleh negara-negara kaya, namun hal ini memerlukan komitmen nyata dan bergerak cepat,” kata ketua Grantham Research Institute, Lord Stern, yang dikutip dari The Guardian, Jumat, 15 November 2024. 

Dia mengatakan bahwa sekitar setengah dari $1 triliun tersebut dapat berasal dari investasi sektor swasta, sekitar $250 miliar dari bank pembangunan multilateral seperti Bank Dunia, dan sisanya dari berbagai sumber termasuk hibah langsung dari negara-negara maju ke negara-negara rentan, hak penarikan khusus dari Dana Moneter Internasional (IMF), serta bentuk perpajakan baru, seperti pungutan pada penerbangan dan pelayaran.

“Negara-negara maju harus menerima logika analisis ini,” katanya. 

Pendanaan untuk negara-negara miskin adalah sumber perdebatan terbesar di KTT COP29. Berdasarkan perjanjian iklim Paris tahun 2015, negara-negara kaya mempunyai kewajiban terhadap negara-negara miskin dan tahun ini harus membuat “tujuan baru yang diukur secara kolektif” (NCQG) yang menetapkan bagaimana mereka akan memenuhi tanggung jawab mereka.

Negara-negara kaya sepakat bahwa mereka harus menyediakan sejumlah dana, namun mereka ingin memenuhi sebagian besar tujuan tersebut dengan pendanaan dari sektor swasta. Beberapa negara menganjurkan pajak atau retribusi baru untuk menyediakan sebagian dana yang dibutuhkan. Negara-negara kaya juga menginginkan negara-negara petrostate dan negara-negara berkembang dengan emisi gas rumah kaca yang tinggi, seperti Tiongkok, untuk berkontribusi.

Harjeet Singh, aktivis iklim dan direktur keterlibatan global untuk Inisiatif Perjanjian Non-Proliferasi Bahan Bakar Fosil (Fossil Fuel Non-Proliferation Treaty Initiative), mengatakan: “Laporan demi laporan, termasuk laporan ini, tidak dapat disangkal: kita membutuhkan triliunan dolar setiap tahunnya untuk mentransformasi perekonomian dan mengatasi meningkatnya dampak iklim, dan akibat dari tidak adanya tindakan akan jauh lebih tinggi," katanya. 

"Namun para pemimpin dari negara-negara kaya terus menyembunyikan diri, mengabaikan pendanaan penting yang dibutuhkan negara-negara berkembang dan mengabaikan fakta bahwa transisi global yang adil adalah satu-satunya jalan ke depan," ujar Singh. 

“Jika COP29 gagal menetapkan tujuan pendanaan iklim yang berarti – triliunan hibah nyata, bukan trik akuntansi – kita semua berada di pihak yang merugi. Kerusakan iklim sudah menjadi kenyataan sehari-hari, dan setiap penundaan hanya akan memperdalam krisis bagi semua orang,” katanya.